Share

Bab 5

Kali ini hatiku sangat kacau dirasuki api cemburu. Yang aku tahu pria itu bukanlah teman kami di kantor.

Aku pun langsung pergi dan segera pulang ke rumah. Sambil menyetir, aku masih saja memikirkan Hana. Aku sangat penasaran dengan siapa dia pergi. Kalau sampai Hana menduakan aku, aku mungkin akan mengakhiri hidupku, sungguh. Entah pelet apa yang diberikan Hana kepadaku sehingga aku tidak bisa melupakannya. Aku sudah terlanjur nyaman dengannya. Bagiku dia adalah segalanya bagiku.

Sampai di rumah aku disuguhi penampakan Sari dengan dandanan ala kadarnya. Pakai daster compang camping yang bolong di sana dan di sini.

"Mas, kok baru pulang?"

"Mm.. " jawabku tak menghiraukan.

Aku paling sebel ketika aku pulang dari luar melihat penampakan Sari menggunakan baju compang camping terus nggak pernah dandan. Dia menuntut aku untuk selalu mengerti dia. Semua tugas rumah tangga 75% yang mengerjakan aku. Kurang pengertian apa sih aku ini.

"Dek, kenapa sih baju sobek-sobek gitu tetep saja kamu pakai? Tau gak kamu? Aku itu muak, Dek lihat kamu jelek kayak gitu."

"Tapi mas, terlanjur nyaman pakai daster ini!" jawabnya.

"Ya ampun Dek, buat apa aku belikan banyak baju untuk kamu trus nggak pernah kamu pakai. Uang belanja nggak pernah kurang, uang perawatan tubuh kamu juga selalu aku kasih, dan itu selalu aku kasih lebih. Semua itu tak pernah ada yang telat. Coba berpikir sedikit saja mengenai perasaanku. Jangan maunya dingertiin terus, sesekali ngertiin aku dong! Aku juga punya perasaan," tandasku.

"Iya Mas, maaf."

Emosi yang sejak lama aku tahan, hari ini aku ungkapkan. Aku sangat tidak suka jika uangku tidak digunakannya dengan baik, aku pun malu kalau dilihat orang. Dikira aku tidak pernah memberikan nafkah dengan layak untuknya.

Aku pun langsung pergi ke kamar. Tanpa berganti baju, aku pun langsung melemparkan tubuhku ke kasur. Sesak rasanya hati ini melihat Hana ditambah dengan ulah Sari.

Beberapa saat kemudian aku terbangun karena tangisan anak bayiku. Ternyata aku sampai ketiduran. Kemudian aku langsung teringat Hana. Seketika aku langsung mengambil ponselku yang sejak semalam aku matikan. Dengan segera aku mengirim pesan kepadanya.

[Dek, lagi ngapain?]

[Aku lagi keluar, Mas. Ini aku bareng sepupuku, Mas Anas. Setelah Mas Nanang pulang tadi, tiba-tiba sepupuku datang, dan mengajakku untuk menemaninya membeli ponsel baru.]

Aku pun agak lega mendapat jawaban dari Hana. Karena memang dia pergi bersama seorang laki-laki, jadi bisa aku simpulkan dia sudah jujur padaku.

Namun, aku juga ingin memastikan anak dari saudara mana si Anas ini. Karena Hana juga sering bercerita tentang keluarganya jadi sedikit banyak aku mulai tahu siapa saja saudaranya.

Saat bertanya pun aku perlu berhati-hati takut dia tersinggung. Dia dulu pernah bercerita jika dirinya putus dengan mantan pacarnya karena Hana selalu dicemburui. Maka dari itu aku juga tak ingin terlihat mencolok jika sebetulnya aku juga adalah pria pencemburu.

[Itu sepupu dari keluarga Ibu atau Bapak, Dek?]

[Dia anak dari Paman Tio, adik Ayahku nomor dua, Mas.]

[Paman, Tio? Aku kok baru tahu Hana punya Paman yang bernama Tio?]

[Nama lengkapnya Bramantio, Mas. Masak lupa sih, yang kemarin lusa sempat ketemu kita saat makan bakso bersama? Kalau di luar panggilannya Pak Bram. Tio itu panggilan dari keluarga kami. Kamu curiga kalau aku selingkuh ya, Mas?]

[Enggak, cuman nanya aja. Aku selalu percaya kok sama kamu. Ya Sudah, nanti kalau sudah selesai cepetan pulang, Ya! Jangan lupa kabari Mas kalau sudah sampai di rumah! Kamu hati-hati, ya!]

[Iya, Mas]

Aku sedikit lega jika Hana pergi bersama sepupunya. Rasanya aku tadi mau pingsan saat menyaksikan Hana akrab dengan pria lain.

Sekarang sudah sore, langsung saja aku pergi mandi. Tak lupa baju kotorku langsung aku taruh di tempatnya. Karena besok pagi jadwalku mencuci baju.

***

"Mas, tadi siang sudah makan belum?" tanya Sari yang tiba-tiba muncul dari belakang saat aku asik menonton TV.

Aku hanya diam saja tidak menjawab.

"Mas!" Sekarang Sari menghampiriku dan duduk di sampingku. Namun, aku tetap saja diam. Rasanya kesal dengannya. Nggak pernah ada perubahan dijelasin pun sampai panjang kali lebar nggak pernah berubah. Rasanya sampai ingin pingsan.

"Maafin Sari ya, Mas. Maaf jika selama ini Sari banyak kurangnya," ucapnya sambil memelukku dari samping.

"Iya," jawabku singkat.

"Mas Nanang jangan marah-marah seperti itu lagi ya. Aku tadi sangat sedih saat Mas Nanang marah karena aku."

"He'em," Aku masih saja malas bicara dengannya. Setelah pulang tadi aku tidak membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Karena aku sangat lelah.

Ku lirik Sari sudah tidak memakai baju compang camping lagi. Syukurlah kalau dia mau pakai baju yang lebih pantas. Seharian ini aku tak pegang pekerjaan rumah. Biarin Sari saja yang mengerjakannya.

Selama ini aku terus yang mengerjakan, dia hanya suka menyuruh-nyuruh aku. Kalau mau gerak paling cuman nyapu dan masak saja. Kadang nyapu pun dia tidak mau, alasannya capek. Semenjak hamil bawaannya malas terus. Pekerjaan rumah tangga nggak pernah dipegang apalagi aku dianggurin terus.

Padahal aku dari dulu juga sudah menyuruhnya cari rewang tapi nggak berangkat-berangkat sebetulnya uang dari aku itu dikemanakan sama dia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status