Detik itu juga suasana mendadak hening, Asty menatap dua manusia yang ada di hadapannya secara bergantian. Ternyata tidak sia-sia mengikuti mobil suaminya yang keluar dari kantor. Asty sudah menduga jika suaminya pasti akan pergi ke rumah istri mudanya, dan ternyata dugaannya benar.
"Asty kamu .... ""Kenapa? Kaget lihat aku sudah ada di sini." Asty memotong ucapan suaminya. Sejujurnya Evan tidak layak disebut sebagai suami lagi.Evan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, raut wajahnya terlihat panik dan juga gugup. Begitu juga dengan Luna. Mereka pasti tidak pernah menyangka jika Asty akan datang, dan Asty bukan wanita bod*h yang bisa dibohongi oleh suaminya."Asty aku .... ""Stop, aku sudah tahu semua kebusukan kalian. Aku tidak nyangka, ternyata kalian itu sama saja ya. Dan kamu, Luna aku bahkan sudah menganggap kamu sebagai saudara, tapi ini balasannya. Hah, sahabat macam apa, yang tega menikam sahabatnya sendiri dari belakang." Asty memotong ucapan Luna."Aku melakukan ini karena aku ingin hidup enak seperti kamu, segalanya kamu punya, tapi aku .... ""Tapi cara kamu itu salah, Luna. Tidak seharusnya kamu merusak kebahagiaan orang lain, kamu itu sama-sama perempuan. Seharusnya kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan. Tapi ya sudah lah, aku tidak akan menangisi orang yang tidak berperasaan seperti kalian." Lagi-lagi Asty memotong ucapan Luna."Kami menikah atas permintaan mamanya, Mas Evan. Karena sampai saat ini kamu itu belum hamil, itu sebabnya mama meminta kami untuk menikah," ujar Luna. Perempuan itu mencoba untuk membela diri, tetapi hal itu tidak akan berpengaruh pada Asty."Oh jadi itu alasannya, padahal kalian tahu sendiri, kami menikmati baru satu tahun. Ada yang sudah lima tahun menikah baru diberi keturunan, tapi ini baru setahun udah nyerah. Ya sudahlah, aku nggak keberatan kok, kalian nikmat saja usaha dan rencana yang kalian buat," sahut Asty. Ia berusaha untuk tetap bersikap tegar. Lelaki seperti Evan tidak layak lagi untuk dipertahankan."Asty aku bisa .... ""Secepatnya aku akan mengurus perceraian kita." Asty memotong ucapan suaminya, bahkan setelah itu ia memilih untuk pergi dari rumah tersebut.Melihat Asty pergi, Evan meletakkan piring yang ia bawa di atas meja. Dengan cepat Evan berlari mengejar istrinya, Luna hanya bisa diam, ingin sekali ia melarang lelaki itu. Namun, Luna tahu, jika kehidupannya kini akan terancam jika Evan dan Asty benar-benar akan bercerai."Asty tunggu, aku bisa jelasin semuanya." Evan mencekal lengan istrinya.Dengan kasar Asty menghempaskan tangan suaminya. "Lepas, jijik aku disentuh oleh kamu. Sudah berapa wanita yang kamu sentuh, sudah berapa wanita yang kamu ajak tidur bersama. Kamu pikir aku tidak tahu iya! Kamu pikir aku bod*h, yang hanya bisa diam saat suaminya berbuat curang, iya.""Ingat ya, Mas janji pra-nikah kita." Setelah mengatakan itu Asty bergegas masuk ke dalam mobil dan melaju meninggalkan suaminya yang masih berdiri mematung.***Hari telah berganti, sejak semalam Evan terus membujuk istrinya agar mau memaafkan kesalahannya. Bahkan, malam yang rencananya akan ia habiskan bersama dengan Luna terpaksa gagal. Evan tidak ingin istrinya benar-benar meminta cerai, karena hal itu akan berakibat fatal."Asty kamu mau kan maafin aku, aku terpaksa melakukan ini." Evan duduk samping istrinya yang sedang sibuk membaca majalah."Terpaksa tapi menikmati juga kan." Asty melirik sekilas, lalu kembali fokus kepada majalahnya.Evan menghela napas. "Mama yang maksa aku untuk nikah sama Luna. Awalnya aku menolak, tapi .... ""Tapi akhirnya mau juga kan, dan lama-lama menikmatinya juga." Asty memotong ucapan suaminya. Setelah itu ia bangkit dan meletakkan majalah tersebut di atas meja.Rasanya Asty sudah muak mendengar bualan suaminya itu, semua ucapannya sama sekali tidak ada yang Asty percaya. Karena sekali berbohong selamanya akan tetap berbohong. Mungkin selama ini, Evan mengira jika istrinya itu hanya diam dan tidak menaruh curiga. Namun semua itu salah, Asty bukan wanita bod*h yang hanya bisa diam dan tidak berpikir.Bahkan perselingkuhannya dengan Rena pun, Asty sudah tahu, ia sudah menyelidiki semua itu. Asty memang masih bersikap seperti biasa, seolah-olah tidak mengetahuinya, karena ia akan memberi kejutan untuk mereka berdua. Asty akan membalas perbuatan mereka dengan cara yang lebih licik.Perselingkuhannya dengan Vina pun Asty sudah mengetahuinya, dan alasan ia lebih memilih Vina untuk menikah dengan Erik, karena pria itu jauh lebih baik dibandingkan dengan Evan. Asty sudah mengenal lama, dari pada menikah dengan Evan, yang sudah jelas-jelas playboy, yang tidak cukup dengan satu wanita.Rasanya memang sakit saat Asty mengetahui semua rahasia suaminya, mulai dari perselingkuhannya dengan Vina, Rena dan juga Luna. Yang lebih menyakitkan adalah saat tahu jika Evan juga bermain gila dengan Vina, yang jelas-jelas adik iparnya sendiri. Vina juga keterlaluan, entah siapa yang memulainya, Asty tidak tahu."Asty, tolong dengerin penjelasan aku dulu. Aku benar-benar .... " ucapan Evan terhenti saat mendengar bel rumah berbunyi."Semuanya sudah jelas, Mas. Dan keputusan aku untuk bercerai sudah bulat." Setelah mengatakan itu Asty beranjak turun ke bawah.Evan tidak tinggal diam, ia juga ikut turun ke bawah dan mengikuti langkah istrinya yang menuju ruang tamu. Setibanya di ruang tamu, Asty langsung membuka pintu tersebut, dua orang wanita sudah berdiri di depan pintu. Entah ada urusan apa mereka tiba-tiba datang, sementara Evan terdiam saat melihat mereka datang. Namun tidak dengan pikirannya yang sudah semrawut."Maaf ada urusan apa kalian datang ke sini?" tanya Asty, ia berusaha untuk tetap bersikap seperti biasanya, meski ia sendiri masih merasa bingung."Mulai hari ini, kami akan tinggal di sini. Kamu sudah tahu kan, kalau Luna itu istri Evan. Dan sekarang kamu lihat, Luna itu sedang mengandung anak dari Evan, jadi dia harus tinggal di sini agar Evan bisa menjaganya," ungkap Lidya, ibu mertua Asty.Asty terdiam cukup lama, ia memandangi dua wanita yang kini berdiri di hadapannya itu. Baru semalam ia mendatangi Luna, dan sekarang dia datang dengan membawa ibu mertuanya. Asty yakin, perempuan itu pasti sudah mengadu kepada ibu mertuanya. "Mungkin tidak ada salahnya jika aku menerima mereka, dengan begitu aku akan lebih mudah untuk membalas perbuatan mereka. Aku akan buat mereka menyesal seumur hidup, terutama kamu, Mas. Kamu yang memulainya, dan kamu yang paling pertama akan merasakan bagaimana tersakiti," batin Asty, ia tersenyum saat membayangkan bagaimana reaksi mereka nanti. "Oh, jadi kalian akan tinggal di sini. Boleh sih, tapi nggak gratis ya, apa lagi di sini tidak ada pembantu. Awalnya aku memang ingin mencari pembantu, tapi karena kalian sudah datang. Nggak ada salahnya kalau .... " Asty sengaja menggantung ucapannya. Ia dapat melihat raut wajah kedua wanita itu yang sudah memerah, karena merasa geram. "Heh, kamu mau menjadikan pembantu iya!" bentak Lidya. Perempuan se
Keesokan harinya, pukul setengah tujuh Evan mulai bisa menggerakkan anggota tubuhnya, semalam Rena tidak bisa tidur lantaran bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin Rena mengubungi istri Evan, karena hal itu akan menimbulkan rasa curiga. Alhasil Rena memilih diam, dan mencoba mencari akal agar Evan bisa pulih kembali seperti sedia kala. "Semalam istri kamu nelpon-nelpon terus, sengaja nggak aku angkat. Soalnya aku bingung harus jawab apa, tidak mungkin kan aku bilang kalau kita ada di hotel." Rena menceritakan jika semalam Asty menghubungi nomor Evan. "Sekarang handphone aku mana." Evan meminta ponselnya. "Ini." Rena menyodorkan benda pipih itu, setelahnya ia beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Evan membuka ponselnya, ada puluhan panggilan tak terjawab, serta beberapa pesan. Satu persatu Evan membukanya, pesan lebih banyak Luna yang mengirim. Hanya ada tiga pesan yang Asty kirim. Dengan segera Evan membalas pesan-pesan tersebut. Setelah itu ia kembali meletakkan ponselnya, tenag
Malu, itu yang kini mereka rasakan, bukan hanya Evan dan Rena yang merasa malu, tetapi juga Asty. Beruntung Asty masih memiliki hati, jika tidak mungkin ia akan mengarak pasangan pezina itu. Namun, jika Asty melakukan itu, perusahaan akan ikut terkena imbasnya. Demi menjaga nama baik perusahaan, ia menutupi masalah itu dari orang lain. Asty sengaja memanggil dokter pribadinya untuk memisahkan mereka berdua. Butuh waktu lama, akibatnya Evan yang harus menanggung semua itu. Ada syaraf yang rusak, yang membuat junior milik Evan tidak bisa berfungsi seperti biasanya. Menyesal sudah tidak ada gunanya lagi, dan mungkin ini karma untuknya. Setelah kejadian itu, Asty terpaksa memecat Rena, perbuatannya sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Evan juga akan berhenti dari jabatannya, Asty akan mengambil alih perusahaan itu. Dan tentunya perceraian mereka tetap akan berlangsung. Tak peduli Evan yang terus memohon untuk tetap hidup bersama. "Asty." Evan memegang tangan Asty saat wanita itu hendak ban
"Aku Rena, calon istri mas Evan. Sekarang aku sedang mengandung anaknya." Rena memberikan hasil pemeriksaannya dari rumah sakit. Luna merebutnya dan langsung membacanya, detik itu juga ia terkejut setelah membaca hasilnya. Luna tidak menyangka jika Evan bisa berbuat hal buruk itu, rasanya sakit jika dihianati. Luna menatap tajam wanita yang sedang berdiri di hadapannya itu, yang tak lain adalah Rena. "Ok, kalian selesaikan saja ya urusan kalian ini." Asty memilih untuk masuk ke dalam. Ia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada mereka. Asty berdiri tak jauh dari mereka, ia ingin melihat apa yang akan terjadi. Sementara itu, Evan terlihat masih bingung, bagaimana tidak bingung, Rena datang dengan cara tiba-tiba, lalu meminta pertanggung jawaban. Sedangkan Luna belum tahu tentang hubungan mereka. Asty ingin tersenyum saat melihat ekpresi Evan yang kebingungan. Tiba-tiba Asty mendadak mual, mengingat suaminya itu yang sudah seperti piala bergilir. Bukan hanya satu wanita yang b
Panggilan telepon terputus, Evan menjatuhkan bobotnya di sofa. Lidya dan Luna yang melihat itu seketika ikut duduk di sebelah Evan. Evan memijit pelipisnya, ia tidak pernah menyangka kalau akan terjadi seperti ini. "Van ada apa?" tanya Lidya. "Butik kebakaran, Ma." Evan menjawab seraya mengusap wajahnya. Seketika dua wanita yang ada di sebelahnya terkejut. "Apa?! Kok bisa sih, Mas. Sudah ketemu apa belum pelakunya?" tanya Luna. Sementara Evan hanya menggeleng. "Ini pasti ulah Asty," tuduh Lidya. Sontak Evan dan Luna menoleh. "Nggak mungkin, Ma. Asty tidak akan berbuat jahat seperti itu." Evan mengelak, ia tidak yakin jika Asty berbuat jahat seperti itu. "Apanya yang nggak mungkin, jelas-jelas dia bersedia pergi dari rumah ini dan mau menyerahkan butik yang dikelolanya. Kalau tidak ada rencana tidak mungkin Asty mau pergi," kekehnya. Lidya tetap menuduh Asty sebagai pelakunya. "Luna, ayo ikut mama." Lidya bangkit dari duduknya, dan tentunya diikuti oleh menantunya itu. Evan men
Setibanya di rumah Rena meletakkan barang belanjaannya di atas meja, beruntung Rena membawa uang, jadi mereka tidak perlu mengembalikan barang yang telah diambil. Evan kembali memijit pelipisnya, ia sudah menduga jika itu adalah ulah Asty. "Ini pasti ulah Asty, pasti dia yang sudah memblokir kartu ATM aku," gumam Evan. Ia menyenderkan kepalanya di sandaran sofa. "Untung aku bawa uang, coba kalau enggak. Mau ditaruh di mana muka kita." Suara Rena mampu membuat Evan tersadar dari lamunannya. "Maaf, aku juga nggak tahu kenapa ATM aku bisa keblokir," ucap Evan. Rena menghela napas. "Apa ini ulah Asty.""Sepertinya iya." Evan mengangguk. "Ren, aku mau tidur sebentar ya, capek banget." Evan berucap seraya merebahkan tubuhnya di sofa. "Mas tidur di kamar saja, biar lebih nyaman," sahut Rena. "Ya sudah." Evan bangkit dari duduknya. Ia mencium kening Rena lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Sementara itu, Rena memilih untuk ke dapur. Di lain tempat, Asty sedang sibuk dengan laptopnya.
Perkelahian tidak bisa dihindari lagi, Asty hanya bisa berharap semoga orang yang membantunya bisa mengalahkan orang-orang jahat tersebut. Setelah cukup lama berkelahi, ketiga orang itu akhirnya terkapar tak berdaya. Dengan sisa tenaga yang masih ada, mereka melarikan diri."Sudah tidak perlu dikejar." Asty mencegah orang tersebut, saat hendak mengejar para penjahat itu. "Kamu baik-baik saja kan?" tanya orang tersebut. "Iya, terima kasih ya atas bantuannya," jawab Asty. "Sama-sama, nggak nyangka ya kita bisa ketemu lagi. Gimana kabar kamu?" tanya orang tersebut. "Alhamdulillah baik kok, kamu sendiri bagaimana." Asty balik bertanya. "Alhamdulillah aku juga baik, eh ini kamu mau kemana?" tanyanya lagi. "Aku mau ke kantor, kamu sendiri mau kemana, Van." Asty juga kembali bertanya. "Aku mau ke kantor kamu, katanya papa ada janji sama kamu. Tapi tadi papa ada urusan yang lain, jadi aku yang gantiin," jawab Vanno. Yang tak lain adalah putra dari Haris, sahabat kedua orang tua Asty.
Vina menangis, ia tidak menyangka jika Evan kembali melakukan itu padanya, mungkin dulu Vina sangat menikmatinya, bahkan ia tidak peduli dengan perasaan kakaknya. Namun sekarang, Vina merasa jijik dengan hal itu, ia sudah bertekad untuk menjadi istri yang baik, tapi ternyata niatnya telah ternoda. "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang hebat, pantas saja Erik mau menikahimu." Evan mengusap kepala Vina, dengan kasar ia menepis tangan Evan. Ia merasa jijik dengan pria yang baru saja menjamah tubuhnya. "Uh, galak banget sih. Lain kali lagi ya." Selesai berpakaian, Evan bergegas pergi meninggalkan Vina yang masih terisak. Vina memukul-mukul tubuhnya sendiri, ia benar-benar jijik. Evan sudah menodainya, sebagai seorang istri, Vina gagal menjaga kehormatannya. Dengan deraian air mata, Vina berjalan masuk ke dalam kamar mandi, lalu berdiri di bawah shower. Ia menyalakannya, guyuran air membasahi seluruh tubuhnya. Sementara itu, Evan sudah tiba di rumah. Dengan senyum mengembang ia berjala