“Sendirian? Maksudnya?” Nadia mengernyit, ia urung menikmati makanan pesanannya. “Kamu bisa jaga rahasia, Nad?” Deva meremas kedua tangannya, Nadia bisa melihat urat-urat menonjol di tangan berkulit putih pemuda itu. Nadia mengulum senyum, ia menoleh, menatap Deva lagi. “Sebentar, aku mau tanya. Ehem ….” Nadia berdeham. “Kita,” tunjuknya dengan jari ke arah Deva juga dirinya. “Sudah lama tidak bertemu, kenapa kamu bisa tau ini aku? Nadia? Yang aku ingat, kamu itu dulu benci sekali sama aku, ‘kan?” Deva menunduk, tersenyum lalu melirik Nadia. “Aku bodoh saat itu, kenapa juga harus marah sama kamu kalau nyatanya memang Mamaku yang salah. Seharusnya kamu yang mendapatkan semua kebahagian, kekayaan, kenyamanan Papa Arkana, bukan aku yang ternyata aku–” Deva diam. “Apa yang kamu ingat dari aku. Maksudku, kita sudah terlalu lama tidak berkomunikasi, dengan sekali lihat kamu tau itu aku?” Nadia menegakkan duduknya, ia meletakkan bungkusan makanan di sisi kirinya. “Apa aku sama sekali tid
“Aku cuma mau jalan-jalan sendiri, Kak, mau nikmati suasana aja,” ujar Nadia beralasan.“Hmmh … yaudah, nanti aku bilang Ayah dan Bunda kamu kalau kamu pergi sama aku, ya. Besok rencana mau kemana? Kita samain dulu sebelum aku bantu kamu berbohong.” “Bilang aja kita mau nonton, sama ke pusat belanja, gimana?!” Nadia begitu tampak bersemangat. Rana mengangguk, ia lalu mengajak Nadia naik ke lantai atas menuju kamar masing-masing. Setibanya di kamar hotel, Nadia di sambut Calvin yang sedang bercanda dengan Arkana yang juga sudah pulang bekerja. “Dari mana kamu? Terlambat lima belas menit,” tegur Arkana. “Pergi sama Kak Rana, Yah. Ayah curiga aja.” Lalu Nadia mengambil alih Calvin dari pangkuan ayahnya. “Calvin main sama Kakak, yuk!” ajaknya. Ia menciumi pipi bayi gembul itu. “Bunda mana, Yah?” Nadia celingukan. “Pergi beli makanan, malas masak katanya, mau beli aja. Kamu makan di mana tadi?” tanya Arkana sambil berjalan ke arah Nadia. Ia menjawab seingatnya, alias tempat yang tadi
Nadia pergi dari apartemen kecil tempat tinggal Deva dengan isi pikiran terus kepada lelaki itu yang ia rasakan memiliki masalah besar tapi disembunyikan. “Deva kenapa? Mendadak cium kening aku, baru juga bertemu lagi.” Ia bergumam sendiri. “Aduh!” teriak Nadia saat seseorang berlari dari arah belakang dan menabrak dirinya hingga terjatuh. Nadia beranjak cepat, kedua matanya menyipit melihat lelaki yang sedang berlari dikejar dua orang laki-laki juga. Nadia membekap mulutnya lalu ikut berlari. Saking cepatnya tiga lelaki itu berlari, Nadia sampai kelelahan sendiri. Ia mencari jalan lebih cepat tapi tidak tau kemana, ia juga takut nyasar. Akhirnya Nadia kembali mengejar semampunya dan berhenti di dekat satu gang kecil yang tidak terlihat banyak orang lalu lalang. “Deva!” pekiknya seraya menghampiri. Deva tengah duduk bersandar dengan kepala menunduk juga sedikit terbatuk-batuk. Nadia mendongakkan wajah Deva hingga menatap ke arahnya. “Ya ampun! Kamu kenapa!” pekiknya lalu membersihkan
Nadia baru merasakan memiliki rasa suka kepada seseorang. Ya, ia jatuh cinta dengan Deva. Setelah pulang dari kencan dadakan hingga ditutup dengan ciuman, Nadia terus tersenyum, tidak bisa melupakan momen tadi saat bersama Deva. Bahkan saat ia beranjak tidur, pikirannya masih terus ke Deva. Layar ponselnya menyala, Nadia meraih dari atas nakas lalu menggeser kunci layar. Deva mengirim foto dengan pesan di bawahnya. ‘Terima kasih untuk ciuman tadi. Itu ciuman pertama kamu dan aku beruntung menjadi yang pertama melakukan.’ Pesan tadi ia tulis di bawah foto genggaman tangan mereka yang sempat diabadikan Deva. Nadia segera membalas pesan. Nadia : “Jangan bahas, aku malu.” Tak lama Deva membalas lagi. Deva : “Muka kamu pasti merah. Gemas. Rasanya aku mau cubit terus.” Nadia memekik sambil membekap mulutnya, takut Risa atau Arkana dengar. Ia beranjak dari ranjang, membuka tirai kamar hotel yang ia tempati, menyuguhkan pemandangan malam kota yang hampir tidak pernah tidur. Nadia menghu
Sesuai rencana, mereka akan pergi tiga hari dua malam ke pulau Hokkaido, tepatnya ke daerah Furano, di mana terdapat ladang bunga lavender dan bunga matahari yang cantik jika dilihat pada musim panas seperti saat mereka sedang berada di Jepang. Rana berjalan bersisian bersama Nadia yang tampak senang juga bersemangat karena kedua orang tuanya tidak curiga dengan liburan singkat dirinya bersama Rana. Alih-alih mengunjungi pulau tersebut, ia ingin menghabiskan waktu bersama Deva sebelum kembali ke tanah air. Rana sendiri pergi bersama Asaki, lelaki yang semakin dekat dengannya. Ratu dan suaminya mengizinkan mereka pergi karena yakin Rana bisa menjaga diri juga menjaga Nadia. Dua sepupu perempuan itu sedang kasmaran, jadi kebohongan pun menjadi hal biasa. “Kak, semua baik-baik aja, ‘kan?” bisik Nadia. “Udah … tenang, selama kita tidak akan melakukan hal diluar batas, semua aman. Kamu, harus bisa jaga diri juga. Aku juga perlu menghabiskan waktu dengan Asaki.” Rana mengedipkan sebelah
Deva membuka kedua matanya, ia menatap jam dinding yang masih diangka empat pagi. Tubuhnya ia miringkan ke kanan, tidak ada siapa-siapa di rumah itu. Ia lalu beranjak, mengusap wajahnya kemudian beranjak pelan. Ia berdiri di depan pintu kamat tempat Nadia tidur. Tangannya perlahan membuka pintu, terlihat Nadia masih pulas tidur di sebelah Rana yang juga tampak kelelahan setelah semalam pulang pukul satu dini hari. Deva tersenyum seraya menutup pintu, bergegas ke dapur untuk membuat minuman hangat. Mendadak tubuhnya menegang, tangan Nadia memeluk pinggangnya dari belakang. Deva mengusap jemari Nadia lembut lalu ia berbalik badan. “Kenapa udah bangun?” tanyanya lalu mengecup kening gadis itu. “Kamu tau alasannya, ‘kan?” Nadia mengulum senyum. Deva memalingkan wajah lalu membawa Nadia ke dalam pelukan. Ia menghujani Nadia dengan ciuman ke pelipis lalu kedua pipi. “Bikin apa? Biar aku saja,” ujar Nadia mengambil alih Deva yang sebelumnya hendak membuat teh. Lelaki itu berdiri di belaka
Risa panik saat tak ia dapati Nadia di kamar. Ia langsung meminta Arkana mencari putri mereka ke semua tempat yang pernah Nadia kunjungi di Tokyo. “Benar instingku, ‘kan! Anak Devinta itu kurang ajar!” teriak Risa tak bisa menahan emosinya. “Nadia kemana kamu, ‘Nak? Kenapa kamu jadi nakal begini!” lirihnya sambil duduk di sofa. Ia menjambak rambutnya saking tidak bisa menyembunyikan darah yang mendidih ditambah ketakutan jika hal buruk sampai terjadi kepada Nadia. Calvin digendong Ratu yang langsung meminta suaminya mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari keponakannya. Rana tak enak hati, ia hanya bisa merutuki diri karena merasa kecolongan dan juga sudah terlibat atas hubungan Nadia dengan Deva. Sementara itu, Nadia dan Deva sudah merencanakan tempat mereka akan pergi. Deva akan menjaga Nadia dengan baik. Cinta yang menggebu membuat keduanya sudah mengambil keputusan yang tak tepat. Pagi menjelang, Deva dan Nadia pergi menuju terminal bus bahkan sebelum matahari terbit. Lelak
Nadia sedang menjemur pakaian saat Deva membuat makan siang untuk mereka. Sudah dua minggu mereka kabur dan tidak ada satu pun yang bisa menemukan keberadaan mereka. Matahari bersinar terik, Nadia merasa kehausan. Setelah selesai menjemur pakaian, ia masuk ke dalam rumah dan melihat Deva sedang menata makan siang di atas meja kecil, tidak ada kursi, mereka melantai. Deva tersenyum tampan, membuat Nadia mengusap wajah kekasihnya begitu lembut. "Jangan lihatin kayak gitu, kamu bikin aku--""Deva! Nadia!" suara beberapa orang berteriak di depan rumah. Nadia panik, ia lalu beranjak cepat mengintip ke depan rumah lewat jendela kecil yang tertutup tirai. "Deva! Mereka… bagaimana, Deva ayo pergi, kita kabur. Deva!" panik Nadia yang langsung mengeluarkan tas ransel lalu memasukkan pakaian. Deva beranjak, ia berjalan ke arah pintu, hal itu membuat Nadia menarik tangan lelaki itu dengan cepat. "Mau apa?" Wajah Nadia panik. Deva diam, kedua matanya berkaca-kaca. Perlahan, tangannya merengkuh