Share

Hampir Ketahuan

"Asty." Evan memandang Luna sesaat, setelah itu ia bangkit seraya memakai pakaiannya.

"Ada apa, Mas?" tanya Luna dengan raut wajah bingung.

"Asty video call." Evan menjawab seraya mengancingi kemejanya.

"Terus kenapa, Mas buru-buru begitu. Udah biarin aja lah, nanti juga capek sendiri." Luna menarik tangan Evan agar pria itu kembali berbaring di sampingnya.

"Asty bisa curiga, aku angkat dulu ya," ujar Evan. Berharap wanitanya itu mau mengerti akan posisinya saat ini.

"Kenapa nggak kamu ceraikan aja sih, Mas. Jadi kita kan bebas," saran Luna.

"Nggak bisa, soalnya uang yang buat hidupin kamu itu milik Asty. Tolong kamu ngertiin aku ya," terangnya. Sementara Luna hanya mengangguk setelah sejenak berpikir.

"Kamu tunggu aku di sini ya, aku angkat telepon dulu." Evan keluar dari kamar dan memilih untuk duduk di ruang tamu. Setelah itu ia menggeser tombol berwarna hijau, untuk menerima panggilan dari Asty.

[Assalamu'alaikum, Mas sekarang ada di mana? Kenapa lama banget sih angkatnya]

[W*'alaikumsalam, maaf tadi lagi ada urusan sama teman. Memangnya ada apa]

[Vina pendarahan, Mas. Sekarang ada di rumah sakit, tolong kamu ke sini ya]

[Apa?! Vina pendarahan .... ]

[Mas itu kamu ada di mana]

[Di rumah temen, ya udah aku ke sana sekarang. Kamu di rumah sakit mana]

[Nanti aku kirim lewat inbok, Mas. Udah dulu ya, assalamu'alaikum]

[Iya, w*'alaikumsalam]

Setelah sambungan telepon terputus, Evan segera masuk ke dalam kamar. Ia harus segera pergi ke rumah sakit, jujur ia masih bingung dengan apa yang istrinya itu katakan. Asty mengatakan jika Vina mengalami pendarahan, ada rasa cemas yang menyelimuti hati pria itu. Pasalnya Vina pernah mengeluh jika gadis itu telat datang bulan.

"Luna, aku pulang dulu ya. Besok aku ke sini lagi." Evan meraih jasnya dan juga kunci mobilnya.

Luna menghela napas. "Beneran loh, besok waktunya kamu sama aku."

"Iya, Sayang. Baik-baik ya." Evan mencium kening Luna, tak lupa mengusap perut buncit wanitanya itu. Setelah berpamitan, Evan segera pergi.

Dalam perjalanan Evan tidak bisa berpikir jernih, ia juga khawatir jika penyebab Vina pendarahan karena hamil. Evan masih sangat ingat, saat Vina berkata dirinya telat datang bulan. Evan khawatir jika Vina benar-benar hamil, jika Asty sampai tahu pasti akan menjadi masalah.

Tidak butuh waktu lama, kini Evan tiba di rumah sakit. Ia langsung mencari ruang rawat Vina yang ada di lantai dua. Setibanya di sana, Evan segera masuk ke dalam, terlihat jika Asty sedang duduk di sofa, sementara Vina masih belum sadarkan diri. Evan berjalan menghampiri istrinya yang tengah duduk, seraya memijit pelipisnya.

"Asty, bagaimana keadaan Vina. Sebenarnya apa yang terjadi." Evan bertanya seraya menjatuhkan bobotnya di sebelah Asty.

Asty menghela napas. "Vina hamil, dia baru saja pendarahan dan kandungannya tidak terselamatkan."

Evan benar-benar terkejut mendengar hal itu, pikirannya kembali kacau. Namun, Evan harus bisa bersikap seperti biasa, agar Asty tidak menaruh curiga padanya. Setelah cukup lama sama-sama diam, akhirnya Evan angkat bicara, ia menanyakan, siapa yang telah menghamili Vina.

"Jadi kamu belum tahu, siapa yang menghamili Vina?" tanya Evan.

"Belum, tapi aku pastikan. Kalau aku sudah tahu siapa yang menghamili Vina, aku tidak segan-segan untuk memotong anunya, biar tidak ada lagi yang bisa dia banggakan." Mendengar jawaban dari Asty, seketika Evan menelan salivanya sendiri, bahkan pria itu merasa merinding.

Setelah itu, Evan memilih untuk diam, rasa takut dan was-was menjadi satu. Ia tahu jika apa yang Asty ucapkan tidak pernah meleset. Evan hanya bisa berharap semoga Vina hamil bukan karena dirinya. Karena saat pertama kali Evan menyentuh Vina, gadis itu ternyata sudah tidak suci lagi.

***

Keesokan harinya, Vina sudah diperbolehkan untuk pulang, Asty memang sengaja belum mempertanyakan siapa yang telah menghamili adiknya itu. Setibanya di rumah, Asty mengajak adiknya untuk istirahat di kamar.

"Vina, sekarang kamu jawab pertanyaan kakak. Siapa yang sudah menghamili kamu?" tanya Asty.

Vina terdiam, ia menatap lekat wajah kakaknya. Vina bingung harus menjawab apa, ia juga tidak tahu siapa yang telah menghamilinya, karena Vina melakukan itu bukan hanya dengan Evan. Melainkan dengan sepupu Evan pun pernah melakukannya.

"Vina." Asty memegang pundak adiknya.

"Aku melakukan dengan, mas Evan baru satu minggu. Dan itu selalu memakai pengamanan, tidak mungkin aku hamil," batin Vina.

"Erik, Kak." Vina menundukkan kepalanya. Sementara Asty terkejut mendengar jawaban adiknya. Bagaimana mungkin sepupu suaminya menghamili adiknya, kenal di mana mereka.

"Kamu kenal Erik di mana?" tanya Asty. Dadanya sudah bergemuruh menahan amarah yang telah memuncak.

"Waktu masih di SMA, Kak." Lagi-lagi Vina menundukkan kepalanya.

"Apa, Erik tahu kalau kamu hamil." Asty kembali bertanya, dan kali ini Vina menggelengkan kepalanya sebagai jawabannya.

Setelah itu Asty beranjak pergi dari kamar adiknya, Vina yang melihat kakaknya pergi dengan terburu-buru mencoba untuk memanggilnya, tetapi Asty tidak merespon panggilan adiknya itu. Sekarang juga Asty akan datang ke kantor, karena Erik juga bekerja di kantor miliknya, yang dikelola oleh Evan.

"Erik, aku nggak nyangka kalau kelakuan kamu ternyata bej*t, sama seperti mas Evan," gumamnya. Asty saat ini sudah dalam perjalanan menuju ke kantor. Ia akan meminta pertanggung jawaban dari Erik.

Tidak butuh waktu lama, kini Asty sudah tiba di kantor, wanita berambut sebahu itu melangkahkan kakinya menuju meja kerja Erik. Banyak karyawan yang menyapa dan memberi hormat kepada Asty, sementara ia hanya tersenyum dan mengangguk untuk menanggapinya.

"Erik, tolong ikut saya ke ruangan," titah Asty.

Erik yang sedang fokus bekerja sedikit tersentak. Pria itu hanya mengangguk dan bergegas bangkit dari duduknya. Erik melangkahkan kakinya mengikuti langkah kaki Asty. Dalam benaknya berkata-kata, untuk apa ia disuruh ke ruangan, karena Asty jarang sekali ke kantor, lantaran urusan kantor, Evan yang menanganinya.

"Ayo masuk, assalamu'alaikum." Asty membuka pintu ruangan, di mana Evan berada.

"W*'alaikumsalam, Asty, Erik ada apa ini." Evan terlihat bingung, pria itu bangkit dan berjalan menghampiri istri serta sepupunya itu.

"Ada yang ingin aku bicarakan, Mas. Erik ayo duduk," ujar Asty, ia juga menyuruh Erik untuk duduk. Sementara Evan terlihat semakin begitu bingung dan juga panik.

"Sayang, ini minuman yang kamu minta. Dijamin setelah minum ini nanti .... " ucapan itu terhenti saat melihat ada orang lain selain Evan.

Erik menoleh ke arah sumber suara tersebut, begitu juga dengan Asty. Tatapan mata Asty beralih pada Evan yang terlihat panik. Sayang, minuman, dua kata itu sukses membuat otak Asty berpikir keras, terlebih saat tahu siapa yang mengucapkannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status