LOGINDimas merebahkan diri di samping Karina yang berbaring menyamping—persis menghadapnya. Tatapannya terkunci pada Karina. Senyumnya mengembang lembut, sorot matanya menyiratkan kekaguman nyata.Tangannya terangkat, dengan gerakan lembut menyingkirkan rambut panjang Karina yang sedikit menutupi wajah. Hingga, tersingkaplah wajah cantik Karina yang terpejam damai.Rasanya masih sulit dipercaya. Wanita yang kini berada di depannya, adalah seseorang yang dulu hanya mampu dia kagumi dari jauh. Seseorang yang hanya mampu dia tatap diam-diam di tengah sesi belajar privat. Yang bahkan, tak pernah berani dia bayangkan untuk menjadi bagian dari masa depannya.Terlebih, seseorang yang akan mengandung anaknya.Tangan Dimas menyentuh lembut puncak hidung Karina, turun ke pipi mulusnya. Sensasi hangat dan lembut itu benar-benar teraba di jarinya. Batinnya kini yakin.Semua ini nyata.Karina di depannya nyata.Karina membuka mata. Dengan tatapan menyipit, wanita itu mengernyit, seolah sedang mencerna
“Mas, jadi Pak Reno tuh ada hubungan apa sama Mas?” Melia yang sedang berdiri di samping Dimas dan membantu menyiapkan beberapa cangkir kopi, sesekali melirik serius ke arah Kakaknya..Dimas menarik napas dalam-dalam. “Pak Reno suaminya Karina, Pacarnya Mas.” Dimas menjawab tegas. Kemudian dia bergumam pelan, “Harusnya sih segera jadi mantan suami.”Tring!Melia menjatuhkan sesendok penuh bubuk kopi ke lantai. Menyebabkan keramik berwarna cerah kini dihiasi taburan bubuk hitam yang menyebar tak karuan.Dimas menatap tajam pada kekacauan itu, lantas mendelik tajam ke arah Melia. “KOK BISA?” Melia membelalak lebar.Dimas di tempatnya merapatkan jari telunjuk ke bibir. “Sstt. Karina lagi tidur. Pelankan suaramu.” Dimas menoleh sekilas dengan kerlingan tajam.“Ternyata pacarnya Mas bukan hamil duluan? Tapi Mas pacaran sama istri orang yang lagi hamil? Kok Mas tipenya yang udah—”Dimas buru-buru membungkam mulut Melia yang volume-nya lepas kendali. Gadis itu masih saja menatap Dimas denga
Reno meneguk ludah. Jantungnya berdegup liar."Kami … sudah menyaksikan cukup banyak hari ini.” suara Pak Theo terdengar tenang, tetapi ada nada dingin yang tidak disukai Reno.“Kami melihat ketidakstabilan emosional anda, keamanan jaringan yang mengerikan, dan juga bagaimana anda menanggapi krisis di depan kami." Pak Theo memandang Pak Bram, yang hanya mengangguk tipis."Kami mengapresiasi upaya anda, tetapi … kami tidak bisa menaruh investasi sebesar ini pada perusahaan yang fondasi manajemennya begitu rapuh. Apalagi..." Pak Theo melirik ke arah meja kasir dengan barang-barang yang berserakan di bawahnya. Reno yang menangkap gestur itu buru-buru membereskannya dengan gelagat panik."... Direkturnya tidak mampu mengontrol amarah di depan mitra bisnis.” sindir Pak Theo dengan nada tajam.“Kami mundur, Pak Reno."Reno tersentak, buru-buru mendongak dengan wajah panik. "Tunggu! Pak Theo! Saya bisa jelaskan! Itu hanya penipuan! Hacker itu cuma mempermainkan saya!""Kami tidak beri
Brak! Dimas menutup pintu mobil ketika kakinya turun sempurna dari kemudi. Dia baru saja menghentikan kendaraan berwarna putih itu di depan lobby, menanti Karina yang kabarnya sedang dibawa keluar dari kamar. Ada degup tak biasa ketika benaknya membayangkan bahwa dia akan menemui kembali apa yang beberapa hari ini hilang darinya—suara lembut Karina, senyum manisnya, gelak tawanya, dan perhatian-perhatian kecilnya yang membuat Dimas merasa ‘utuh’. Saat dilihatnya Karina—yang masih mengenakan gaun berwarna beige, dengan wajah sembab dan rambut sedikit berantakan, keluar diiringi seorang pria, dunia seakan berhenti berputar. Seolah Dimas kembali menemukan cahaya setelah berhari-hari hidupnya terasa dikurung dalam kegelapan. Napas Dimas tercekat. Sudut bibirnya naik perlahan seiring haru melingkupi perasaannya. Karina berhenti melangkah. Tatapan sendunya melebar, seperti campuran rasa tak percaya, lega dan rindu. Langkahnya lalu bertambah cepat, hampir berlari. Hingga sesaat kemudia
“Ada apa, Pak Reno?” Dan detik itu, sekujur tubuh Reno membeku. Pak Theo dan Pak Bram berdiri di kedua sisinya, ikut memperhatikan layar monitor kasir yang masih menampilkan kekacauan.“Hacked? Wah, gimana nih Pak keamanan jaringannya? Masa datanya bisa bocor begitu.” Pak Theo melipat lengan di depan dada. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang luar biasa.Keringat dingin meluncur di pelipis Reno. Lidahnya membasahi bibir berusaha mengenyahkan gugup. Habis sudah. Padahal Papa sangat berharap pada peluang investor dari orang sebesar konglomerat Sanjaya group.“Tunggu sebentar ya Pak. Saya lagi upayakan ini bisa beres cepat. Saya permisi terima telepon dulu ya.” Reno melangkah menjauh ke sebuah sudut yang hampir tak dijangkau orang-orang. Setelah memastikan tak akan ada yang mendengar suaranya, Reno kembali fokus pada panggilan telepon.“APA YANG KAMU LAKUKAN DENGAN SISTEMKU, DIMAS?” Reno berteriak murka.Dimas di seberang tak langsung menjawab.“Cuma mengambil data. Untuk ditukar denga
Selera Nusantara - Tendean. 14.10 WIBLangkah Reno berayun ringan begitu turun dari mobil dan menyusuri pijakan kayu di area gerbang masuk menuju lahan terbuka dengan meja dan kursi makan menyebar rapi. Di bawah pijakan kayu itu, ada kolam ikan dengan air mancur yang memberi efek suara percikan air yang sejuk dan menenangkan. Sedari tadi, senyum lebarnya awet di wajah. Bukan hanya karena akan menyambut calon investor siang ini, tetapi juga karena kehadiran Karina yang kembali ke jangkauan kontrolnya. Bahkan selama dalam perjalanan menuju restoran ini, dia tak henti menghayalkan dan merencanakan apa-apa saja yang akan dia lakukan pada Karina di hotel sekembalinya dia dari restoran nanti.‘Ah, sial. Hampir turn on duluan.’Saat menangkap dua orang tamunya sedang berdiri menyadar di pilar samping susuran kayu yang mengelilingi kolam ikan, senyum Reno melebar. Satu dari mereka, Pak Theo adalah Vice president dari Sanjaya Group—perusahaan konglomerat properti yang sedang menimbang Selera







