Kelahiran bayi mungil itu disambut suka cita kedua orang tua Risa juga keluarga Koh Liem. Nama sederhana juga sematnya Risa dengan sangat indah, Nadia Faradiba, memiliki arti yang indah dan cantik. Risa belum pulih benar, ia masih harus berada di tempat praktek bidan. Agus berjalan ke meja administrasi, menanyakan berapa biaya melahirkan dan semuanya. Total enam juta rupiah, Agus diam, uangnya hanya ada tiga juga. Ia segera pergi dari sana karena akan berangkat kerja setelah sebelumnya pulang ke rumah untuk mandi dan mengganti pakaian.
Setibanya di rumah sakit, ia melihat pria tersebut baru keluar kamar rawat istrinya. “Pagi, Mas,” sapa Agus.
“Pagi. Pak Agus kok di sini, bukannya?”
“Cucu saya sudah lahir dengan selamat. Hanya Risa yang lemah dan harus tinggal di sana sampai dua atau tiga hari lagi.”
“Oh, cucunya laki-laki atau perempuan?”
“Perempuan.” jawab Agus. Pria itu diam. Tak bisa berkata-kata apa pun lagi.
“Mari, Mas, kita harus jemput Leon di rumah, ‘kan?” ajak Agus. Pria itu mengangguk, ia berjalan ke arah lift.
Saat di dalam lift, mulutnya gatal untuk bertanya. “Nama cucu Pak Agus siapa?”
“Kata Risa, nama bayinya, Nadia Faradiba, Pak. Risa sendiri yang kasih nama.”
“N-nadia?” Pria itu terbata.
“Iya. Risa suka dengan nama itu,” lanjut Agus.
‘Saya juga, Pak. Saya mau menamakan anak saya Nadia jika perempuan.’ ucapnya dalam hati.
“Mas, Leon nanti dibawa ke sini aja, takut di rumah kesepian,” lanjut Agus lagi.
“Iya. Saya juga berpikir seperti itu.”
Tak ada pembicaraan lagi hingga Agus teringat tentang biaya persalinan putrinya.
“Mas, mohon maaf. Ada hal lain yang mau saya bicarakan,” izinnya. Pria itu mengangguk, dan meminta melanjutkan obrolan setelah tiba di mobil. Tak butuh lama, setelah berada di dalam mobil, Agus segera melanjutkan kata-katanya.
“Saya mau pinjam uang tiga juta rupiah, Mas, untuk biaya persalinan Risa. Uang saya kurang,” ucap Agus melas.
“Lho, bukannya Pak Agus baru jual rumah?”
“Iya, tapi sudah habis saya belikan rumah lagi di lokasi lain. Sekaligus saya mau pamit untuk berhenti bekerja bulan depan. Saya pinjam uang tiga juta sekarang dan nanti gaji saya bulan depan tidak usah di bayar, Mas. Nanti saya juga pamit sama Pak Bagas dan Ibu.” Agus bicara sambil mengemudi. Pria yang bersamanya memejamkan mata, uang tiga juta baginya begitu kecil, bahkan harga sepatu yang ia kenakan untuk menginjak jalanan saya di atas enam juta.
“Yakin hanya tiga juta?” Nada bicara itu begitu dingin.
“Yakin, Mas. Bulan depan gaji saya nggak perlu di bayar, nggak papa.” Agus melanjutkan ucapannya. Pria itu segera mentransfer uang dengan nominal yang diminta Agus kemudian meminta supirnya itu mengecek m-banking. Agus terus mengucapkan terima kasih, ia lega akhirnya bisa mendapatkan uang untuk membayar persalinan.
***
“Pelan-pelan jalannya, Risa,” ucap asisten bidan yang membantu Risa belajar jalan dan duduk. Terasa ngilu, ia berjalan sangat pelan, melihat ke luar jendela, tampak bayinya sedang digendong ibunya yang menjemur dibawah sinar matahari pukul delapan pagi. Tak begitu terik.
“Mau ke depan, yuk, pelan-pelan jalan,” ujar wanita itu lagi. Risa mengangguk, perlahan namun pasti ia tiba di luar kamar, menghirup udara segar lalu kedua matanya melihat ke putrinya yang mulut mungilnya terbuka seperti mencari nipel.
“Kasih ASI lagi, Ris, takut haus baru di jemur, habis ini Ibu mandiin bayimu, ya,” ucap ibu. Risa perlahan duduk di kursi, dibantu asisten bidan yang mengajarkan cara menyusui bayi sementara ibunya menyiapkan perlengkapan memandikan bayinya.
“Lama-lama ASInya keluar sendiri, kok, rutin disusui aja bayinya, ya. Risa, saya tinggal ke depan dulu, nanti ke sini lagi. Mau ada pasien lagi.”
“Iya, terima kasih, ya, Mbak,” ucapnya diakhiri senyuman. Risa menatap wajah Nadia yang sedang meminum ASI, sedikit nyeri tapi terasa nikmat karena inilah kelebihan seorang ibu.
“Bulu matamu lentik, Nak, mirip… dia,” bisik Risa. “Sehat selalu ya, sayang, Mama akan berjuang untuk bahagiakan kamu. Kita pasti bisa hadapi banyak ujian di depan. Selama ada Mama, nggak akan Mama biarin kamu menangis, apalagi sedih. Nadia harus terus sama Mama walau tanpa Papamu, ya, ‘Nak. Kita akan pergi menjauh, sampai waktunya tiba, kita akan kembali lagi.” Risa mengecup jemari mungil putrinya, ia bahagia walau terus terasa sesak jika mengingat awal mula hingga Nadia lahir. Ia tak boleh menangis, ia harus sekuat tebing yang tinggi, tak peduli banyak orang yang menginjaknya, ia akan tetap berdiri.
“Risa… udah nyusuinnya? Biar Nadia mandi dulu,” ucap ibu. Nadia menangis kencang saat terpaksa harus menyudahi menyusu. Risa tertawa.
“Keras banget kamu nangisnya, Nak, mandi sama Uti, ya, Mama makan dulu,” ucapnya. Ibu terenyuh saat mendengar Risa menyebut dirinya ‘mama’ di saat usianya bahkan belum genap dua puluh tahun.
Risa berjalan sangat pelan, ia tak mau bergantung pada siapapun, ia harus belajar sendiri hingga tiba di kursi dekat ranjang, kemudian duduk dengan perlahan. Tangannya meraih sayur bening bayam, ia yang terbiasa makan dengan sayur itu tampak senang saat mendapat makanan itu.
“Risa,” suara Weini terdengar.
“Wei!” pekik Risa.
“Mana Nadia?” tanya Weini yang membawa parcel buah.
“Mandi sama Ibu. Ngapain bawa ini, repotin, kan?” Risa meletakkan mangkok ke atas nakas.
“Nggak. Aku mau traktir kamu, lah, aku dapat gaji pertama. Jadi aku beliin buah, untuk kamu supaya ASInya banyak.”
“Terima kasih, ya. Sekarang kenapa ke sini, nggak kerja? Udah jam delapan lewat, Wei.”
“Kerja, kebetulan jadwal mantau proyek di lapangan. Jam sepuluh nanti absen masuknya, deket juga. Eh, gimana …, kamu beneran nggak mau kasih tau laki-laki itu kalau anaknya udah lahir?”
“Nggak. Aku juga nggak mau kenal sama dia. Biar aja.”
“Yaudah… yang penting kamu harus kuat dan tegar untuk Nadia, ya. Kamu jadi pindah rumah juga? Jauh amat, Ris ….” Weini cemberut.
“Bapak dan Ibu udah ambil keputusan kita tinggal di sana. Nggak papa, lah, siapa tau memang rejeki kami juga di sana. Sana berangkat, nanti terlambat, kamu dipecat. Cari kerjaan susah sekarang, Wei.” Risa mengusap lengan temannya itu.
“Iya. Jadi satu-satunya anak yang lulus jadi arsitek, malah bikin beban tau nggak sih, Ris. Kakakku semua mana mau jadi arsitek. Semua dagang. Kok Alex apalagi, apa-apa cuan, cuan, cuan, dannn … cuan.”
“Tapi Koh Alex baik dan royal sama keluarga. Anak istrinya aja bahagia, kan?”
“Iya, sih. Oh iya, dari keluarga kami, terima ya, Risa.” Weini menyerangkan amplop ke tangan Risa.
“Ya ampun, Wei. Kenapa ngerepotin gini.” Risa tak enak hati.
“Terima. Buat Nadia. Aku ke kantor, ya. Bye, Risa, nanti aku ke sini lagi kalau sempat.” Weini pergi, meninggalkan Risa yang tertegun memegang amplop itu.
Tak lama ibu muncul, Nadia sudah wangi dan bersih. Tertidur setelah di bedong ibu. “Weini?” tanyanya.
“Iya. Bu, ini dari keluarga mereka, Risa belum lihat jumlahnya, malu.” Ia memberikan amplop ke ibunya setelah menidurkan Nadia di atas tempat tidur. Ibu membuka amplop, setelah dihitung, jumlah uangnya dua juta rupiah. Ibu terkejut, pun Risa yang hanya bisa bersyukur.
“Simpan untuk beli kebutuhan Nadia, ya. Uang persalinan kamu udah dibayar Bapak.”
Risa menghela napas. Ia bertekad akan mengganti uang bapak dan ibunya setelah ia bekerja nanti, ia akan membalas semua kebaikan orang tuanya dengan memanjakan mereka.
***
Risa boleh pulang, bidan mengizinkan karena kondisinya sudah fit. Ia berjalan pelan bersama ibu sambil menggendong Nadia yang sangat anteng. Bapak mendekat, menyambut istri, anak dan cucunya.
“Kita langsung ke rumah yang baru di sana. Bapak udah kosongkan rumah kita di sini, semua diangkut ke sana. Adit yang bantuin Bapak dari dua hari lalu. Pemilik yang baru mau nempatin rumah lama kita.” Tak ada guratan sedih, Agus segera memboyong keluarganya ke mobil yang dipinjam dari temannya.
Risa siap menyambut hari barunya bersama Nadia, pergi menjauh dari kesialan hidup akibat perbuatan bejat pria tersebut. Risa terkesiap, saat ibu membuka suara dengan menanyakan, apakah ia siap menceritakan siapa ayah dari Nadia. Kedua matanya menatap bayi dalam gendongannya, ia diam, tak bisa menjawab apa-apa.
Risa menggendong bayinya dengan begitu hati-hati saat melewati rumah tetangga di tempat tinggalnya yang baru. Sudah dua minggu ia dan kedua orang tuanya juga bayi Nadia tinggal di sana. Awalnya semua biasa saja namun, perahan muncul suara sumbang yang membuat hati Risa harus semakin memupuk kesabaran. "Risa, dari mana?" tanya tetangga bernama Iin, janda muda anak satu yang berprofesi sebagai pekerja di salon yang ada di pasar. "Dari posyandu, teh, imunisasi Nadia," jawab Risa. "Oh. Kirain cari Bapaknya Nadia, atau coba hubungi. Siapa tau lagi butuh uang, 'kan?" hina Iin. Risa diam, ia terus berjalan dan sesekali melirik ke bayi perempuan dalam gendongannya yang terlapis selimut bayi hadiah dari Weini juga. Risa berjalan hingga ke rumah sederhana yang dibeli bapak. Pria itu kini bekerja sebagai sekuriti di pabrik roti dekat pasar. Sedangkan ibu bekerja di rumah konveksi sebagai penjahit. Ibu memang pandai menjahit dan bikin kue, jika kue, konsumennya sedikit karena rata-rata orang
Nadia sedang duduk menikmati roti di dapur saat Risa memasak sayur terong yang ia goreng lalu membuat sambal. "Enak rotinya, Nad?" tanya Risa sambil membalik terong di dalam wajan. Nadia mengangguk. Ia mengarahkan roti ke Risa. "Buat Nadia aja, Bunda lagi masak buat Bunda makan. Makan yang banyak biar sehat, ya." Risa beralih menanak nasi dalam panci kecil. Ia mengaduk perlahan sambil memantau api pada tungku kayu bakar. Tangannya sudah terbiasa terkena api yang terbang dari sisa pembakaran kayu, bara kecil itu tak pernah absen menyentuh kulit tangannya. Jam menunjukan angka 6, kedua orang tuanya belum kembali dari pasar. Perasaan Risa mulai tak karuan, ia menunggu sambil menatap hidangan sederhana yang tersaji di atas meja. Nadia sendiri asik bermain pinsil dan kertas yang Risa berikan sebagai sarana kreatifitas Nadia. Dua jam berlalu, hingga pintu rumah diketuk. Risa beranjak cepat sambil menggendong Nadia. "Pak Kades," sapanya. "Risa. Bapak ke sini mau kasih kabar. Orang tua ka
Kembali Risa menjalankan aktivitasnya, dan membawa serta Nadia. Rumah sudah ia kunci rapat. Tangannya bersiap menggendong Nadia ke punggungnya, ia menggunakan kain sebagai penyanggahnya. "Nadia ikut Bunda kerja lagi ya, sayang," tuturnya sambil mulai berjalan. Mereka melewati rumah tetangga yang tak lagi nyinyir, tapi berganti dengan tatapan merendahkan. Salah apa Risa, sampai ia harus menelan pil pahit hidup dengan respon tetangga sekejam itu. Langkah Risa terhenti saat ia melihat seseorang dengan sepeda motor berhenti di hadapannya saat ia tiba di jalan raya. "Teh Risa," sapanya. Risa menatap, ia memicingkan kedua mata karena tak tau siapa yang menyapa hingga pria itu membuka kaca helm yang dikenakan. "Dokter Azil?!" Risa memekik. Azil tersenyum. "Mau ke mana?" "Ke kebun sayur. Dokter mau ke Puskesmas?" "Iya. Mari saya antar, Teh." "Nggak usah, saya biasa jalan kaki," tolak Risa sopan. "Nggak papa. Kasihan Nadia, baru sembuh juga, 'kan? Ayo, Teh." Azil memaksa. Risa sempat r
Menjadi dekat dengan seorang dokter tampan di kampung, membuat Risa kembali menelan bulat-bulat ocehan para tetangga. Ia belum mengiyakan tawaran Azil untuk tinggal di paviliun rumah dinasnya yang ada di kampung lain, terasa aneh juga tak pantas menerima tawaran itu. Risa sedang menjemur pakaian, saat Iin berjalan menghampirinya di samping rumah. "Kamu dekat sama dokter itu, Sa?" tanyanya dengan menunjukkan wajah tak suka. "Iya," jawab Risa sambil memeras baju lalu ia letakan pada tali tambang panjang yang dijadikan jemuran. "Hati-hati, kamu nanti dianggap gampangan," lanjut Iin. Risa melirik sekilas lalu kembali melakukan kegiatannya. Tetangga satu itu memang usil mulutnya, disangkanya Risa tidak tau bahwa Iin lah yang gampangan. Gimana nggak? Risa jelas melihat Iin membawa masuk beberapa lelaki ke rumahnya saat itu, lalu saat malam, mendengar suara yang tak sepantasnya ia dengar. Menjelang pagi, tepatnya saat matahari belum muncul, pria-pria itu keluar diam-diam dari dalam ruma
Hari pertama tinggal di paviliun, Risa dan Nadia tampak masih sungkan dengan Azil. Pria itu bahkan membantu membersihkan beberapa sudut ruangan. Risa sudah menolak, ia menginginkan dirinya saja yang membersihkannya, tapi Azil tak mau dan tetap membantu. “Kamu jangan sungkan begitu, Risa. Aku ikhlas bantu kamu dan Nadia,” tuturnya sambil terus menyapu lantai. “Yakin? Kamu nggak takut timbul fitnah dari tetangga atau bahkan … pasien kamu?” kata Risa sambil memasang taplak meja makan kecil yang juga dijadikan meja serbaguna lainnya. Paviliun itu hanya ada satu kamar dan satu kamar mandi dengan ruang tamu kecil di depan. Tidak ada dapur sehingga Azil meminta Risa untuk tidak canggung memasak di rumah utama. “Kamu mau cari kerja lagi, ‘kan?” Azil selesai menyapu lantai, lalu duduk di kursi dekat pintu. “Iya. Dari sini ke kebun sayur jaraknya jauh, nggak mungkin juga aku bawa-bawa Nadia jalan kaki.” “Terus, mau kerja di mana?” “Belum tau. Aku coba tanya ke teman di pasar.” “Jangan. K
Risa memiringkan tubuhnya lalu memeluk Nadia yang tidur tepat disampingnya. Ia menatap lekat wajah sang putri kemudian menyadari wajah gadis kecil itu semakin hari semakin mirip dengan laki-laki yang seharusnya, bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Risa ingat betul ancaman yang diucapkan lelaki itu, setelah dirinya ternodai lalu dibuang seperti sampai dipinggir jalan. Malam itu, setelah apa yang terjadi dengan dirinya–tepat pukul dua dini hari–lelaki itu mengantar pulang Risa yang memeluk dirinya sendiri dengan kepala tertunduk. “Jangan kamu bocorkan apa yang sudah saya lakukan ke kamu, Risa. Ingat. Kedua orang tua kamu bisa celaka.” Risa ingat kalimat itu, ia tak menjawab, hanya terus diam dengan pandangan ke arah kiri, menatap jalanan yang masih lengang. Saat tiba di rumah, jalannya tidak seperti biasa. Kedua orang tuanya hanya tau Risa pulang terlambat karena menumpang mengerjakan tugas kuliah lalu ketiduran di kosan temannya, tak tau jika putri satu-satunya baru saja teren
Lelaki itu berjalan mondar mandir di dalam kamar megah layaknya hotel bintang lima. Disisi lain, tepatnya di hadapan meja rias, duduk seorang wanita cantik sedang merapikan tatanan rambutnya. “Kamu kenapa mondar mandir gitu? Kayak orang bingung, Mas?” Suaminya terkejut, ia menatap sang istri lalu tersenyum tipis. “Nggak papa, aku cuma lagi berpikir tentang urusan perusahaan. Apa kamu tau siapa saja investor yang kompeten untuk aku ajak kerja sama?” “Kamu butuh investor untuk apa? Jadi bikin proyek perumahan untuk kalangan pasangan muda?” “Iya, jadi. Itu prospek banget, tapi aku butuh pemodal yang mumpuni. Maksudnya gini, aku butuh mereka yang sejalan. Selama ini aku cuma bisa kerja sama dengan orang-orangnya Papa, ‘kan? Aku mau buktikan aku bisa cari sendiri.” “Oke, aku coba bantu tanya ke Papaku ya. Kamu udah siap mau berangkat? Adeva masih tidur, kamu nggak mau ke kamarnya dulu?” Wanita itu beranjak, berjalan mendekat dengan wajah yang mencoba terlihat baik-baik saja. “Kenapa p
Nadia menggenggam erat jemari tangan bundanya, mereka kembali ke kota di mana semua kehancuran dimulai. Risa tersenyum–memaksa sebenarnya–menunjukkan jika kota tidaklah buruk. “Bun, kita mau ke mana?” tanyanya dengan sorot mata yang justru takut. “Kita ke rumah teman Bunda, ya. Dekat dari sini. Nadia masih kuat jalan kaki, ‘kan?” Gadis kecil itu menjawab dengan anggukan kepala. Sejak berpisah dengan Azil dan Bella di terminal bis karena Risa minta turun di sana, sejak saat itu ia berjalan kaki dengan Nadia, hampir sepuluh kilometer. Hal itu sengaja ia lakukan, karena sambil menyusuri jalanan, ia berpikir, bagaimana reaksi keluarga teman lamanya saat bertemu dengannya lagi. Mereka tiba di depan toko yang sangat Risa hapal, tapi mengapa plang namanya berubah, menjadi toko Berkah, bukan nama sebelumnya. Kaki Risa melangkah ke dalam, mengamati sekitar dan terasa begitu berbeda. “Permisi, apa Koh Liem … ada?” tanyanya pelan. Wanita muda yang ditanyai menatap begitu intens sebelum ia m