Rasa sakit itu masih begitu terasa bagi adik-adik Tia. Hatinya masih enggan memaafkan Sahrul. Walau mereka tahu, sang Ayah mungkin saja telah benar-benar berubah.Malam itu di tengah derasnya hujan, akhirnya Uki mengangkat tubuh ayahnya ke dalam kamar sang ibu. Di ranjang yang biasa sang ayah tempati dulu, tubuhnya direbahkan. Beberapa menit kemudian, Sahrul pun sadar dari pingsannya."Maafkan bapak. Bapak sudah banyak salah sama kalian. Sama ibu kalian. Maafkan bapak ya, Nak ...." lirih Sahrul.Uki dan saudaranya yang lain masih saja acuh. Tidak perduli dengan tangisan sang ayah. Dengan memelas ia mengemis maaf dari anak-anaknya.Sahrul sudah menyesali semua perbuatan buruknya dulu."Ayah, maafkan Tia ya. Selama ini Tia udah nggak perduli sama Ayah ...." ucap Tia. Ia pun memeluk ayahnya dan berharap adik-adiknya mau ikut memaafkan."Kalian belum mau memaafkan ayah?" tanya Tia.Uki, Ani, dan si kembar masih enggan bersuara. Mengingat kematian Hafiz, ibunya yang dipenjara membuat Uki su
Mirna kembali. Wanita sederhana yang dulu datang ke Jakarta untuk bekerja. Mengubah nasibnya untuk kehidupan yang lebih baik. Agar kedua orang tuanya tidak lagi bekerja banting tulang di sawah orang.Namun, harapan tinggallah harapan. Mirna yang bekerja di rumah Rosma dan Sahrul harus merasakan hal yang memalukan dan sangat menjijikkan untuk diingatnya.Mirna diminta melayani nafsu sang majikan. Mirna pun diberikan sejumlah uang sebagai hadiah dari sang majikan. Bukan karena uang, tapi Mirna di ancam dibunuh jika tidak mau menuruti apalagi mengadukan kejadian itu pada Rosma.Hal yang ditakutkan pun terjadi. Mirna hamil. Benih yang ditanam Sahrul itu tumbuh subur di janinnya. Mirna pun kala itu bingung.Mengugurkan calon anaknya tidak ingin ia lakukan. Cukup baginya melakukan dosa zina. Ia tidak ingin menambah dosanya lagi.Tanpa sepengetahuan Rosma, Mirna pun pergi. Ia hanya meninggalkan sepucuk surat di meja tamu. Agar majikan perempuannya itu yang sudah baik selama ini tidak lagi c
Tia tidak habis pikir mengapa ibu kandung Hafiz itu begitu membenci ibunya. Padahal Ibu Rosma juga sudah begitu baik merawat Hafiz layaknya anak sendiri.Pilihan ini begitu sulit. Tidak mungkin ia sanggup memilihnya. Walau Sahrul bukan ayah kandungnya, tapi dia juga telah membesarkannya selama ini. Dia yang mengambil penuh tanggungjawab seorang ayah."Tante, ini bukan pilihan. Aku nggak mungkin bisa memilih antara ayah ataupun ibu," sahut Tia. "Terserah kamu, Tia. Nasib ibumu sekarang ada di tanganmu. Kamu yang bisa menentukan berapa lama dia mendekam di penjara!" ujar Mirna.Kenangan buruk Mirna di masa lalu masih begitu membekas. Karena kelakuan Sahrul, ia tidak bisa melihat sang ayah untuk terakhir kalinya."Aku nggak nyangka, Tante setega ini. Di mana hati nurani Tante?" pekik Tia. Ia mulai terbawa emosi karena sikap Mirna yang begitu keras.Tia pun memutuskan pergi dari rumah Mirna. Rumah mewah hasil kerja kerasnya saat menjadi TKW. Ia pernah berjanji jika suatu saat sukses, ia
Uki dan teman-temannya akhirnya datang tepat waktu. Saat para anak buah Mirna itu akan menghabis Sahrul dan anak-anaknya, Uki dan teman gangsternya itu datang. Mereka pun berhasil membuat anak buah Mirna itu bertekuk lutut. Mereka lari meninggalkan gudang tua itu. Tidak lama, Tia pun datang dan memeluk ketiga adik perempuannya yang ketakutan akibat penculikan itu."Kalian nggak apa-apa?"Tia dan Uki akhirnya membawa ayahnya dan ketiga saudaranya yang lain pulang. Mereka sangat syok setelah mengalami kejadian yang mengerikan ini. Nyawanya nyaris hilang jika saya Uki datang terlambat.Beberapa jam berlaluTia kembali menemui ketiga adiknya. Ia hanya ingin memastikan jika semuanya dalam keadaan baik. Sasa dan Sisi pun sudah beristirahat. Hanya Ani yang belum memejamkan matanya."Ani, kamu kenapa?" tanya Tia. Putri sulung Rosma ini mencoba mendekati Ani yang berdiri di atas balkon.Tia tahu, sepertinya Ani masih sangat syok atas penculikan yang baru saja mereka alami. Di dapan matanya ta
Rosma hanya bisa tertunduk malu. Menangis. Menyesali semuanya. Rosma sadar, demi menuruti emosinya ia justru kehilangan anak kesayangannya. Anak yang ia rawat dari bayi. Walau Hafiz bukan terlahir dari rahimnya, tapi Rosma tidak pernah membedakan anak-anaknya."Mirna, maafin saya. Andai waktu bisa saya putar ulang, mungkin saya nggak akan pergi ke rumah Arumi menyaksikan pernikahan dia dan Mas Sahrul ...." lirih Rosma. Wajah Rosma sudah basah dengan air matanya yang tumpah. Namun, Mirna tetap tidak perduli. Mirna tetap dengan keputusannya untuk memperberat hukuman bagi Rosma yang telah menyesali perbuatannya."Rosma, kita bisa jadi saudara, demi Hafiz. Kalau kamu mau tetap menggugat aku, nggak masalah. Tapi tolong, aku hanya ingin kita mempunyai hubungan yang baik, itu saja!" tegas Rosma.Mirna hanya diam terpaku. Menatap wajah pembunuh anaknya itu dengan tatapan kebencian. Mirna sadar, jika ia juga telah berutang budi pada Rosma yang telah mengurus Hafiz dengan baik hingga peristiw
Kebebasan Rosma mungkin hanya sebatas impian. Mirna tetap kekeuh dengan keputusannya untuk melanjutkan tuntutannya. Bukan hanya pada Rosma, tapi juga Sahrul yang tengah berjuang dengan sakitnya.Dua minggu berlalu. Saat Tia baru saja datang ke kamar VVIP di mana ayahnya dirawat, tiba-tiba datanglah beberapa anggota kepolisian yang menghampirinya."Selamat sore!" ujar seorang di antaranya. Terlihat di nametag tertera nama Moeldoko."Sore.Ada apa ya, Pak?" tanya Tia. Tia mulai merasakan ketakutan. Ia masih sangat trauma manakala mengingat saat ibunya dibawa ketika selesai pemakaman Hafiz.Para anggota kepolisian itu akhirnya menjelaskan kedatangannya. Tia pun syok. Ia tidak menyangka jika ibu kandung Hafiz itu benar-benar melanjutkan rencananya. Bukan sekadar ancaman."Apa Tante Mirna yang melaporkannya, Pak?" tanya Tia. Sang anggota kepolisian itupun mengangguk.Pembicaraan pun terjadi. Tia yang berusaha agar ayahnya tidak dibawa pun akhirnya mengajak para aparat itu untuk menemui san
Beberapa tahun berlaluPada akhirnya, kebahagiaan seorang anak adalah ketika ia bisa hidup bahagia berkumpul bersama kedua orang tuanya secara utuh.Setelah banyak melewati banyak ujian kehidupan, Rosma akhirnya bebas. Ia akan segera menikmati udara segar. Kembali berkumpul dengan anak-anaknya.Tia pun sudah menyiapkan sebuah surprise untuk menyambut kepulangan ibu mereka. Rumah pun ditata sebegitu rupa hingga nampak cantik dan berbeda."Gimana, Ki, udah beres?" tanya Tia saat melihat persiapan yang dilakukan Uki dan teman-temannya."Beres, Kak."Tia bersama keempat adiknya pun bersiap menjemput ibunya di rutan. Mereka pun pergi menggunakan mobil milik Tia, hasil kerja kerasnya selama ini. "Go!"----Mobil yang dikendarai Uki akhirnya sampai di depan rutan. Mereka pun bersiap masuk. Ternyata Rosma sudah siap dan menunggu kedatangan mereka sejak tadi.Ditemani seorang sipir, Rosma pun kembali berpelukan dengan anak-anaknya. Sang sipir pun nampak turut bahagia melihat Rosma yang akhirn
Kehilangan suami sudah membuat Rosma merasa hidupnya tak lagi sempurna. Kebahagiaan yang ia harapkan pun kini sudah sirna. Namun, Rosma tetap berusaha tegar di depan anak-anaknya.Namun, di tengah kesedihannya, justru Arumi hadir dan membuat permasalahan baru di kehidupan Rosma dan anak-anaknya."Enggak! Saya nggak percaya kalau Rey ini juga anak ayah. Karena saat ayah kembali, ayah nggak pernah bercerita soal Reyhan!" pekik Tia malam itu."Tante hanya ingin merebut rumah ini aja kan? Jawab!" hardik Uki.Anak-anak Rosma itupun geram dibuatnya. Mereka tahu jika Arumi gila harta. Tidak mungkin ayah tidak menceritakan soal keberadaan Reyhan jika benar itu adalah anak kandungnya."Mana buktinya jika Reyhan anak kandung Mas Sahrul?" tanya Rosma."Ada kok.""Mulai hari ini, kami juga akan tinggal di sini. Karena Reyhan juga berhak di rumah ini, karena ini milik ayahnya!" ungkap Arumi.Anak-anak Rosma dan Sahrul itu jelas saja menolak keinginan Arumi untuk tinggal bersama. Bagaimana mungkin