Aku pun berusaha menelepon Ayah. Namun, tidak diangkat mungkin sibuk dengan pekerjaannya. Kemudian aku menelepon ibu. Sama halnya dengan ayah, beberapa kali aku telepon. Ibu tidak mengangkatnya.Beberapa saat kemudian ponselku berdering. Bergegas ku lihat ternyata telepon dari ibu."Ada apa, Nak?""Bu, pa-papa datang ke rumah. Beliau marah-marah. Aku takut, Bu," kataku gugup."Sudah jangan panik! Ibu bentar lagi akan sampai. Aku akan telepon ke kantor ayah kamu, biar ayah kamu segera pulang.""Sus, tolong bawa Putra masuk ke kamar dan kunci pintunya ya! Jangan dibuka kalau bukan aku yang datang," pintaku kepada Nikmah baby sitterku."Baik, Bu Sari."Bismillah semoga aku bisa mengatasinya. Aku mencoba untuk tetap tenang.Aku pun mencari keberadaan papa dengan mengintipnya dari atas. Ku lihat ada Pak Marno yang mengawasi papa dari agak jauh. Beliau sedang berjaga-jaga takut kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi."Mbok, tolong kasih tahu papa untuk duduk dulu di dalam.""Orangn
"Ish...."Tiba-tiba papa mertua berdiri dengan wajah yang muram dengan tangan mengepal, menahan amarah. Kemudian beliau langsung berbalik arah keluar dari ruang tamu, sepertinya hendak pulang."Pak Norman! Tunggu, Pak! Bapak mau kemana kita belum selesai berbicara," cegah ayah.Namun, papa mertua tetap saja melangkahkan kakinya dan tak menghiraukan."Pak Norman, duduk dulu sebentar," kata ayah lagi."Pak Rudi, sudahlah saya itu sudah muak sekali. Bapak ini terlalu bertele-tele buang waktu saya saja. Intinya kerja sama kita batal. Semua karena putri Bapak ini. Dia sudah bikin saya kecewa," jawab kata mertuaku."Kenapa dengan Sari? Ini urusan bisnis kita Pak, tidak hubungannya dengan dia? Dia kan tidak tahu menahu mengenai bisnis kita.""Ini, anak Bapak. Sudah membuat malu keluarga saya. Ternyata menantu yang aku bangga-banggakan telah menipu kelurga saya. Dia sudah bermain serong dengan laki-laki lain. Tanya sendiri saja dengan putri bapak.""Sebentar, Pak. Ini kan masalah keluarga jan
"Biarlah, Bu. Sari tidak apa-apa.""Tapi ini pasti ada yang salah kepada ayah kamu. Apa yang dia pikirkan sampai dia berani dan setega ini menampar kamu.""Sudahlah, Bu. Sudah. Aku tidak apa-apa. Tidak usah ditanyakan ke Ayah. Biarlah." "Tapi ini tidak bisa dibiarin. Biar ibu tanya apa maksud ayah kamu ini. Benar-benar ini keterlaluan," kata ibu emosi."Sudahlah, Bu. Sari tidak apa-apa. Sari ingin pulang dulu, Bu. Sari ingin menenangkan hati Sari dulu.""Kamu jangan buru-buru pulang gitu, Nak. Kamu nginep di sini saja, ya," pinta ibu kepadaku."Tidak, Bu. Sari sudah capek ingin istirahat. Kepala Sari pusing."Aku rasa ayah memang belum membahas masalah ini kepada papa mertuaku. Mungkin ayah lebih berat hati untuk menjaga perkembangan bisnisnya daripada perasaan anaknya. Atau ada alasan lain yang tersembunyi yang aku tidak aku ketahui. Biarlah ini menjadi rahasia ayah. Yang jelas aku harus segera pulang. Aku tak ingin berlarut larut dalam kekecewaanku ini.Aku pun langsung pergi, ke
"Entahlah, Bu. Aku ini juga sedang berpikir. Bantu aku berpikir dong. Biar masalah ini bisa segera kelar. Tapi kalau memang cara satu-satunya dengan minta Sari baikan dengan Nanang. Ya kita harus lakukan itu." "Kamu memang sudah benar-benar sudah kelewatan, Mas. Kalau begitu lebih baik aku pergi dari sini saja. Aku tak bisa menurut dengan ide-ide konyol kamu itu. Kamu itu sudah keterlaluan sekali kepada Sari, Mas. Dari dulu aku sebenarnya sudah tidak setuju jika harus menumbalkan Sari demi mengangkat bisnis kamu itu!""Aku juga terpaksa, Bu. Mau bagaimana lagi hanya Sari yang bisa membantu kita. Apalagi kita tahu sendiri keluarga Pak Norman juga orang baik. Mana aku bisa tahu kalau bakalan seperti ini. Kalau tahu kayak gini lebih baik tidak aku lakukan juga.""Tapi kamu itu sudah terlewat kejam. Sari sudah banyak berkorban kepada kita. Setelah lulus SMA sudah kita jodohkan dengan Nanang, sampai-sampai dia kehilangan masa mudanya.""Biarlah dia hidup dengan keputusannya sendiri, Mas. K
Saat ini aku duduk termenung di halaman rumahku melihat beberapa bunga yang tumbuh subur di taman rumahku.Tiba-tiba ponselku berdering. Ku lihat telepon itu dari Desti, sahabatku. Aku pun segera mengangkat telepon dari sahabatku itu, meski di hatiku sempat ragu untuk mengangkatnya karena takut bikin Desti bingung."Sar, maaf aku baru sempat menelepon kamu. Maaf dari tadi aku sedang sibuk bareng saudaraku, jadi aku tadi nggak dengar saat kamu telepon. Sar kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sar?" kata Desti setelah teleponnya aku angkat.Rasanya mulutku terasa berat rasanya menjawab pertanyaan dari sahabatku itu. Berbeda dengan mulutku yang tidak bisa dibuka air terus saja bercucuran membasahi pipi."Kamu, baik-baik saja, Sar?""Sar, Sari?"Aku sudah tak kuat menjawab semua pertanyaan Desti. Akhirnya aku tutup telepon itu.Tiba-tiba sepuluh menit kemudian saat aku ingin beranjak masuk ke dalam rumah terdengar suara klakson mobil di depan pintu gerbang rumahku.'Itu seperti suara mobil Desti,
Brak ....!Tiba-tiba saat aku akan mau masuk ke dapur Mak Sri menabrakku hingga tak sengaja minuman yang beliau bawa tumpah semua di bajuku."Maaf Non, tak sengaja," katanya kaget sambil membersihkan bajuku yang basah semua."Iya, Mak. Tidak apa-apa. Sudah Mak. Emak beresin saja dulu. Saya mau ganti baju.""Baik, Non. Sekali lagi emak mohon maaf ya, Non. Emak rencananya mau pergi ke depan mau anterin minum. Eh kok nggak tahu ada Nona Sari di depan Emak."Iya, Mak. Nggak apa-apa kok."Dengan terpaksa aku pergi ke kamarku dan mengganti pakaianku."Ya Allah padahal sedikit lagi. Kenapa barus ketabrak Mak Sri," kataku sambil mengacak rambutku.Tok ...! Tok ...!"Non Sari!""Iya, Mak! Masuk saja, tidak di kunci!""Iya, Mak. Ada apa?" tanyaku ketika Mak Sri masuk ke dalam kamarku."Non, makanannya sudah siap. Sekarang Nona sudah ditunggu Nyonya di belakang," "Iya, Mak. Bentar lagi Sari ke sana."---"Loh Desti ke mana, Bu?" kataku setelah sampai di belakang."Desti barusan saja pulang. T
"Des. Tolong, jawab dengan jujur! Sebelum ibu datang, kamu ingin bicara apa mengenai ayahku? Tolong, bicaralah yang sebenarnya!"Sejenak Desti diam sejenak dan memejamkan matanya. Ku lihat badannya bergetar seperti orang yang ketakutan."Oh itu, tidak .... Em bukan Sari. Aku hanya salah bicara saja semalam," jawabnya grogi."Kamu yakin? Aku rasa kamu berbohong kepadaku, Des," kataku sambil memegang tangannya.Tangan Desti sangat dingin saat aku pegang. Bahkan keningnya pun berkeringat."Iya, Sar. Maaf aku hanya salah bicara saja.""Oh ya sudah kalau begitu," kataku kemudian.Sebenarnya aku tidak bisa percaya begitu saja dengan Desti. Aku merasa dia sengaja berbohong kepadaku. Entah rahasia apa yang telah dia sembunyikan dariku."Ya sudah, Sar. Aku mau ke belakang dulu mau telepon pabrik," pamitnya."Eits mumpung aku masih ingat. Tolong, kirimin video dan foto Mas Nanang dong Des! Aku mau ke pengadilan agama.""Ya Allah, Sar. Maafkan aku ponselku yang satunya rusak. Kemarin setelah pul
Rasanya kepalaku pusing sekali karena dipaksa harus memilih antara keluarga atau persahabatan. Coba saja kalau ayahku tidak bekerja di tempat Bu Jingga aku mungkin sudah menceritakan semuanya kepada Sari."Tumben kamu pulang larut malam, Nak?" tanya papa.Seperti biasa kalau aku belum pulang Papa dengan sabarnya menungguku di teras biasanya sambil mondar-mandir tapi karena kakinya sakit dia hanya duduk saja."Oh, tidak apa-apa, Pa. Tadi masih ada keperluan," kataku menutupi."Ayo, duduklah di sini sebentar! Papa mau ngobrol sama kamu.""Iya, Pa," kataku menurut dan duduk di sebelah papa."Apa kamu ada masalah dengan Sari, Nak? Tak biasanya wajah kamu muram begini.""Tidak ada kok, Pa. Desti hanya sedikit kecapean.""Oh ... Kamu tadi sudah makan belum?""Sudah tadi, Pa," kataku beralasan sebenarnya aku ini belum makan karena nafsu makanku sudah hilang tergantikan dengan banyaknya pikiran di kepalaku."Gimana bisnis Sari yang kamu pegang sekarang, Nak? Tambah ramai?""Alhamdulillah sek