Setengah jam kembali, kini mereka sudah dalam perjalanan mencari tahu gejrot permintaan Asty. Vanno terus melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, sedangkan matanya mencari tukang tahu gejrot yang biasanya berasa di pinggir jalan. "Mas berhenti di depan," titah Asty. "Baik, Tuan Putri," sahut Vanno. Setelah itu ia menepikan mobilnya. "Mas tunggu di sini aja, biar aku yang beli," ujar Asty, seraya melepas sabuk pengaman. "Ya udah, jangan lama-lama. Jalannya hati-hati," nasehatnya. Sementara Asty hanya mengangguk. Asty berjalan menuju penjual tahu gejrot, sesampainya di sana, wanita hamil itu segera memesan satu porsi tahu gejrot dengan level pedas yang cukup bikin geleng-geleng. Sembari menunggu pesanan, Asty memilih untuk duduk. "Ini, Neng pesanannya," ucapnya seraya menyodorkan kresek berukuran sedang. "Ok, ini bayarannya." Asty menyodorkan uang seratus ribu rupiah. "Wah, nggak ada kembaliannya," ujarnya. "Udah ambil aja," sahut Asty. Ia pun beranjak pergi meninggalkan te
Sudah hampir satu minggu Asty memergoki suaminya mandi keramas setiap jam lima pagi sebelum shalat subuh. Biasanya pria berkacamata itu mandi keramas saat jam enam pagi, atau setelah melakukan ibadah halal bersama istrinya. Padahal sudah lima hari istrinya sedang kedatangan tamu bulanan, otomatis mereka puasa selama hampir satu minggu. "Mas tumben jam segini udah mandi keramas, biasanya juga nanti," ujar Asty saat melihat suaminya keluar dari kamar mandi, dengan keadaan rambut yang basah dan hanya melilitkan handuk di pinggang. "Ah, iya. Soalnya gerah, makanya aku langsung mandi." Evan terlihat gugup saat ditanyai oleh istrinya. "Gerah kok, hampir satu minggu. Itu namanya bukan gerah, tapi .... " Asty menghentikan ucapannya di batin, saat mendengar pertanyaannya suaminya. "Tumben kamu udah bangun, biasanya juga nanti, saat kamu sedang datang bulan." Evan melempar pertanyaan kepada istrinya. "Iya, Mas. Soalnya hari ini Vina kan mulai berangkat kuliah, jadi aku harus bangun pagi un
Setelah sambungan telepon terputus tiba-tiba Evan mendengar derap langkah yang menuju ke ruangannya. Dengan cepat ia mengancingi kemejanya, dan juga menyuruh Rena masuk ke dalam kamar mandi. Untuk merapikan penampilannya sekaligus bersembunyi. Selang beberapa menit, pintu ruangannya terbuka, Evan tersenyum saat melihat istrinya datang, meski hatinya masih deg-degan. "Assalamu'alaikum." Asty mengucapkan salam seraya menutup pintu. "Wa'alaikumsalam." Evan mengencangkan dasinya, yang masih terasa kendur. "Sayang, ada apa? Tumben banget kamu datang ke kantor." Evan berjalan menghampiri istrinya, lalu mengecup keningnya. "Cuih, kenapa sekarang aku merasa jijik dengan kecupan ini. Meski aku belum yakin jika mas Evan bermain api di belakang aku, tapi aku merasa laki-laki ini sedang menyembunyikan rahasia dariku," batin Asty. "Ini dompet kamu ketinggalan." Asty menyerahkan dompet milik suaminya. "Makasih ya, Sayang. Tadi aku buru-buru sampai lupa." Evan menerima dompet itu, lalu memasuk
Persendian Asty terasa lemas, bahkan foto itu sempat jatuh, syok, terkejut, dan juga kecewa telah menjadi satu. Bagaimana tidak kecewa, suami yang ia kira setia, rupanya telah mendua. Bisa-bisanya Evan menikah lagi dengan perempuan lain, dan perempuan itu adalah sahabat Asty, bahkan sahabat dekat. "Jadi ini balasan kamu, Luna. Kebaikanku kau balas dengan kecurangan. Teganya kamu menikah dengan suami sahabat sendiri, di mana hati nurani kamu sebagai seorang wanita," desisnya. Asty mengambil foto itu lalu dengan cepat ia memotretnya. Satu bukti kebusukan Evan kembali ia dapat, setelah ini ia akan mencari kebusukan suaminya itu lagi. "Apa mungkin testpack yang kemarin itu testpack Luna." Asty teringat akan testpack yang ia temukan di saku jas suaminya. "Apa gara-gara aku belum bisa memberi mas Evan keturunan. Tapi kita baru saja menikah satu tahun, bahkan untuk orang lain ada yang sampai lima tahun baru diberi momongan," gumam Asty. Setelah itu ia kembali merapikan buku tersebut, tak
"Asty." Evan memandang Luna sesaat, setelah itu ia bangkit seraya memakai pakaiannya. "Ada apa, Mas?" tanya Luna dengan raut wajah bingung. "Asty video call." Evan menjawab seraya mengancingi kemejanya. "Terus kenapa, Mas buru-buru begitu. Udah biarin aja lah, nanti juga capek sendiri." Luna menarik tangan Evan agar pria itu kembali berbaring di sampingnya. "Asty bisa curiga, aku angkat dulu ya," ujar Evan. Berharap wanitanya itu mau mengerti akan posisinya saat ini. "Kenapa nggak kamu ceraikan aja sih, Mas. Jadi kita kan bebas," saran Luna. "Nggak bisa, soalnya uang yang buat hidupin kamu itu milik Asty. Tolong kamu ngertiin aku ya," terangnya. Sementara Luna hanya mengangguk setelah sejenak berpikir. "Kamu tunggu aku di sini ya, aku angkat telepon dulu." Evan keluar dari kamar dan memilih untuk duduk di ruang tamu. Setelah itu ia menggeser tombol berwarna hijau, untuk menerima panggilan dari Asty. [Assalamu'alaikum, Mas sekarang ada di mana? Kenapa lama banget sih angkatnya]
Evan melotot ke arah Rena, iya suara itu adalah suara Rena, sekretaris pribadinya. Sementara itu, Asty semakin tajam menatap suaminya, tanpa ia mencari dan meminta, kebusukan suaminya perlahan terbongkar. Asty yakin, jika Evan memiliki hubungan khusus dengan Rena, sekretaris pribadinya. "Kamu sekretaris suami saya kan?" tanya Asty. Ia berjalan menghampiri Rena. Tangannya terlihat gemetar saat Asty berjalan mengelilinginya. "Kamu tidak perlu gemetar seperti itu, saya nggak bakal gigit kok," ujar Asty, seketika Rena mendongak. "Sayang, kita .... ""Aku ada urusan sama dia, Mas. Udah, Mas duduk aja sama Erik." Asty memotong ucapan suaminya. Evan hanya menghela napas, dan akhirnya ia pasrah. "Nama kamu Rena." Asty kembali melempar pertanyaan untuk Rena. "Iy-iya, Bu." Rena mengangguk. Asty kembali berputar memperhatikan penampilan sekretaris suaminya itu. "Dia bukan sekretaris biasa, dan profesinya juga bukan hanya sebagai sekretaris, tetapi juga ada yang lain," batin Asty."Sudah be
Detik itu juga suasana mendadak hening, Asty menatap dua manusia yang ada di hadapannya secara bergantian. Ternyata tidak sia-sia mengikuti mobil suaminya yang keluar dari kantor. Asty sudah menduga jika suaminya pasti akan pergi ke rumah istri mudanya, dan ternyata dugaannya benar. "Asty kamu .... ""Kenapa? Kaget lihat aku sudah ada di sini." Asty memotong ucapan suaminya. Sejujurnya Evan tidak layak disebut sebagai suami lagi. Evan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, raut wajahnya terlihat panik dan juga gugup. Begitu juga dengan Luna. Mereka pasti tidak pernah menyangka jika Asty akan datang, dan Asty bukan wanita bod*h yang bisa dibohongi oleh suaminya. "Asty aku .... ""Stop, aku sudah tahu semua kebusukan kalian. Aku tidak nyangka, ternyata kalian itu sama saja ya. Dan kamu, Luna aku bahkan sudah menganggap kamu sebagai saudara, tapi ini balasannya. Hah, sahabat macam apa, yang tega menikam sahabatnya sendiri dari belakang." Asty memotong ucapan Luna. "Aku melakukan ini
Asty terdiam cukup lama, ia memandangi dua wanita yang kini berdiri di hadapannya itu. Baru semalam ia mendatangi Luna, dan sekarang dia datang dengan membawa ibu mertuanya. Asty yakin, perempuan itu pasti sudah mengadu kepada ibu mertuanya. "Mungkin tidak ada salahnya jika aku menerima mereka, dengan begitu aku akan lebih mudah untuk membalas perbuatan mereka. Aku akan buat mereka menyesal seumur hidup, terutama kamu, Mas. Kamu yang memulainya, dan kamu yang paling pertama akan merasakan bagaimana tersakiti," batin Asty, ia tersenyum saat membayangkan bagaimana reaksi mereka nanti. "Oh, jadi kalian akan tinggal di sini. Boleh sih, tapi nggak gratis ya, apa lagi di sini tidak ada pembantu. Awalnya aku memang ingin mencari pembantu, tapi karena kalian sudah datang. Nggak ada salahnya kalau .... " Asty sengaja menggantung ucapannya. Ia dapat melihat raut wajah kedua wanita itu yang sudah memerah, karena merasa geram. "Heh, kamu mau menjadikan pembantu iya!" bentak Lidya. Perempuan se