Share

PELANGGAN BARU AKRAB DENGAN SUAMI

"Mas, ini kunci mobilnya. Aku izin pulang dulu, kebetulan ada kenalan mengajak barengan.”

“Kenalan pria?”

“Wanita Mas. Pelaku ritual juga. Udah selesai dan akan pulang. Aku harus buru-buru pulang, takut suamiku sudah sampe rumah. Maaf, Mas.”

“Iya, gak papa. Makasih, ya. Entar siang, aku hubungi.”

“Baik, Mas.”

Saimah pun melangkah pergi diiringi tatapan pria pelanggan. Wanita berkulit bersih ini terpaksa berpura-pura menuruni anak tangga untuk mengelabui pria barusan. Ia harus menunggu dulu sampai sang pria melaksanakan ritual persembahan dulu. Oleh karena Saimah tak kunjung datang calon pelanggan baru mencarinya ke bawah kembali.

“Mbak! Ngapain di situ?”

“Maaf, barusan liat teman. Saya kehilangan jejak, Pak.”

Akhirnya, mereka menapaki anak tangga menuju atas kembali. Saimah merasa bersyukur sang pria pelanggan telah khusyuk melakukan persembahan bersama kuncen. Wanita ini bersama pria berkepala plontos langsung menuju sendang untuk memulai ritual awal permohonan pada Sang Ratu.

Beruntung bagi mereka malam tersebut tak banyak yang ngalap berkah. Mereka dengan pasangan lain yang sama-sama bukan pasangan tak sah mandi bareng-bareng di sendang. Setelah sebelumnya mengganti pakaian mereka dengan kain putih yang dibebat ke tubuh. Kain ini telah disediakan oleh kuncen dengan menukar sejumlah uang bagi pelaku ritual.

Kini Saimah dengan pria berkepala plontos berendam dalam dinginnya air sendang sambil mengucapkan japa mantra permohonan. Dengan berbisik, Saimah menyebutkan sejumlah harga yang harus dibayar oleh pria berkepala plontos padanya. Sang pria pun segera mengangguk.

Ritual mandi telah selesai dilaksanakan, berdua keluar dari air dengan menggigil. Saimah dan pria plontos siap melakukan ritual utama, yaitu melakukan hubungan intim. Mereka mencari pohon untuk tempat khusus ritual tersebut yang banyak tumbuh di sekitar sendang.

Di bawah pohon yang tumbuh tak jauh dari sendang mereka melakukan ritual utama. Hanya beberapa menit saja, ritual tersebut selesai dilakukan. Kini mereka sembari membebat tubuh dengan kain kembali, duduk menunggu tanda dari Sang Ratu.

Dalam remang-remang cahaya obor yang ditempatkan mengelilingi sendang, sebuah benda mirip daun jati bersinar merah jatuh tepat di pangkuan pria berkepala plontos.

“Wah, kita berjodoh, Cantik. Lain waktu panggil saja, Pak Brahim. Namamu?”

“Saimah, Pak.”

“Ayo kita pulang! Keburu siang, bisa mengulang lagi.”

“Mari, Pak.”

Mereka berjalan ke arah penitipan barang sambil menyerahkan daun hasil ritual. Anak buah kuncen segera memberikan barang-barang meraka lalu mencatat nama keduanya. Mereka segera menuju tempat ganti pakaian. Beberapa menit, mereka pun keluar dan langsung ke tempat penitipan barang kembali.

Mulai saat ini, Saimah mempunyai kewajiban menjadi pasangan Pak Brahim hingga ritual terakhir seperti yang ia lakukan dengan pelanggan sebelumnya. Anak buah kuncen memberi sebuah catatan ritual dan keperluan yang harus disediakan untuk menyelesaikannya. Pak Brahim membayar harga dua kain dan catatan ritual kepada anak buah kuncen.

Setelahnya, mereka berjalan menuju arah tangga melewati pepohonan yang masih tersisa pasangan-pasangan yang sedang melakukan ritual maupun sudah selesai dan masih menunggu daun kode jatuh.

“Beruntung bagiku, mendapat pasangan cantik dan daun segera turun. Rumahmu jauh dari sini?”

“Ya, lumayan. Ada sejam dari sini, Pak.”

“Sama dong. Jangan-jangan kita sekota.”

“Bisa jadi, Pak.”

“Enak nih! Kalo kita sekota, gampang bikin janji,” ucap Pak Brahim sambil merangkul bahu Saimah lalu sambil berbisik, “Selain ritual boleh dong kita bermesraan?”

Saimah seketika melepas rangkulan Pak Brahim lalu menoleh ke arah pria tersebut.

“Pak, udah ada di persyaratan dan itu tak boleh dilanggar. Kalo tak ingin gagal.”

“Oh ya? Emang mereka tau?”

“Bukan mereka yang mengawasi kita, tapi pengawal gaib Sang Ratu.”

“Wah, gak bisa kita tipu.”

“Gak mungkin. Mereka bangsa gaib.”

“Kirain ... bisa di luar itu.”

“Bapak gak punya istri?”

“Punya, tapi ....”

“Maaf, Pak!”

“Kok, maaf? Emang tau kenapa?” tanya Pak Brahim sambil tertawa.

“Enggak tau.”

“Istrinya tak mau kuajak kembali jika aku masih banyak utang.”

“Emang istrinya ke mana?”

“Pulang ke rumah orang tua.”

“Bapak, sudah punya anak?”

“Ada satu. Anak angkat, yang kami asuh dari bayi dan sekarang ikut istriku.”

“Udah gede, Pak.”

“SD kelas 6.”

“Maaf, emang gak bisa punya anak sendiri?”

“Kami angkat anak, buat pancingan.”

Perjalanan mereka pun sampai di tempat parkir. Pak Brahim membukakan pintu untuk Saimah lalu baru dirinya naik. Tak disangka saat mobil akan meninggalkan tempat parkir dihadang oleh pelanggan Saimah yang baru saja selesai melaksanakan persembahan. Saimah segera menunduk sambil berpesan kepada pria berkepala plontos.

“Pak, tolong jangan sampe dia liat aku. Itu bekas pelangganku. Ritual telah selesai tapi dia masih mengajarku.”

“Tinggalkan aja!”

“Ritual terakhir belum dibayar,” ucap Saimah sambil menunduk dalam-dalam.”

“Tenang! Biar kuatasi. Dia mendekat ke arah sini. Pakai sarung buat menutupi badan,” ucap Pak Brahim sambil mengambil sarung dari ransel lalu segera menyodorkan ke Saimah.

Wanita ini segera memakai kain tersebut lalu menunduk semakin dalam. Pelanggan Saimah datang menghampiri dan kini berada tepat di sebelah kanan Pak Brahim berbatas pintu mobil dengan kaca sengaja diturunkan separuh.

“Maaf. Barusan ada wanita naik mobil bersama Bapak. Mirip pasangan saya.”

“Oh, yang barusan? Orang salah naik mobil. Dia akan barengan dengan temannya. Coba cari di mobil belakang.”

“Gitu, ya. Makasih, Pak. Permisi.”

Pria berkepala plontos ini buru-buru mengemudikan mobil lalu meninggalkan tempat parkir. Begitu mobil sampai jalan raya, ia langsung mengebut.

“Aman! Buruan keluar, kita udah jauh.”

“Akhirnya ... capek juga menunduk.”

Saimah segera melepas sarung lalu melihatnya dengan rapi dan mengulurkannya ke Pak Brahim.

“Makasih, Pak.”

“Kamu pakai aja, biar gak dingin.”

Saimah mengangguk lalu memakai sarung tersebut kembali. Perjalanan yang berkabut meski mentari mulai terbit, mobil terpaksa bergerak perlahan karena jarak pandang terbatas. Saimah yang kelelahan tampak menggigil karena dinginnya udara pegunungan. Tampak bibirnya bergetar serta raut wajah pucat dengan sorot mata redup. Pak Brahim meraba kening wanita di sebelahnya.

“Kamu demam. Kita ke puskesmas dulu. Kebetulan udah jam tujuh, sejam lagi buka.”

“Beli obat aja, Pak. Di puskesmas banyak yang mengenalku.”

“Yodah. Nanti beli obat di minimarket depan.”

Tak berapa lama, mobil telah berhenti di depan sebuah minimarket. Pak Brahim segera turun lalu melangkah menuju minimarket.

“Selamat pagi, Pak!”

“Eh, Mas Parman. Selamat pagi juga!”

“Dari mana, Pak?”

“Dari nengok sodara.”

“Oh, ya, Pak. Jadi kapan saya kerjain borongannya?”

“Harusnya pagi ini, Mas Parman mulai mengukur tembok. Tapi saya masih ada keperluan. Gimana kalo sore aja?”

“Boleh! Kebetulan semalam saya habis lembur. Ini barusan pulang, mampir toko buat beliin istri.”

“Yaudah. Mas Parman istirahat dulu. Nanti jam 5 sore, saya tunggu di rumah baru.”

“Baik, Pak. Saya permisi duluan.”

“Silakan!”

Parman menyalami Pak Brahim lalu menghampiri motor dan mengendarainya ke arah rumah. Sepeninggal tukang bangunan tersebut, pria berkepala plontos segera masuk toko.

TBC ....

•••¤•°•¤•••¤•°•¤•••

Jangan lupa ikuti, like dan beri komentar akun dan cerita agar tak ketinggalan bab terbaru.

Cerita lebih lengkap ada di: KBM APP: CITRA AYU BENING sudah sampai 50 bab

Untuk mempererat tali silaturahmi, silakan ikuti akun sosial media saya yang lain:

F*. Citra Rahayu Bening

I*. Citra Rahayu Bening

Wp. Nyi_Nyot2

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status