Kembali Risa menjalankan aktivitasnya, dan membawa serta Nadia. Rumah sudah ia kunci rapat. Tangannya bersiap menggendong Nadia ke punggungnya, ia menggunakan kain sebagai penyanggahnya. "Nadia ikut Bunda kerja lagi ya, sayang," tuturnya sambil mulai berjalan. Mereka melewati rumah tetangga yang tak lagi nyinyir, tapi berganti dengan tatapan merendahkan. Salah apa Risa, sampai ia harus menelan pil pahit hidup dengan respon tetangga sekejam itu. Langkah Risa terhenti saat ia melihat seseorang dengan sepeda motor berhenti di hadapannya saat ia tiba di jalan raya. "Teh Risa," sapanya. Risa menatap, ia memicingkan kedua mata karena tak tau siapa yang menyapa hingga pria itu membuka kaca helm yang dikenakan. "Dokter Azil?!" Risa memekik. Azil tersenyum. "Mau ke mana?" "Ke kebun sayur. Dokter mau ke Puskesmas?" "Iya. Mari saya antar, Teh." "Nggak usah, saya biasa jalan kaki," tolak Risa sopan. "Nggak papa. Kasihan Nadia, baru sembuh juga, 'kan? Ayo, Teh." Azil memaksa. Risa sempat r
Menjadi dekat dengan seorang dokter tampan di kampung, membuat Risa kembali menelan bulat-bulat ocehan para tetangga. Ia belum mengiyakan tawaran Azil untuk tinggal di paviliun rumah dinasnya yang ada di kampung lain, terasa aneh juga tak pantas menerima tawaran itu. Risa sedang menjemur pakaian, saat Iin berjalan menghampirinya di samping rumah. "Kamu dekat sama dokter itu, Sa?" tanyanya dengan menunjukkan wajah tak suka. "Iya," jawab Risa sambil memeras baju lalu ia letakan pada tali tambang panjang yang dijadikan jemuran. "Hati-hati, kamu nanti dianggap gampangan," lanjut Iin. Risa melirik sekilas lalu kembali melakukan kegiatannya. Tetangga satu itu memang usil mulutnya, disangkanya Risa tidak tau bahwa Iin lah yang gampangan. Gimana nggak? Risa jelas melihat Iin membawa masuk beberapa lelaki ke rumahnya saat itu, lalu saat malam, mendengar suara yang tak sepantasnya ia dengar. Menjelang pagi, tepatnya saat matahari belum muncul, pria-pria itu keluar diam-diam dari dalam ruma
Hari pertama tinggal di paviliun, Risa dan Nadia tampak masih sungkan dengan Azil. Pria itu bahkan membantu membersihkan beberapa sudut ruangan. Risa sudah menolak, ia menginginkan dirinya saja yang membersihkannya, tapi Azil tak mau dan tetap membantu. “Kamu jangan sungkan begitu, Risa. Aku ikhlas bantu kamu dan Nadia,” tuturnya sambil terus menyapu lantai. “Yakin? Kamu nggak takut timbul fitnah dari tetangga atau bahkan … pasien kamu?” kata Risa sambil memasang taplak meja makan kecil yang juga dijadikan meja serbaguna lainnya. Paviliun itu hanya ada satu kamar dan satu kamar mandi dengan ruang tamu kecil di depan. Tidak ada dapur sehingga Azil meminta Risa untuk tidak canggung memasak di rumah utama. “Kamu mau cari kerja lagi, ‘kan?” Azil selesai menyapu lantai, lalu duduk di kursi dekat pintu. “Iya. Dari sini ke kebun sayur jaraknya jauh, nggak mungkin juga aku bawa-bawa Nadia jalan kaki.” “Terus, mau kerja di mana?” “Belum tau. Aku coba tanya ke teman di pasar.” “Jangan. K
Risa memiringkan tubuhnya lalu memeluk Nadia yang tidur tepat disampingnya. Ia menatap lekat wajah sang putri kemudian menyadari wajah gadis kecil itu semakin hari semakin mirip dengan laki-laki yang seharusnya, bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Risa ingat betul ancaman yang diucapkan lelaki itu, setelah dirinya ternodai lalu dibuang seperti sampai dipinggir jalan. Malam itu, setelah apa yang terjadi dengan dirinya–tepat pukul dua dini hari–lelaki itu mengantar pulang Risa yang memeluk dirinya sendiri dengan kepala tertunduk. “Jangan kamu bocorkan apa yang sudah saya lakukan ke kamu, Risa. Ingat. Kedua orang tua kamu bisa celaka.” Risa ingat kalimat itu, ia tak menjawab, hanya terus diam dengan pandangan ke arah kiri, menatap jalanan yang masih lengang. Saat tiba di rumah, jalannya tidak seperti biasa. Kedua orang tuanya hanya tau Risa pulang terlambat karena menumpang mengerjakan tugas kuliah lalu ketiduran di kosan temannya, tak tau jika putri satu-satunya baru saja teren
Lelaki itu berjalan mondar mandir di dalam kamar megah layaknya hotel bintang lima. Disisi lain, tepatnya di hadapan meja rias, duduk seorang wanita cantik sedang merapikan tatanan rambutnya. “Kamu kenapa mondar mandir gitu? Kayak orang bingung, Mas?” Suaminya terkejut, ia menatap sang istri lalu tersenyum tipis. “Nggak papa, aku cuma lagi berpikir tentang urusan perusahaan. Apa kamu tau siapa saja investor yang kompeten untuk aku ajak kerja sama?” “Kamu butuh investor untuk apa? Jadi bikin proyek perumahan untuk kalangan pasangan muda?” “Iya, jadi. Itu prospek banget, tapi aku butuh pemodal yang mumpuni. Maksudnya gini, aku butuh mereka yang sejalan. Selama ini aku cuma bisa kerja sama dengan orang-orangnya Papa, ‘kan? Aku mau buktikan aku bisa cari sendiri.” “Oke, aku coba bantu tanya ke Papaku ya. Kamu udah siap mau berangkat? Adeva masih tidur, kamu nggak mau ke kamarnya dulu?” Wanita itu beranjak, berjalan mendekat dengan wajah yang mencoba terlihat baik-baik saja. “Kenapa p
Nadia menggenggam erat jemari tangan bundanya, mereka kembali ke kota di mana semua kehancuran dimulai. Risa tersenyum–memaksa sebenarnya–menunjukkan jika kota tidaklah buruk. “Bun, kita mau ke mana?” tanyanya dengan sorot mata yang justru takut. “Kita ke rumah teman Bunda, ya. Dekat dari sini. Nadia masih kuat jalan kaki, ‘kan?” Gadis kecil itu menjawab dengan anggukan kepala. Sejak berpisah dengan Azil dan Bella di terminal bis karena Risa minta turun di sana, sejak saat itu ia berjalan kaki dengan Nadia, hampir sepuluh kilometer. Hal itu sengaja ia lakukan, karena sambil menyusuri jalanan, ia berpikir, bagaimana reaksi keluarga teman lamanya saat bertemu dengannya lagi. Mereka tiba di depan toko yang sangat Risa hapal, tapi mengapa plang namanya berubah, menjadi toko Berkah, bukan nama sebelumnya. Kaki Risa melangkah ke dalam, mengamati sekitar dan terasa begitu berbeda. “Permisi, apa Koh Liem … ada?” tanyanya pelan. Wanita muda yang ditanyai menatap begitu intens sebelum ia m
Risa tak ada pilihan, ia bekerja sebagai tenaga pencuci handuk dan setrika di salon milik Bu Tini. lokasinya berada di dekat toserba milik Ratu. Sial bagi Risa, mengapa ia seperti kembali berada di lingkungan lamanya. Niat awal ingin bertemu keluarga Koh Liem, justru ia terseret ke cerita lama dengan kota yang sama. “Nadia, tunggu, ya, Bunda ambil handuk-handuknya dulu. Kamu tunggu di sini,” ujar Risa sebelum masuk ke dalam salon dan spa untuk mengambil handuk kotor. Nadia mengangguk, bocah empat tahun itu berdiri di pintu belakang salon sambil terus tersenyum. Baju cantik warna merah muda yang ia kenakan, sudah mulai pudar warnanya. Sandal jepit warna kuning yang tampak sudah terlihat dekil juga ia kenakan sebagai alas kaki satu-satunya. Nadia menatap ke arah Risa yang sudah kembali ke arahnya dengan membawa satu keranjang besar berisi handuk kotor. Ia menahan pintu supaya bundanya bisa mudah berjalan. “Kita ke sana, Bun?” tunjuk Nadia ke arah tempat mencuci. “Iya, ayo!” ajak Risa
Mobil sedan mewah berjalan membelah pusat kota yang mulai ramai dengan kesibukan penduduknya. Di dalam mobil itu, duduk seorang anak lelaki berusia lima tahun dengan seragam sekolah TK. Ia merenung, di sebelahnya duduk wanita cantik yang ia panggil Mama sedang menyiapkan buah potong yang dibawa dari rumah. “Dev, makan apelnya,” ucap wanita itu. “Nanti, Ma, masih kenyang,” jawab Deva. “Yaudah, vitamin diminum, ya. Duduknya menghadap Mama, sayang.” Perintah wanita itu harus dituruti anaknya, mau tak mau Deva mengubah posisi duduknya yang tadinya bersandar pada pintu mobil, harus menatap mamanya. Deva membuka mulut, ia menelan vitamin yang diberikan melalui sendok plastik kecil. “Good. Kamu harus sehat terus dan nurut apa kata Mama ya, Nak.” Wanita itu tersenyum lalu mencium kening putranya. Sementara Deva tersenyum tipis sambil meneguk air putih dari botol. Diluar sana, Nadia berjalan bersama Risa menyusuri trotoar. Ia membawa tas kecil berisi kantong plastik dan wadah plastik kecil