“Aku … mengikhlaskan kamu pergi, Rama. Maafkan aku karena membuatmu terluka, tapi aku juga berterima kasih karena kamu memberikan Deva sebagai pengganti dirimu,” bisik Devinta di telinga kiri Rama. Ia juga memberikan ciuman lama pada kedua bibi dan berakhir pada bibir lelaki yang sudah tampak lemah. Raka memalingkan wajah saat melihat Devinta melakukan ciuman tadi, rasanya ada yang mengganjal. Raka mendekat, ia berbisik di telinga kanan Rama saat Devinta menggenggam jemari tangan Rama begitu erat. “Rama, Kakak gue satu-satunya … terima kasih selama ini, sejak dulu sudah banyak berkorban untuk gue –” Rasanya kalimat yang akan diucapkan Raka tersangkut di kerongkongan, ia menangis, memeluk erat Rama yang terus berbaring. “Maafin gue, atas semua yang terjadi, Ram. Gue akan jaga dua orang yang gue yakin lo cinta. Deva akan jadi anak gue, gue akan didik dia menjadi laki-laki pemberani dan bertanggung jawab.” Raka semakin sesenggukan, ia memeluk kepala Rama erat. “Ram …,” bisik Raka lagi.
Rezeki kehamilan belum mendatangi Risa, satu hari setelah tiba di Tokyo, ia dibawa ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata Risa tidak hamil, ia kelelahan jadi terlambat datang bulan. Guratan wajah kesedihan menerpa Risa, ia berjalan menyusuri trotoar di sepanjang area menuju ke hotel dengan begitu murung. “Kita bukannya sudah ada Nadia, kenapa kamu kepingin hamil lagi, Sa?” tanya Arkana yang kala itu memakai pakaian yang terlihat santai. Kaos lengan panjang, blue jeans, sepatu kets dan tak lupa kacamata baca yang kini sering ia kenakan. Menambah kesan mature pada suami Risa. “Ya … aku mau merasakan punya anak lagi. Bisa hamil dengan dikelilingi keluarga, suami juga hal-hal baik. Tidak seperti Nadia yang semua serba prihatin.” Risa tersenyum masam, Arkana mengecup puncak kepala Risa. Tak ada sanggahan, yang dikatakan istrinya memang benar. Arkana sendiri merasa memiliki hutang untuk hal itu. Namun, jika memang Risa belum diberikan kehamilan benih darinya, Arkana akan mem
Nadia memastikan tampilan dirinya sesuai dengan yang diinginkan di depan cermin. Ia tersenyum kemudian menyambar sweater warna peach yang akan dikenakan. Langkahnya tampak riang menuju ke ruang makan kamar hotel mewah yang ditempati keluarganya. “Nadia nggak akan lama, Bunda … Ayah,” selorohnya sambil mencium pipi Risa juga Arkana. “Ck. Yakin? Ayah nggak percaya,” sindir Arkana sambil melirik dari balik kacamata baca yang ia kenakan. “Bunda minta kamu jangan aneh-aneh, Nad,” sambung Risa yang tengah mengupas buah apel untuk suaminya makan. “Nadia sama Kak Rana, semua aman,” jawab gadis tujuh belas tahun yang tumbuh menjadi sosok gadis cantik nan anggun. Ya … Nadia sudah besar dan akan duduk di bangku perkuliahan. Mereka ada sedang berada di Tokyo lagi, selain untuk liburan merayakan kelulusan sekolah Nadia, juga karena Arkana ada urusan pekerjaan yang tidak bisa dilepas ke anak buahnya. “Di sini lagi musim panas, kamu pakai sweater apa nggak kepanasan?” sindir Risa sambil melirik
“Sendirian? Maksudnya?” Nadia mengernyit, ia urung menikmati makanan pesanannya. “Kamu bisa jaga rahasia, Nad?” Deva meremas kedua tangannya, Nadia bisa melihat urat-urat menonjol di tangan berkulit putih pemuda itu. Nadia mengulum senyum, ia menoleh, menatap Deva lagi. “Sebentar, aku mau tanya. Ehem ….” Nadia berdeham. “Kita,” tunjuknya dengan jari ke arah Deva juga dirinya. “Sudah lama tidak bertemu, kenapa kamu bisa tau ini aku? Nadia? Yang aku ingat, kamu itu dulu benci sekali sama aku, ‘kan?” Deva menunduk, tersenyum lalu melirik Nadia. “Aku bodoh saat itu, kenapa juga harus marah sama kamu kalau nyatanya memang Mamaku yang salah. Seharusnya kamu yang mendapatkan semua kebahagian, kekayaan, kenyamanan Papa Arkana, bukan aku yang ternyata aku–” Deva diam. “Apa yang kamu ingat dari aku. Maksudku, kita sudah terlalu lama tidak berkomunikasi, dengan sekali lihat kamu tau itu aku?” Nadia menegakkan duduknya, ia meletakkan bungkusan makanan di sisi kirinya. “Apa aku sama sekali tid
“Aku cuma mau jalan-jalan sendiri, Kak, mau nikmati suasana aja,” ujar Nadia beralasan.“Hmmh … yaudah, nanti aku bilang Ayah dan Bunda kamu kalau kamu pergi sama aku, ya. Besok rencana mau kemana? Kita samain dulu sebelum aku bantu kamu berbohong.” “Bilang aja kita mau nonton, sama ke pusat belanja, gimana?!” Nadia begitu tampak bersemangat. Rana mengangguk, ia lalu mengajak Nadia naik ke lantai atas menuju kamar masing-masing. Setibanya di kamar hotel, Nadia di sambut Calvin yang sedang bercanda dengan Arkana yang juga sudah pulang bekerja. “Dari mana kamu? Terlambat lima belas menit,” tegur Arkana. “Pergi sama Kak Rana, Yah. Ayah curiga aja.” Lalu Nadia mengambil alih Calvin dari pangkuan ayahnya. “Calvin main sama Kakak, yuk!” ajaknya. Ia menciumi pipi bayi gembul itu. “Bunda mana, Yah?” Nadia celingukan. “Pergi beli makanan, malas masak katanya, mau beli aja. Kamu makan di mana tadi?” tanya Arkana sambil berjalan ke arah Nadia. Ia menjawab seingatnya, alias tempat yang tadi
Nadia pergi dari apartemen kecil tempat tinggal Deva dengan isi pikiran terus kepada lelaki itu yang ia rasakan memiliki masalah besar tapi disembunyikan. “Deva kenapa? Mendadak cium kening aku, baru juga bertemu lagi.” Ia bergumam sendiri. “Aduh!” teriak Nadia saat seseorang berlari dari arah belakang dan menabrak dirinya hingga terjatuh. Nadia beranjak cepat, kedua matanya menyipit melihat lelaki yang sedang berlari dikejar dua orang laki-laki juga. Nadia membekap mulutnya lalu ikut berlari. Saking cepatnya tiga lelaki itu berlari, Nadia sampai kelelahan sendiri. Ia mencari jalan lebih cepat tapi tidak tau kemana, ia juga takut nyasar. Akhirnya Nadia kembali mengejar semampunya dan berhenti di dekat satu gang kecil yang tidak terlihat banyak orang lalu lalang. “Deva!” pekiknya seraya menghampiri. Deva tengah duduk bersandar dengan kepala menunduk juga sedikit terbatuk-batuk. Nadia mendongakkan wajah Deva hingga menatap ke arahnya. “Ya ampun! Kamu kenapa!” pekiknya lalu membersihkan
Nadia baru merasakan memiliki rasa suka kepada seseorang. Ya, ia jatuh cinta dengan Deva. Setelah pulang dari kencan dadakan hingga ditutup dengan ciuman, Nadia terus tersenyum, tidak bisa melupakan momen tadi saat bersama Deva. Bahkan saat ia beranjak tidur, pikirannya masih terus ke Deva. Layar ponselnya menyala, Nadia meraih dari atas nakas lalu menggeser kunci layar. Deva mengirim foto dengan pesan di bawahnya. ‘Terima kasih untuk ciuman tadi. Itu ciuman pertama kamu dan aku beruntung menjadi yang pertama melakukan.’ Pesan tadi ia tulis di bawah foto genggaman tangan mereka yang sempat diabadikan Deva. Nadia segera membalas pesan. Nadia : “Jangan bahas, aku malu.” Tak lama Deva membalas lagi. Deva : “Muka kamu pasti merah. Gemas. Rasanya aku mau cubit terus.” Nadia memekik sambil membekap mulutnya, takut Risa atau Arkana dengar. Ia beranjak dari ranjang, membuka tirai kamar hotel yang ia tempati, menyuguhkan pemandangan malam kota yang hampir tidak pernah tidur. Nadia menghu
Sesuai rencana, mereka akan pergi tiga hari dua malam ke pulau Hokkaido, tepatnya ke daerah Furano, di mana terdapat ladang bunga lavender dan bunga matahari yang cantik jika dilihat pada musim panas seperti saat mereka sedang berada di Jepang. Rana berjalan bersisian bersama Nadia yang tampak senang juga bersemangat karena kedua orang tuanya tidak curiga dengan liburan singkat dirinya bersama Rana. Alih-alih mengunjungi pulau tersebut, ia ingin menghabiskan waktu bersama Deva sebelum kembali ke tanah air. Rana sendiri pergi bersama Asaki, lelaki yang semakin dekat dengannya. Ratu dan suaminya mengizinkan mereka pergi karena yakin Rana bisa menjaga diri juga menjaga Nadia. Dua sepupu perempuan itu sedang kasmaran, jadi kebohongan pun menjadi hal biasa. “Kak, semua baik-baik aja, ‘kan?” bisik Nadia. “Udah … tenang, selama kita tidak akan melakukan hal diluar batas, semua aman. Kamu, harus bisa jaga diri juga. Aku juga perlu menghabiskan waktu dengan Asaki.” Rana mengedipkan sebelah