“Udah siap, Ris?” tanya ibu saat masuk ke dalam kamar putrinya. Risa mengangguk, ia memakai kaos dan celana panjang yang tak menekan perutnya, usia kandungannya sudah masuk minggu ke delapan namun masih terlihat rata.
“Ayo, Bu,” ajak Risa sambil membantu membawa tas berisi kantong plastik. Sementara ibu membawa satu tas bahan super besar yang terisi delapan kotak kue basah. Mereka membawa dengan trolley yang bapak buat sendiri dari kayu dan roda kecil. Hal itu memudahkan ibu membawa ke pasar dengan berjalan kaki yang jaraknya tak kurang dari satu kilometer.
Risa dan ibu berjalan santai, banyak pasang mata para tetangga yang mencibir saat mereka lewat, namun keduanya sudah tak peduli dan memilih cuek.
Tiba di pasar, Risa segera membereskan meja kayu yang sudah diletakan bapak jam empat pagi, lagi-lagi meja kayu lipat itu bapak yang buat. Penjual es cendol belum datang, Risa sudah memberikan jarak untuk penjual cendol nanti tiba, tak repot saat merapikan dagangannya.
“Bu, yang buat di kior Koh Liem, yang mana? Sini Risa antar.” pintanya. Ibu menyerahkan satu tas lain.
“Nanti kamu taruh di etalasenya, ya, kamu udah kenal Koh Liem sama anak-anaknya, ‘kan?”
“Udah, Bu. Risa ke sana, ya,” pamitnya sambil berlalu. Hanya cukup menyeberang sudah sampai di kios.
“Pagi Koh Liem, Risa mau antar kue,” ucapnya.
“Eh… si Risa, sini-sini, Risa, masuk sini. Wei! Weini! Ada Risa, nih!” panggil Koh Liem ke anak perempuannya. Weini yang memang ceria dan sudah kenal dengan Risa segera menghampiri.
“Risa! Gimana kabar kamu. Udah berapa bulan?” tangan Weini mengusap perut Risa yang begitu terkejut dengan sikap anak Koh Liem itu.
“Risa. udah, cuekin aja orang mau bilang apa. Ibu kamu udah cerita ke Koh Liem dan Maminya si Weini, jangan khawatir, jangan dipikirin, ya. Kamu udah sarapan? Mau roti? Ambil aja Risa, gratis, ambil… ambil,” ujar Koh Liem. Risa tersenyum, ia berkata sudah sarapan. Tak lama muncul istrinya.
“Risa! Sini-sini, coba Nci pegang, ya,” ucapnya sambil menempelkan telapak tangan.
“Emgh, anak kamu pasti sehat, jadi anak pintar dan selalu bikin Mamanya seneng. Nanti lahir di tahun shio kelinci, pasti–”
“Mami mulai, deh…,” protes Weini.
“Risa, bawa roti sama susu, ya. Jangan pikirin omongan orang lain, mereka nggak tau apa-apa. Kami paham hal ini berat, kami tau keluarga kamu. Ya, Risa. Sebentar Nci bungkusin, ya.”
Risa tak bisa berkata-kata, ia merasa keluarga orang yang menolong ibunya menaruh dagangan kue justru begitu baik dan tak mencemooh dirinya. Risa tersenyum, anaknya hari ini mendapat rejeki tak hanya makanan, tapi orang baik yang begitu ia syukuri.
***
“Mau dua lempernya? Terus apa lagi? Semua dua ribu lima ratusan harganya,” ujar Risa yang berdiri sambil memegang plastik dan jepitan kue.
“Risoles satu, Mbak,” jawab pria itu. Risa memasukan ke kantong plastik bening. “Udah itu aja,” ujarnya.
“Tujuh ribu lima ratus semuanya,” ujar Risa. Ia menerima uang lalu memberikan kembalian. Ia berikan ke ibunya yang bertugas menghitung uang.
“Risa, mau es cendol, nggak?” tawar penjual yang duduk di sebelahnya. Seorang wanita yang usianya seumuran dengan ibunya.
“Boleh, Bu, gulanya sedikit aja, berapa?” tanya Risa.
“Gratis. Sebentar, ya,” ucap penjual. Risa melongo. Tak lama ia menerima satu gelas es cendol dengan perasaan tak enak hati. “Ayo cobain, saya setiap hari udah cobain kue buatan Ibumu, enak-enak.”
Risa mengangguk. Ia duduk di sebelah ibunya. “Bu, berdua, nih, sama Risa.” Ibu menggeleng.
“Buat kamu aja, Ibu udah bosan.” lalu tertawa bersama penjual es cendol. Mereka sibuk ngobrol, Risa yang berparas ayu dengan kulit putih, berkali-kali mendapat lirikan dari lalu lalang orang yang lewat. Pun, dari seseorang yang berada di dalam mobil sedan mewah, ia jelas sekali melihat ke arah Risa yang duduk sambil minum es cendol. Wajah pria itu begitu dingin dan juga seringai jahatnya muncul. Ia lalu memalingkan wajah, tampak senyum sinis terpatri di wajahnya.
“Kita langsung ke proyek, Mas?” tanya bapak, ayah Risa yang mengemudikan mobil itu.
“Iya, Pak. Saya sudah lihat apa yang mau saya lihat.”
“Maksudnya, lahan kosong tadi? Yang mau dijadikan minimarket dan toko mainan bermerek itu, Mas?”
“Iya. Ratu minta saya cek lokasi ini, kebetulan memang dia mau bangun namanya sendiri untuk urusan bisnis mini market dan semacam toserba, lah.”
“Oh, baik, Mas.” Mobil melaju meninggalkan area pasar dan pertokoan di daerah tersebut. Pasarnya juga pasar bersih, jadi suasananya juga cukup nyaman karena dikelilingi perumahan elit dan lingkungan masyarakat menengah ke atas.
***
Lokasi proyek pemugaran mal yang terbengkalai dan kini diambil alih oleh kontraktor milik keluarga Bagas, membuat nama salah satu anaknya semakin melambung tinggi. Tak ada yang berani mendekati pria tersebut, dibilang kulkas berjalan atau kadang pangeran dengan hati dingin, julukan itu tak berpengaruh padanya.
“Pak Agus!” panggilnya ke ayah Risa.
“Ya, Mas.” Agus sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda sopan santun.
“Temani saya cek ke dalam area mal, tolong bawakan tas ini.” Tas ransel hitam besar diberikan ke Agus, lalu mengikuti anak majikannya berjalan di belakang. Tak lupa keduanya memakai topi proyek berwarna kuning juga rompi warna menyala.
Langkah keduanya menyusuri area mal dari lantai dasar hingga lantai lima mal besar dan mewah itu. Tak lupa, beberapa sudut disusuri mereka. Pria tersebut meminta Agus mengeluarkan kertas dari dalam tabung yang terselip di dalam tas, setelahnya dibuka untuk melihat tata letak apakah sudah sesuai atau tidak dengan desain.
“Mas, setelah ini apa masih ke lokasi lain?” tanya Agus.
“Nggak. Kita pulang, ada apa, Pak?” liriknya sebelum kedua mata kembali menatap ke kertas blueprint di tangan.
“Saya mau izin pulang cepat. Mau ada perlu,” jawab Agus.
“Ke mana?”
“Itu… ehm… anu, Mas…, saya mau antar putri saya ke bidan, kontrol kandungan.”
DEG!
Jawaban Agus membuat pria tersebut memejamkan kedua matanya sejenak. Mendadak kedua telapak tangannya basah.
“Oh. Oke. Kita pulang sekarang aja. Pak Agus antar saya ke apartemen aja. Jangan ke rumah Mama, di sana ada–” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. Ponselnya berdering.
“Halo, Ma,” sapanya dengan intonasi begitu dingin.
“Kapan pulang? Mama mau bahas sesuatu.”
“Apa nggak bisa ditunda, Ma?”
“Nggak bisa. Mama tunggu, ya.”
“Nggak janji.” ucap pria itu sambil menyudahi obrolan. “Pak, kita jemput Leon sekalian aja.”
“Lho… Leon sama Ibu, ‘kan?”
“Ibunya sibuk. Leon pasti dicuekin.” Pria itu berjalan tegap menuju ke tangga, pak Agus hanya bisa mengikuti dari belakang tak mau banyak bicara lagi.
Malam hari pukul tujuh. Risa yang ditemani kedua orang tuanya duduk menunggu namanya dipanggil untuk diperiksa. Buku kontrol kehamilan sudah ia pegang, ia juga sudah tensi dan menimbang berat badannya yang belum ada perubahan.
“Nyonya Risa,” panggi asisten bidan. Mereka bertiga beranjak, ikut masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
“Nggak sama suaminya?” tanya bidan seraya tersenyum.
“Masih di luar pulau, Bu Bidan,” jawab ibu menutupi. Tempat praktek bidan memang agak jauh, sengaja tak memilih yang dekat rumah, karena rumor itu pasti sudah tersebar.
Risa merebahkan tubuhnya, alat usg juga tampak baru sehingga membuat Risa bisa melihat perkembangan janin di tubuhnya. Gel dingin diletakan di perut, alat dengan kabel kecil itu bergerak di atas perutnya, setelah beberapa detik, muncul tampilan kantong rahim dan janin.
“Nah… itu dia. Sudah masuk minggu ke sembilan dua besok, ya…, masih mual nggak?” tanya bu bidan.
“Sedikit, Bu,” jawab Risa. Kedua matanya berkaca-kaca saat melihat janin anak yang ada dengan keterpaksaan, tumbuh baik di rahimnya. Risa seketika bertekat, akan melindungi dan menjaga anaknya seumur hidup, ia juga akan membuat lelaki bajingan yang menghamilinya semakin tersiksa.
Pemeriksaan selesai, Risa tidak perlu kembali bulan depan, dua bulan sekali saja, dan bidan memberikan vitamin tambahan.
“Risa, jangan malas makan, ya, biar bayinya makin sehat. Kita lihat bulan depan, nambah berapa berat badannya, ini resepnya, nanti tebus di depan, ya, sehat-sehat, ya, Risa.” Bidan itu tersenyum. Bapak berjalan lebih dulu sambil membawa kertas resep, kemudian memberikan uang seratus ribu untuk membayar jasa pemeriksaan dan vitamin, cukup terjangkau.
Mereka bertiga berjalan kaki menuju ke rumah, Risa melihat ke arah penjual bubur kacang hijau, mendadak ia ingin makan itu.
“Pak, Risa pinjam uang Bapak, mau beli itu,” tunjuknya. Bapak tertawa. Ia segera mendekat ke penjual lalu memberi satu bungkus untuk putrinya.
“Ngapain pinjam. Kalau kamu mau sesuatu, bilang, supaya cucu Bapak nggak ileran nanti,” ledek bapak. Laki-laki itu sangat hancur hatinya, tapi begitu kuat dan tegar. Hati seorang ayah tak kan sanggup melihat masa depan putrinya hancur karena masalah ini, namun mau meratapi tak kan membuahkan hasil. Ia harus menjadi penguat putrinya sendiri.
“Risa, ada yang jual jus, mau alpukat, itu bagus untuk janin. Ibu beliin, ya,” kini ibu yang menghampiri penjual jus di depan minimarket, Risa tersenyum. Ia semakin yakin jika harus kuat dan tegar menghadapi apa pun. Demi anak yang ada di rahimnya, juga kedua orang tuanya.
Los dagangan kue Risa dan ibunya semakin hari semakin ramai, bahkan, keduanya sampai kewalahan saat mendadak menerima pesanan kue untuk acara konsumennya. Seperti malam itu, setelah pulang dari pasar pukul dua siang, Risa dan ibu beristirahat sejenak sekedar meluruskan kaki. Namun, tak lama kemudian segera merapikan bahan kue untuk dijual esok hari. “Bu, nggak ada pesanan lagi?” “Ada, Ris. Lumpia isi daging giling. Ini Ibu mau tumis dagingnya. Kamu bikin adonan kulitnya, ya, jangan lupa ditutupi plastik yang udah diolesi minyak biar nggak kering kalau udah jadi semua nantinya.” “Iya, Bu.” Risa beranjak. Ia segera mengambil tepung terigu dan baskom besar. Ruang TV sudah disulap menjadi ruang produksi, bapak yang mengatur supaya anak dan istrinya tak perlu mondar mandir ke dapur untuk membuat kue. Bahkan kompor juga dipindahkan satu ke ruang TV berukuran kecil itu. Risa duduk di kursi meja makan, perutnya sudah membesar, kini sudah memasuki lima bulan usia kehamilannya. Berat badanny
Perut Risa sudah semakin besar, bahkan kini sudah memasuki HPL atau hari perkiraan lahir. Ia tak tau jenis kelamin anaknya apa, tapi tanda-tanda ia akan melahirkan masih belum tampak. Hari itu, ia kembali mendapat lirikan dan cibiran dari tetangga, bapak yang selama ini diam akhirnya bersuara dan meminta para tetangga untuk sabar hingga Risa melahirkan, kemudian ia akan memboyong keluarganya pindah karena rumah satu-satunya juga laku dijual dengan harga murah, terpaksa hal itu dilakukan mengingat lingkungan yang tak sehat dengan perkataan yang terus menghina Risa. Ia sedang berjalan ke toserba yang baru diresmikan, milik Ratu. Risa masuk ke dalamnya, toserba dua tingkat itu menyediakan banyak ragam barang kebutuhan, bahkan hingga ke perlengkapan bayi dan anak. Risa menaiki tangga secara perlahan, di tangan kanannya ia memegang dompet. Ia punya ponsel, tapi tak pernah ia gunakan karena berisi teman-teman kuliahnya yang pasti mencari dirinya. Tiba di lantai dua, ia mendekat ke arah ra
Kelahiran bayi mungil itu disambut suka cita kedua orang tua Risa juga keluarga Koh Liem. Nama sederhana juga sematnya Risa dengan sangat indah, Nadia Faradiba, memiliki arti yang indah dan cantik. Risa belum pulih benar, ia masih harus berada di tempat praktek bidan. Agus berjalan ke meja administrasi, menanyakan berapa biaya melahirkan dan semuanya. Total enam juta rupiah, Agus diam, uangnya hanya ada tiga juga. Ia segera pergi dari sana karena akan berangkat kerja setelah sebelumnya pulang ke rumah untuk mandi dan mengganti pakaian. Setibanya di rumah sakit, ia melihat pria tersebut baru keluar kamar rawat istrinya. “Pagi, Mas,” sapa Agus. “Pagi. Pak Agus kok di sini, bukannya?” “Cucu saya sudah lahir dengan selamat. Hanya Risa yang lemah dan harus tinggal di sana sampai dua atau tiga hari lagi.” “Oh, cucunya laki-laki atau perempuan?” “Perempuan.” jawab Agus. Pria itu diam. Tak bisa berkata-kata apa pun lagi. “Mari, Mas, kita harus jemput Leon di rumah, ‘kan?” ajak Agus. Pri
Risa menggendong bayinya dengan begitu hati-hati saat melewati rumah tetangga di tempat tinggalnya yang baru. Sudah dua minggu ia dan kedua orang tuanya juga bayi Nadia tinggal di sana. Awalnya semua biasa saja namun, perahan muncul suara sumbang yang membuat hati Risa harus semakin memupuk kesabaran. "Risa, dari mana?" tanya tetangga bernama Iin, janda muda anak satu yang berprofesi sebagai pekerja di salon yang ada di pasar. "Dari posyandu, teh, imunisasi Nadia," jawab Risa. "Oh. Kirain cari Bapaknya Nadia, atau coba hubungi. Siapa tau lagi butuh uang, 'kan?" hina Iin. Risa diam, ia terus berjalan dan sesekali melirik ke bayi perempuan dalam gendongannya yang terlapis selimut bayi hadiah dari Weini juga. Risa berjalan hingga ke rumah sederhana yang dibeli bapak. Pria itu kini bekerja sebagai sekuriti di pabrik roti dekat pasar. Sedangkan ibu bekerja di rumah konveksi sebagai penjahit. Ibu memang pandai menjahit dan bikin kue, jika kue, konsumennya sedikit karena rata-rata orang
Nadia sedang duduk menikmati roti di dapur saat Risa memasak sayur terong yang ia goreng lalu membuat sambal. "Enak rotinya, Nad?" tanya Risa sambil membalik terong di dalam wajan. Nadia mengangguk. Ia mengarahkan roti ke Risa. "Buat Nadia aja, Bunda lagi masak buat Bunda makan. Makan yang banyak biar sehat, ya." Risa beralih menanak nasi dalam panci kecil. Ia mengaduk perlahan sambil memantau api pada tungku kayu bakar. Tangannya sudah terbiasa terkena api yang terbang dari sisa pembakaran kayu, bara kecil itu tak pernah absen menyentuh kulit tangannya. Jam menunjukan angka 6, kedua orang tuanya belum kembali dari pasar. Perasaan Risa mulai tak karuan, ia menunggu sambil menatap hidangan sederhana yang tersaji di atas meja. Nadia sendiri asik bermain pinsil dan kertas yang Risa berikan sebagai sarana kreatifitas Nadia. Dua jam berlalu, hingga pintu rumah diketuk. Risa beranjak cepat sambil menggendong Nadia. "Pak Kades," sapanya. "Risa. Bapak ke sini mau kasih kabar. Orang tua ka
Kembali Risa menjalankan aktivitasnya, dan membawa serta Nadia. Rumah sudah ia kunci rapat. Tangannya bersiap menggendong Nadia ke punggungnya, ia menggunakan kain sebagai penyanggahnya. "Nadia ikut Bunda kerja lagi ya, sayang," tuturnya sambil mulai berjalan. Mereka melewati rumah tetangga yang tak lagi nyinyir, tapi berganti dengan tatapan merendahkan. Salah apa Risa, sampai ia harus menelan pil pahit hidup dengan respon tetangga sekejam itu. Langkah Risa terhenti saat ia melihat seseorang dengan sepeda motor berhenti di hadapannya saat ia tiba di jalan raya. "Teh Risa," sapanya. Risa menatap, ia memicingkan kedua mata karena tak tau siapa yang menyapa hingga pria itu membuka kaca helm yang dikenakan. "Dokter Azil?!" Risa memekik. Azil tersenyum. "Mau ke mana?" "Ke kebun sayur. Dokter mau ke Puskesmas?" "Iya. Mari saya antar, Teh." "Nggak usah, saya biasa jalan kaki," tolak Risa sopan. "Nggak papa. Kasihan Nadia, baru sembuh juga, 'kan? Ayo, Teh." Azil memaksa. Risa sempat r
Menjadi dekat dengan seorang dokter tampan di kampung, membuat Risa kembali menelan bulat-bulat ocehan para tetangga. Ia belum mengiyakan tawaran Azil untuk tinggal di paviliun rumah dinasnya yang ada di kampung lain, terasa aneh juga tak pantas menerima tawaran itu. Risa sedang menjemur pakaian, saat Iin berjalan menghampirinya di samping rumah. "Kamu dekat sama dokter itu, Sa?" tanyanya dengan menunjukkan wajah tak suka. "Iya," jawab Risa sambil memeras baju lalu ia letakan pada tali tambang panjang yang dijadikan jemuran. "Hati-hati, kamu nanti dianggap gampangan," lanjut Iin. Risa melirik sekilas lalu kembali melakukan kegiatannya. Tetangga satu itu memang usil mulutnya, disangkanya Risa tidak tau bahwa Iin lah yang gampangan. Gimana nggak? Risa jelas melihat Iin membawa masuk beberapa lelaki ke rumahnya saat itu, lalu saat malam, mendengar suara yang tak sepantasnya ia dengar. Menjelang pagi, tepatnya saat matahari belum muncul, pria-pria itu keluar diam-diam dari dalam ruma
Hari pertama tinggal di paviliun, Risa dan Nadia tampak masih sungkan dengan Azil. Pria itu bahkan membantu membersihkan beberapa sudut ruangan. Risa sudah menolak, ia menginginkan dirinya saja yang membersihkannya, tapi Azil tak mau dan tetap membantu. “Kamu jangan sungkan begitu, Risa. Aku ikhlas bantu kamu dan Nadia,” tuturnya sambil terus menyapu lantai. “Yakin? Kamu nggak takut timbul fitnah dari tetangga atau bahkan … pasien kamu?” kata Risa sambil memasang taplak meja makan kecil yang juga dijadikan meja serbaguna lainnya. Paviliun itu hanya ada satu kamar dan satu kamar mandi dengan ruang tamu kecil di depan. Tidak ada dapur sehingga Azil meminta Risa untuk tidak canggung memasak di rumah utama. “Kamu mau cari kerja lagi, ‘kan?” Azil selesai menyapu lantai, lalu duduk di kursi dekat pintu. “Iya. Dari sini ke kebun sayur jaraknya jauh, nggak mungkin juga aku bawa-bawa Nadia jalan kaki.” “Terus, mau kerja di mana?” “Belum tau. Aku coba tanya ke teman di pasar.” “Jangan. K