Atmosfer canggung itu membuat Rhea tiba-tiba tertawa hingga menarik kesadaran mereka semua. “Hei, aku bercanda! Ayolah, mungkin saja Enzo tidak seperti itu.”“Y-Ya.” Andini mengangguk kaku sambil tersenyum mengajak yang lain supaya setuju. “Suamiku tidak mungkin melakukan itu. Dia jatuh terlalu dalam kepadaku.”“Apa kau tidak mendengarku?” Wajah tenang Rhea yang berganti tiba-tiba menarik perhatian Andini sekali lagi. “Aku bilang mungkin.”Senyuman Andini kembali menghilang dan kini menatap tajam Rhea. Dengan hawa dingin yang canggung di ruangan itu membuat para pengiring sekaligus rekan-rekan kerja mereka tidak berani untuk mengganggu.Dia tahu, jika semakin lama ini berlalu, ia akan semakin malu. Membersihkan tenggorokkan, Andini mengalihkan topik mereka dengan ceria khasnya. “L-Lalu, kapan kamu akan menyusul? Kita ini sudah tidak muda lagi. Sedikit turunkan standarmu, Rhe. Jika tidak, kamu akan te—”“Aku sudah menikah.”“Oh begitu.” Andini mengangguk ringan. Detik selanjutnya setela
Apa yang dikatakan Rhea tidaklah salah. Sepanjang pesta yang meriah itu berlangsung, baik Enzo maupun Andini tidak menikmati hari bahagia mereka hingga pesta tersebut selesai. Yang satu gelisah sepanjang malam sedangkan satunya tersenyum kaku membuat wajahnya terlihat jelek. Mereka berdua bingung, cemas, dan terkejut.“Maven? Ya, benar. Dia memang baru menikah. Jika aku masih ingat benar, itu terjadi awal bulan lalu.”Di dalam unit yang sunyi dan temaram, Enzo menarik dasinya dengan kasar namun suaranya terdengar ramah pada ponsel di telinganya. “Sungguh? Saya baru tahu tentang ini. Pantas saja di pernikahan saya, beliau datang bersama istrinya. Saya pikir beliau masih lajang.”“Pernikahan mereka memang diadakan tertutup. Hanya beberapa orang saja yang diundang, para direktur induk dan komisaris, beberapa pendiri asosiasi dalam dan luar negeri, juga relasi yang memiliki pengaruh besar di pusat bisnis. Banyak dari kalian yang tidak diundang. Anak cabang lainnya juga, selain direktur uta
Pagi itu, tidak ada perasaan mengantuk ketika Rhea yang tengah duduk di kloset menatap bercak darah di celananya. Oh tidak. Ini bukanlah hal yang dia inginkan.“Crap,” dia berbisik sebelum mengambil pembalut.Karena ini hari pertama haidnya, suasana hati Rhea menjadi buruk. Dia membiarkan Ibnu mengantarnya ke Putik dan dia beristirahat memejamkan mata di kursi belakang.Sesampainya di Putik, dia melihat gerombolan rekan-rekannya. Jika sudah begitu, Rhea sangat tahu mereka pasti sedang bergosip. Di saat dia akan melewati mereka, dia bisa mendengar obrolan samar-samar mereka yang membahas pernikahan Andini. Dia hendak berbelok namun suara seseorang membuatnya berhenti melangkah.“Oh Rhea sudah datang!”Rhea memejamkan mata, mendesah pelan, dan membatin. Oh please. Jangan hari ini ….Andini mendekatinya dan memeluk tangan Rhea dengan semangat. “Ayo tanya apa yang kami bahas di sana.”“Tidak perlu.”“Kami membicarakan tentang pernikahanku. Dan sekarang, ayo bahas tentang suamimu!” Andini t
Bantuan? Bayaran? Atau apa?Di luar gedung kantor, Enzo mengeluarkan salah satu rokok dari bungkusnya kemudian menyalakannya dengan pemantik.Dahinya berkerut dalam mencoba untuk mencari tahu apakah ada maksud tersembunyi dari Maven yang mengakuisisi Raya Finance. Apa karena dia kasian dengan istrinya? Takut perusahaan itu diambil alih oleh paman Rhea?Tapi bagaimana jika bukan itu?Menatap pohon rindang di depannya, ia mengembuskan asap sekali.“Bagaimana jika bukan?” Enzo tanpa sadar menggumamkan isi pikirannya.Ia kemudian merogoh saku celana dan menghubungi Andini. Dan tak butuh waktu lama, wanita itu segera mengangkat panggilannya.“Ya, Sayang? Kamu melupakan sesuatu?”“No. Aku hanya ingin menanyakan kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di tempat kerjamu?”“Tentu saja!” Andini di seberang telepon tersenyum lebar. Suaminya sangat perhatian dengannya padahal mereka baru berpisah sebentar. “Bagaimana denganmu?”Menjentikkan abu rokok, Enzo menjawab singkat, “Ya. Lalu bagaimana dengan hub
"... Di Celadon, saya ingin para penjual terobsesi dengan pelanggan daripada fokus dengan pesaing, semangat untuk penemuan, komitmen untuk keunggulan operasional, dan pemikiran jangka panjang mereka. Karena itu, saya memiliki strategi baru yang didasarkan pada satu tujuan ambisius: untuk memenuhi setiap kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan pengalaman yang unggul." Enzo berbicara sangat penuh percaya diri dan lancar di ruang rapat. Di ruang tersebut, sudah ada dewan direksi beserta Maven yang menjabat sebagai CEO dan Tony selaku Komisaris Utama TW Group. Semua orang memandang layar panel datar interaktif di depan dengan perasaan tertarik dan fokus. Akan tetapi tidak untuk Maven. Pria itu dengan tenang hanya menatap agenda di depannya. Itu sudah biasa. Enzo sering kali melihat Maven seperti ini. Pria itu bukannya tidak suka dengan presentasi karyawannya, hanya saja baginya membaca dari makalah rapat secara langsung lebih efektif agar mempersingkat waktu. Ketika pria itu memba
Hari sudah sangat malam ketika Maven kembali. Begitu dia masuk ke rumah, kepala pelayan yang seorang wanita berumur 40-an segera menghampirinya dengan langkah lebar dan cepat. Namanya Yana.“Anda pulang cukup larut, Pak.”“Hm.” Maven memberikan jasnya kepada Yana.“Apa Anda ingin makan malam atau kopi?” Yana sudah tahu kebiasaan Maven. Tiap pulang, pria ini tidak akan langsung istirahat melainkan mengurung dirinya di ruang kerja seolah pekerjaannya tidak pernah ada habisnya.“Aku sudah makan malam dengan klien. Kopi saja.” Maven kemudian melihat arloji di pergelangan tangan yang hampir pukul sebelas malam. “Rhea sudah tidur?”“Bu Rhea ada di ruang santai lantai atas, masih bekerja saya rasa.”Maven mengangguk singkat. “Bawakan kopiku ke sana.”Yana tersenyum dan menunduk sopan kepada Maven yang menaiki anak tangga. “Baik.”Di lantai tiga, sesuai perkataan Yana, Rhea ada di ruang santai yang posisinya berada di antara kamar mereka. Kedua kaki jenjangnya ditekuk di atas sofa dengan tubuh
Rhea menyentuh kelopak bunga yang basah lalu tersenyum. “Wow, ternyata Kakek benar-benar pandai merawat tanaman!”Dia sedang berada di kebun Tony dan membantunya untuk menyiram tanaman di sana. Kegelisahan Rhea beberapa hari lalu sepertinya telah didengar Tuhan. Henry tidak datang hari ini.Tony berkata bahwa Henry jarang kemari karena anak mereka masih kecil. Namun terkadang dia akan datang sepulang kerja membawa istri dan anaknya.“Tentu saja! Aku belajar dari ahlinya.” Tony tersenyum lebar merasa bangga. Kemudian mendesah lambat. “Mendiang istriku sangat suka menanam bunga hias. Dia akan menghabiskan waktunya di sini. Dan aku akan membantunya, yah walaupun awalnya aku terlalu banyak membuat masalah pada bunga-bunga kesukaannya. Lalu, setelah dia tiada, aku yang mengurusi mereka semua.”Pandangan Tony menatap jauh seolah mengenang masa lalu sambil tersenyum lembut. Membuat Rhea ikut tersenyum. Hanya dengan pembahasan singkat tentang kebersamaan mereka, dia bisa merasakan kehangatan d
“Oh astaga. Pantas saja kau tidak mau membicarakan tentang suamimu ketika kami berkumpul dan bergosip.”Rhea tersentak kaget dan menoleh ke belakang di mana Ayu dan Dania menatapnya dengan tatapan jahil.Selain Rhea, Andini pun kaget. Dia dengan cepat memperbaiki raut wajahnya sebelum menoleh ke arah kedua wanita yang menghampiri mereka.“Melihat interaksi Andini dan suamimu, Rhea, ternyata kalian sedekat itu ya, An?”Andini ingin sekali mengangguk dan membusungkan dadanya dengan bangga, jika dia tidak melihat kemesraan singkat yang sepasang suami-istri itu lakukan di depan mata kepalanya sendiri. Belum lagi bagaimana Dania menatapnya dengan tatapan aneh. Oh tentu saja, Andini tahu arti dari tatapan wanita itu. Dia pasti bertanya-tanya apakah Andini tidak canggung melihat kemesraan di depan matanya langsung tadi. Jelas sekali bukan jawabannya?Menanggapi ucapan Ayu, Andini hanya tersenyum singkat lalu membuang wajahnya.Kembali pada Rhea, Ayu berseru, “Kau benar-benar rakus, Rhea. Bis