“Tumben panas banget,” ujar Ina menyeka keringatnya. Mereka sudah selesai makan siang dan sekarang melanjutkan untuk berkebun lagi di halaman belakang. “Padahal tadi mendung ya.”“Kalo capek istirahat ya, ai.” Entah sudah ke berapa kali Amir mengatakan untuk istirahat jika Ina merasa capek. Pasalnya Amir sendiri juga khawatir melihat wajah Ina yang sedikit pucat. Ia juga sudah berulang kali untuk menyuruh Ina berhenti saja, tapi istrinya itu tidak mau nurut. Ina memang keras kepala. “Aduh, Pak. Iya-iya, nanti kalo capek aku istirahat,” balas Ina memajukan bibirnya. “Aku masih kuat.”“Muka kamu pucet soalnya,” ujar Amir memberitahu.“Pucet biasa. Tapi aku nggak papa.”“Iya-iya, nggak papa. Intinya kalo capek langsung istirahat,” ujar Amir kembali mengingatkan.Sebenarnya Ina juga merasa sedikit lelah dan pening, tapi ia masih bisa menahannya. Setelah selesai menanam cabai, Ina berniat untuk mengambil minum. Panasnya terik matahari membuatnya sangat merasakan dahaga yang begitu luar bi
Sepertinya hormon Ibu hamil membuat Ina bertingkah seperti anak kecil. Menakutkan sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi. Contohnya saja saat ini, Ina merengek pada Amir untuk menyuruh suaminya itu tidak bekerja. Alasannya karena ada Alia."Ambil cuti, nggak usah kerja." Ina menahan Amir untuk tidak berangkat."Kenapa emangnya aku disuruh cuti?" "Nggak mau kamu ketemu Aliaaa."Amir terkekeh, mengusap kepala Ina dengan gemas. "Tapi besok-besok kalo masuk tetep ketemu, ai. Namanya juga satu tim.""Lagian aku sama dia nggak mungkin ngapa-ngapain kayak yang kamu pikirin. Punya kamu aja lebih dari cukup." Amir menjelaskan istrinya itu penuh cinta. "Iya, percaya. Aku cuma takut kamu tergoda sama dia," ujar Ina cemberut.Amir tidak bisa menyembunyikan tawanya. "Lucu banget sih istriku iniii," ujarnya mencubit pipi Ina yang semakin terlihat chubby dengan gemas.Ina memperlihatkan puppy eyesnya. "Plisss, yaya ambil cuti? Lagian kan kamu jarang banget ambil cuti selama kerja. Pasti Pak Bimo b
5 bulan kemudianIna terlihat serius membaca sebuah buku berisikan nama-nama bayi beserta artinya. Ia sudah berulang kali mencari nama yang cocok untuk calon debay di dalam perutnya ini, tetapi entah kenapa belum ada yang membuatnya merasa srek dan cocok. Dirinya dan Amir memang merencanakan untuk menyiapkan 2 nama untuk bayi perempuan dan 2 nama untuk bayi laki-laki. Karena mereka belum mengetahui jenis kelaminnya, memang sengaja mereka tidak ingin tau. Biarkan semua menjadi kejutan nantinya. Hari ini dirinya sedang berada di butik. Sejak hamil, Ina membuat jadwal setidaknya seminggu sekali dirinya pergi ke butik untuk menemui klien yang sudah membuat janji jauh-jauh hari. “Masih nyari nama buat debaynya ya, Mba In?” tanya Dini yang masuk ke dalam ruangan dengan membawa semangkuk bakso dan es teh.Ina menutup buku dan meletakkannya di atas kursi. Ia mengangguk lelah. “Iya nih, Din. Nyari nama anak nggak gampang ternyata.”“Sebenernya Paksu udah ngusulin beberapa nama, cuman akunya
Hari ini rencananya, Ina akan bertemu dengan para teman-temannya di salah satu resto yang dekat dengan butiknya. Ia juga sudah meminta izin pada Amir dan suaminya itu mengizinkan dengan syarat, berangkat dan pulang bersama Amir. Saat ini mereka sedang perjalan menuju butik dan bertemu dengan para teman-temannya nanti siang. “Hati-hati di jalan,” ujar Ina mencium tangan Amir saat mereka sudah sampai di butik. “Iya, ai. Kalo ada apa-apa langsung kabarin,” ujar Amir mengingatkan.“Siap, bos!” balas Ina mengacungkan jempolnya, sebelum ia turun dari mobil.Setelah kepergian Amir, Ina segera masuk ke dalam butik. Beberapa pegawainya sedang sibuk mempersiapkan beberapa gaun pesanan. “Makin cantik aja nih bumil,” ujar Dini saat melihat Ina masuk ke dalam butik.Ina tersenyum lebar, tangan kanannya refleks mengusap-usap perutnya yang sud0ah terlihat besar. “Aura bumilnya makin terpancar, ya?” tanya Ina sembari terkekeh.Dini mengangguk antusias, mengacungkan jempolnya. “Beuh, aura bumilnya t
"Ai, boleh minta tolong?" tanya Amir pada Ina yang baru saja duduk, berniat untuk beristirahat sejenak. Ina baru saja menyelesaikan pekerjaannya membersihkan rumah, perihal art yang sudah dipekerjakan sejak sebulan lalu sedang izin untuk pulang kampung tiga hari karena anaknya sedang sakit dan kangen dengan ibunya. Tentu saja Ina langsung memberi izin, karena juga anaknya hanya tinggal berdua bersama neneknya. "Minta tolong apa?" Bukannya menjawab, Amir malah menggeleng. Ia jadi merasa tidak tega jika harus meminta tolong kepada istrinya hanya dengan melihat wajahnya yang lelah."Kok geleng-geleng, kenapa?""Nggak papa, ai." "Kamu mau minta tolong apa?""Nggak jadi, ai." Amir menggelengkan kepalanya, tersenyum."Kenapa nggak jadi?""Ya nggak papa.""Beneran nggak jadi?" tanya Ina sekali lagi menatap Amir serius.Amir mengangguk yakin. "Iya, beneran seratus persen, sayang.""Oke, baiklah."“Coba duduk di sini,” ujar Amir menepuk-nepuk kasur memberi kode Ina untuk berada di sampingn
Beberapa kebutuhan perlengkapan bayi, serta barang-barang yang lucu dan menarik perhatiannya hampir sebagian besar Ina sudah membeli. Ia juga berpesan, untuk barang belanjaannya dikirim ke alamat rumahnya. Saat sudah selesai melakukan transaksi dan berniat akan pulang ke rumah, pandangan matanya tidak sengaja menangkap sepasang sepatu berbulu mungil yang lucu dengan muka kucing di bagian ujung. Tangan Ina terulur berniat untuk mengambilnya, bersamaan dengan itu seseorang juga mengambil barang yang sama. “Eh.” Ina segera melepaskan tangannya dan beralih menatap seseorang di sampingnya. “Ambil sa—” ujarnya menggantung karena melihat sosok di sampingnya itu. “Eh ... hai, Na?” ujar orang itu menyapa Ina, menampilkan senyumannya. Ina mengerjap, tersenyum paksa. “Oh, hai.” Setelah mengatakan itu, Ina membalikkan badannya, melihat orang ini meskipun tidak sengaja membuat moodnya buruk. “Loh, Na. Mau ke mana?” tanyanya meraih pergelangan tangan Ina dan membuat langkahnya terhenti.Ina men
Amir merasakan ada perbedaan pada diri Ina. Sudah hampir 7 tahun dirinya hidup bersama istrinya, tidak mungkin Amir salah menilai dan merasakan ada yang beda. Bahkan sikapnya juga sedikit sensitif. Apa hormon ibu hamil masih berlaku? Amir bermonolog dalam hati. Mungkin saja, ya."Mau ke mana, ai?" tanya Amir melihat istrinya sedang bersiap-siap dengan pakaiannya yang sudah rapi. "Ketemu sama temen-temen," balas Ina tanpa menatap ke arah Amir, masih fokus merapikan rambutnya. Amir menghembuskan napasnya pelan, mengangguk mengerti. Ini kedua kalinya, Ina pergi tanpa berbicara dulu padanya jika dia memiliki janji atau ingin pergi sekedar berjalan-jalan. Karena pasti Ina selalu izin dulu pada Amir dan mengatakan padanya ingin pergi, juga memberitahukan ke mana tujuannya. Awalnya Amir pikir Ina lupa, tapi kali ini Amir lagi yang harus bertanya terlebih dulu barulah istrinya itu akan memberitahukan. "Hati-hati, pulangnya jangan kemaleman," ujar Amir."Yaudah, aku pergi dulu," pamit Ina l
Amir menunggu Ina dari dalam kamar, ia duduk di kursi roda menghadap jendela. Seharian ini Ina masih berada di luar. Hujan juga turun sangat deras sejak sore hingga malam ini pun belum berhenti. Tentu saja membuatnya khawatir, apalagi istrinya itu juga tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati. Ina hanya bilang padanya jika dia ingin pergi untuk mencari kebutuhan debay, itu saja. Selebihnya, Amir tidak tau. Hingga suara deru mobil membuat Amir melihat dari jendela. Ada mobil yang terparkir di depan rumahnya, tidak berselang lama seorang pria keluar dengan membawa sebuah payung, lalu disusul seorang wanita keluar dari mobil. Meskipun hanya terlihat samar, Amir tau betul jika wanita itu adalah Ina, istrinya. Hanya saja, siapa pria itu? Lalu di mana Pak Tomo dan kenapa Ina keluar bukan dari mobilnya? Pertanyaan itu muncul di benaknya.Begitu mereka sampai di depan rumah, terlihat keduanya sedang berbincang. Ina tertawa, entah lelucon apa yang dilontarkan pria di depannya sehingga membuat is