"Rena, jadi ada apa? Kenapa kamu ajak aku ke sini? Padahal kita bisa ngobrol di rumah. Selain itu, kenapa juga aku harus bohong sama Mathew? Dia itu menyebalkan, bahaya kalau tahu."
Lagi, wanita di depan Sheilla hanya diam sambil memakan cake pesanannya. Entah apa yang ada di dalam otaknya, yang jelas matanya terus mengamati."Maurena!""Astaga, Sheill, kamu kenapa? Emang salah ya kalau aku ajak kamu jalan-jalan? Kamu ngga boring di rumah? Di jalan tadi aku udah bilang ngga sengaja lewat kawasan rumahmu, jadi aku mampir."Kedua mata Sheilla menyipit. Jawabannya tidak aneh, tidak pula mengandung rasa curiga. Tapi tunggu dulu."Kamu tahu rumahku dari mana, Ren?""Arvel."Tepat sesuai dugaan. Mata yang awalnya menyipit kini berputar jengah. Entahlah, walaupun sudah lama berlalu, tetap saja rasa kesal Sheilla pada sosok Arvel masih sangat ada. Belum lagi tingkahnya yang menyebalkan, semakin memperkeruh kebencian.Sheilla menghempas punggungnya ke sanggahan kursi, kedua tangannya terlipat di dada sambil terus menatap lalu berkata, "hubunganmu dengan Arvel sangat serius? Kalian berpacaran? Kamu cantik, baik, tentu masih ada pria lain yang lebih baik dari Arvel. Jadi, kenapa?"Tawa Maurena pecah, beruntung dia tidak tersedak. Sheilla memang apa adanya, Maurena semakin nyaman duduk berdua dengannya di luar misi yang dia pikul. Melihat lawan bicaranya tertawa tentu saja Sheilla bingung. Kalau seperti ini mengingatkan dia pada sosok Arvel."Kami ngga ada hubungan spesial, hanya teman biasa. Soal kenapa aku memintamu bohong, sudah pasti Mathew akan melarangmu pergi kalau denganku. Entah apa salahku, dia awas sekali." Maurena mendelikan bahunya acuh.Ada rasa gerah yang Maurena rasakan. Salah satunya dia gerah karena harus terus bermain drama seperti ini. Karena lawannya sepolos Sheilla, hati kecil Maurena semakin tidak tega.Sheilla mengangguk-anggukan kepala. Sebetulnya ada beberapa pertanyaan lagi, tetapi Sheilla mengurungkan niatnya. Keduanya terdiam menikmati pesanan masing-masing. Tidak ada lagi keributan, sesekali Sheilla juga melihat sekitar."Ah, iya, aku ingin beritahu sesuatu!" Dengan wajah riang Sheilla kembali memusatkan perhatiannya pada Maurena."Wajahmu terlihat bahagia, apa ini juga kabar bahagia?" Sebelah alis Maurena terangkat, yang langsung diangguki oleh Sheilla.Tanpa sadar senyum Maurena terukir melihat binar bahagia di wajah Sheilla walaupun dia belum tahu apa kabarnya."Aku hamil."Uhuk...uhuk...uhuk!Air dingin yang baru saja ingin melewati tenggorokan seketika mencuat. Sheilla panik, dia bangun lalu mengusap punggung Maurena sembari meringis. Apa ada yang salah sama perkataannya?"Kamu? K-kamu sekarang hamil?!" Maurena menatap horor wanita di sampingnya. Batuk-batuknya boleh selesai, tidak dengan keterkejutannya.Beban apa lagi ini?!Merasa Maurena sudah membaik Sheilla kembali duduk. Sambil makan kentang Sheilla mengangguk seraya menjawab, "enam atau tujuh minggu ya? Tapi iya, aku hamil. Sebetulnya aku belum siap, apa lagi ada rencana lanjutin kuliah. Kalau begini, terpaksa aku pending. Menurutmu, apa pantas aku yang masih dua puluh tahun jadi ibu?"Mulut Maurena mengatup.Amat sangat di luar prediksi.Tidak langsung ada jawaban dari Maurena, tetapi Sheilla tak ambil pusing. Kenapa juga wanita itu harus kaget?"Pasti menurut kamu tidak cocok ya?""Bukan, bukan itu! Aku hanya kaget, bukan meremehkan. Mau gimana ya, Sheill? Kamu sudah menikah, bukankah hamil itu wajar?" jawab Maurena cepat. Jujur saja saat ini otaknya sedang buyar hanya perkara hamil.Sheilla mendelikan bahunya tanda tidak tahu. Entah benar atau salah, otaknya memang tidak tahu.Membiarkan Sheilla makan, otak Maurena langsung tertuju pada Xavier. Iya, kabar ini harus segera dia sampaikan.***Kurang lebih tiga jam menghabiskan waktu di luar, kini Sheilla sudah sampai rumah. Sempat was-was jika Mathew lebih dulu pulang, tetapi untung saja hari ini dia aman. Hari ini Sheilla juga puas bisa cuci mata walaupun awalnya enggan. Setelah membersihkan diri Sheilla kembali turun dari lantai dua."Bibi, makan malam masak apa? Aku boleh ikut bantu?""Bantu?" Langkah Rubby terhenti, tatapannya tertuju pada wanita cantik di sampingnya. Walaupun tanpa riasan make up, hanya memakai tank top dipadu celana jeans pendek, majikannya sangat cantik.Sheilla mengangguk-anggukan kepalanya. Tubuhnya memang tidak terlalu lelah, lagipula Sheilla sadar diri tidak akan membantu banyak."Lebih tepatnya aku ingin lihat, mana tahu nanti bisa masak," celetuk Sheilla memecah keheningan.Jika yang meminta seperti ini, mana bisa Rubby menolak? Menolak keinginan majikan sama saja resign perlahan. Terlebih Rubby ingat Mathew mewanti-wanti jika Sheilla tengah hamil.Tin!Tin!Suara klakson membuat Sheilla menerjapkan mata. Apakah itu mobil suaminya? Mathew sudah pulang? Lupa dengan Rubby, Sheilla berlari ke luar dapur menuju pintu utama. Hari memang sudah sore, tapi tumben sekali pria itu sudah pulang. Saat salah satu asisten rumah tangganya ingin membuka pintu Sheilla melarang, karena dia yang ingin ke luar.Tepat pintu terbuka, Mathew berdiri masih dengan pakaian rapihnya."Kau sudah pulang? Baru pukul lima, tumben sekali," ujar Sheilla santai. Saking santainya dia melipat tangan di dada."Bukankah itu lebih baik daripada berbohong?"Apa?Eh, tunggu!Apa katanya tadi?Baru mulutnya ingin bersuara, Mathew sudah lebih dulu berlalu meninggalkan Sheilla. Tujuan pria itu langsung ke atas, karena tubuhnya sudah teramat lengket. Selain itu, dia harus mendinginkan otak yang panas. Awalnya Sheilla mengejar, tetapi di anak tangga ke dua langkahnya terhenti.Dalam diamnya Sheilla tengah mencerna perkataan yang Mathew lontarkan. Berbohong? Tapi ... berbohong apa? Apa iya kepergiannya dengan Maurena ketahuan? Jika iya, tamat riwayatnya.Sheilla menepuk jidat, kakinya kembali menaiki tangga. Dilihat saja dulu, mana tahu beda pembahasan. Satu demi satu anak tangga Sheilla tapaki, sampai akhirnya dia masuk ke dalam kamar. Tepat saat dia masuk, Mathew menutup pintu kamar mandi."Ribet," guman Sheilla.***Ruang makan yang biasanya hangat seketika berubah. Tidak ada candaan, tidak ada obrolan, hanya ada keheningan. Bukan hanya Sheilla, Rubby yang menata makan malam ikut bingung. Bukan apa-apa, karena biasanya Mathew selalu ramai.Sadar akan posisi, Rubby memilih diam saja. Selesai menata dia kembali ke dapur. Kini di meja makan tersisa Mathew dengan Shilla. Tanpa ragu Sheilla melayangkan tatapannya pada Mathew."Kau kenapa? Sejak pulang tadi tidak bicara, bahkan tidak menjawab pertanyaanku," kata Sheilla. Setelah cukup lama berdiam, mulutnya mulai buka suara.Sekilas Mathew menatap. Hanya sekilas, karena detik selanjutnya dia kembali asik makan. Sejujurnya dia merasa percuma melakukan ini mengingat kapasitas otak istrinya. Tapi untuk bicara ... Mathew sedang enggan."Apa? Kenapa masih tidak jawab? Kau marah? Aku sudah izin, lalu apa lagi?"Terdengar hembusan napas, refleks Sheilla merasa was-was. Tatapan keduanya kini beradu tanpa ada yang mengeluarkan suara."Salahku apa?""Kau berbohong."***Makan malam memang sudah usai, akan tetapi Sheilla masih merenung memikirkan semuanya. Jika biasanya Sheilla enggan berfikir yang menjurus masa bodo, kali ini tidak. Bukan hanya itu, otak mungil Sheilla kini sedang menerka apa yang membuat dirinya dicap pembohong.Heningnya ruang tamu membuat desahan frustasi Sheilla terdengar. Kalau memang iya Mathew tahu kejadian tadi siang, tamat sudah riwayatnya.Setelah ini ... apa dia akan dikembalikan kepada sang ayah?! Tidak, tidak! Itu mimpi buruk! Pasca memantapkan keputusan memilih Mathew, hubungan Sheilla terhenti dengan Aledander—ayahnya.'Kalau begitu, mulai sdetik ini stop memanggil saya dengan sebutan Ayah. Ah, iya, semua fasilitas akan saya tarik. Silahkan ke luar, bawa sisa semua bajumu.'Kata-kata itu kembali terngiang bahkan tak jarang membuat Sheilla meringis. Sheilla kembali menghela napas sembari memijat keningnya yang berdenyut. Sejenak melupakan sang ayah, kini Sheilla kembali memikirkan Mathew. Saat sedang asik berfikir sekel
Walaupun mata masih berat untuk terbuka, akan tetapi rasa penasaran Sheilla teramat kuat. Bukan karena ada hal mistis, tetapi hembusan napas yang terasa di wajah. Perlahan kelopak mata Sheilla terbuka, sesaat dia terdiam tanpa bergerak sedikitpun. Tepat di depannya terpampang wajah damai milik Mathew.Bukan hanya hembusan napas, pelukan erat yang Sheilla rasakan membuatnya tak bisa bergerak bebas. Alih-alih berusaha melepaskan, Sheilla justru tersenyum sembari mengeratkan pelukannya.Hangat.Nyaman.Tenang.Tiga perasaan itu muncul serempak di dalam hati Sheilla. Untuk hari ini, bolehkah Sheilla merasa beruntung karena bertemu Mathew? Ah, entahlah, Sheilla sedang enggan berfikir.Bak anak bayi, Sheilla terus mendusel mencari kenyamanan di dada bidang milik sang suami. Tanpa Sheilla sadari, Sejak tadi Mathew sudah bangun. Akan tetapi, Mathew tetap diam tanpa mengeluarkan suara. Biarkan saja istrinya itu melakukan hal yang dia mau.Tubuh keduanya kembali merapat, disusul kelopak mata ya
"Aku bosan. Sungguh, aku bosan melihat wajahmu sepanjang hari! Apa tidak bisa sehari saja aku tidak melihat?""Lalu sekarang kau mengacuhkan aku? Untuk apa semua ini? Kupikir manusia sibuk sepertimu tak akan melakukan hal unfaedah seperti ini."'Kau sunggu berisik, Sheilla Watson!'Mendengar sahutan itu bibir Sheilla mengerucut. Walaupun keduanya terhalang jarak, tetapi tetap saja Sheilla merasa kesal. Bagaimana tidak kesal, sejak tadi Mathew menganggu dengan telepon dan juga video call. Sheilla yang terlanjur lelah pada akhirnya mengangkat panggilan itu.Saat sedang kesal-kesalnya, Sheilla teringat sesuatu. Hal itu membuat senyumnya merekah lebar. Sebelum memulai, Sheilla mengambil posisi duduk sembari menguncir rambut."Kau sudah tidak marah padaku? Oh, iya, mana bisa seorang Mathew sanggup mendiamkanku."'Jangan terlalu percaya diri.'Senyum Sheilla seketika berubah jadi tawa. Di sebrang sana Mathew memang sibuk menghadap laptop, tetapi bisa-bisanya tetap ingin video call. Dimana l
"Mama ... apa Mama sedih melihat berita akhir-akhir ini? Apa keputusanku salah, Mah?"Posisi Sheilla yang tengah rebahan di paha membuat Daisy merunduk agar bisa menatap sang putri. "Itu keputusan tepat, Sheill. Memang kamu bisa bertahan hidup dalam lingkaran toxic seumur hidup? Kamu berhak bahagia, dan mungkin Mathew yang akan memimpin. Percayalah, sebenarnya keputusan bercerai sudah sejak dulu dibahas."Sheilla terdiam, tatapannya masih terus tertuju pada Daisy. Tidak ada raut sedih, wanita itu justru tersenyum sambil mengusap pucuk kepalanya. Hal sederhana, tetapi mampu membuat hati Sheilla berdesir."Mama? Apa Mama ingat kapan terakhir kita sedekat ini? Kapan pula aku bisa leluasa melihat wajah Mama?""Yang pasti cukup lama, ya? Maaf, tapi sekarang bisa kita perbaiki. Kapanpun kamu butuh, Mana akan ada setiap saat," sahut Daisy gugup.Tidak ada jawaban apapun dari Sheilla, dia juga bisa melihat raut tidak enak di wajah sang mama. Sepertinya rasa bersalah akan masalalu tetap bersem
"Pilih apa yang ingin kau mau."Tunggu.Suara siapa itu?Tubuh Sheilla refleks berputar menghadap ke belakang. Kini tak jauh dari tempatnya berdiri, ada sesosok pria tak asing tengah tersenyum padanya. Kening Sheilla mengerut, dalam diamnya dia masih memastikan kebenarannya."Jayden?"Pria yang dipanggil Jayden itu tersenyum lebar. Sudah sangat lama, pada akhirnya dia mendengar namanya disebut kembali oleh sang mantan. Ada rasa sesal di dalam hati Jayden. Andai kejadian waktu itu tidak terjadi, mungkin saat ini Sheilla masih menjadi miliknya."Aku serius, kalau kamu mau salah satu tas itu, ambil saja, nanti aku yang bayar. Jangan negatif thinking, anggap saja sebagai permintaan maaf."Kening mulus Sheilla mengerut mendengar perkataan Jadyen. Apa katanya tadi? Sebagai permintaan maaf? Apa telinganya tidak salah mendengar?"Sheill?"Sheilla berdecak, tangannya menghempas tangan Jayden yang ingin menyentuhnya. Steven dan George pun melakukan hal sama, dengan gerakan cepat mereka menarik
"Apa kau tidak lelah bekerja? Tidak lelah menatap laptop?""Laptop yang membuatmu batal menemuiku sama mama di restoran?""Issh, jawab!"Konsentrasi Mathew pecah. Tatapan yang awalnya fokus pada laptop kini beralih pada sosok wanita di sampingnya. Wajahnya terlihat kesal, bibir mungilnya mengerucut persis anak SD marah karena tak dibelikan keinginannya."Kenapa menatapku seperti itu? Aku bosan didiamkan, lagipula untuk apa kau menyuruhku ke sini? Padahal setelah makan aku ingin pulang bersama mama. Kau itu pekerja, bukan siswa sekolahan, tuan Mathew Smith." Tangan Sheilla terulur, mencubit pelan hidung mancung milik suaminya itu.Berawal dari Daisy memberitahu Mathew akan menyusul, tapi tak lama suaminya itu menelepon menyuruh Sheilla untuk ke kantor. Sejujurnya Sheilla malas, dia pun agak risih menjadi bahan tatapan orang-orang di kantor ini. Tapi setelah mendapat ancaman, alhasil Sheilla datang diantar Daisy. Sedangkan wanita itu langsung kr kantor karena ada tamu mendadak."Bosan d
"Tunggu, Sheilla!"Entah itu panggilan keberapa, yang jelas bukan pertama kali telinga Sheilla dengar. Tanpa memperdulikan suaminya di belakang, Sheilla terus melangkah menuju pintu utama. Kurang dua langkah, tiba-tiba Sheilla memekik karena lengannya ditarik kasar dari belakang. Sontak hal itu membuat rasa kesal Sheilla semakin memuncak."Tidak wanita tadi, tidak kau, kenapa kalian menyebalkan?!""Aku berkali-kali memanggilmu, tetapi kau seolah tuli. Apa memang telingamu tuli?" balas Mathew tak kalah sengit.Mendengar itu bibir Sheilla mengerucut sembari mengehempas tamgan Mathew dari lengannya. Akan tetapi usaha Sheilla sia-sia, tenaga Mathew jauh lebih besar darinya. Sheilla diam, kedua matanya menyipit menatap wajah kesal sang suami. Aneh memang, kenapa pria itu ikut kesal?"Kau mau ke mana? Aku tidak mengizinkan kau untuk pergi, Sheilla. Ah, atau kau cemburu? Ayolah, itu tidak seperti yang kau lihat. Di–""Hah? Aku? Aku cemburu? Hahaha, kau terlalu pede, Mathew Smith!" potong She
"Mau ke mana?"Sheilla meringis, langkah kakinya seketika terhenti mendengar pertanyaan tak asing di telinganya. Seperkian detik kaget, detik betikutnya Sheilla berusaha menetralkan dirinya. Masih sambil memegang piring tubuhnya berputar."Mau ke mana?" tanya Mathew lagi. Sebelah alisnya terangkat, kedua tangannya bersedekap dada menatap wanita yang kini tengah berdiri.Masih hening, tak ada jawaban apapun dari Sheilla. Sambil menunggu jawaban sang istri Mathew meminum kopi miliknya. Keduanya memang sudah pulang sejak dua jam yang lalu bahkan sudah bersih-bersih dilanjutkan makan malam yang tertunda."Menurutmu aku mau ke mana? Apa aku terlihat ingin pergi ke mall? Pantai? Atau menghadiri pemakaman?"Jawaban di luar perkiraan itu sukses membuat Mathew menggeram kesal. Sebelum mulutnnya terbuka untuk menyahut, Sheilla sudah lebih dulu terkekeh geli. Dua langkah dia maju, tubuhnya sedikit merunduk lalu mengecup singkat kedua pipi Mathew. Sedangkan Mathew, pria itu masih diam menerima ke