Share

Jatuh cinta sendiri

Alexa terjaga, dia melihat tubuhnya terbaring lemah dengan selang infus yang menancap di punggung tangan.

Matanya mengedar mengamati sekeliling dengan seksama. Dia bisa menebak di mana dirinya berada, tetapi siapa yang membawanya ke tempat ini.

Perlahan tubuhnya dipaksa untuk duduk, tetapi rasa nyeri dari punggung tangan membuatnya meringis pelan.

Kenapa rasanya sakit sekali? batinnya bertanya. Tangannya yang terpasang infus diangkat tinggi-tinggi. Di bawah cahaya lampu yang terang, dia bisa melihat ada bekas tusukan di beberapa titik.

Dengar helaan napas kasar dari bibirnya. Kepalanya menoleh, menatap jam dinding yang tergantung di atas sana. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, selama itukah dirinya tak sadarkan diri? Seingatnya dia berada di gang menuju tempat tinggalnya, dia melihat Lucas dan tiba-tiba sudah ada di sini.

Kepalanya mencari tas untuk mencari ponsel untuk menghubungi Emily, tetapi ketika menyadari letak tasnya yang ada di sofa, dia hanya bisa mendesah tertahan.

Tangan kanannya yang bebas mencoba menekan tombol untuk memanggil perawat. Dia ingin meminta bantuan untuk menghubungi Emily, karena hanya dia satu-satunya orang yang paling dekat dengannya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, dia menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Matanya terbelalak melihat siapa sosok yang datang dan berjalan dengan senyum mengembang ke arahnya.

“Kau sudah sadar, Alexa. Apa perlu aku memanggil dokter untukmu?” Pria itu bertanya dengan raut kebingungan.

“Luke, bagaimana kau bisa ada di sini?” tanya Alexa heran.

“Kau tidak mengingat rupanya,” sahut Lucas, mengambil segelas air yang telah diberikan sedotan kemudian mengarahkannya ke arah Alexa. “Minumlah dulu.”

Dengan hati-hati Lucas membantu Alexa bangun.

“Kau yang membawaku ke sini? Aku sama sekali tidak mengingatnya.”

“Jelas kau tak akan ingat Alexa. Kau tidak sadarkan diri,” sahut Lucas, terkekeh pelan.

Wajah Alexa merona malu. Dia menatap Lucas dengan lekat dan menyunggingkan senyum sungkan.

“Maaf jika aku sama sekali tak mengingatnya.”

Lucas mengangguk paham. “Bagaimana kondisimu? Dokter mengatakan kau harus dirawat untuk memantau perkembangannya.”

“Aku sudah lebih baik, hanya sedikit pusing saja.”

“Apa kau lapar? Aku tadi membeli makanan, jika kau mau aku akan menghangatkannya,” tawar Lucas. Sebelum bangun tadi dia memang sudah keluar membeli makanan di kantin rumah sakit untuk mengisi perutnya yang kelaparan.

Alexa menggeleng, dia tidak ingin makan apa pun. Lidahnya terasa begitu pahit.

“Luke, terima kasih sudah menolongku. Kau bisa pulang saja, aku sudah tidak apa-apa. Jangan merepotkan dirimu sendiri,” lirih Alexa. Sama sekali tidak berniat mengusir Lucas, hanya saja dia tidak mau merepotkan.

Lucas menatap Alexa tajam. Mendengar pengusiran tersebut membuat dirinya sedikit tersinggung.

“Apa kau tidak nyaman jika aku ada di sini?” Nada ucapannya sedikit menyuarakan protes.

Menyadari pemilihan kata yang salah, Alexa segera menggeleng. “Bukan begitu. Hanya saja aku tidak enak jika harus membuatmu terjebak di rumah sakit hanya untuk menunggu orang asing yang baru ditemui sekali.”

Kata ‘orang asing’ yang terlontar membuat Lucas mengeraskan rahang.

“Tidak masalah, aku tidak keberatan.”

“Tapi aku tidak mau merepotkan, Luke.”

“Siapa yang bilang merepotkan? Itu menurutmu sendiri, Alexa. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan,” sanggah Lucas.

Alexa diam tak lagi membantah.

“Lebih baik kau kabari keluargamu dulu, supaya mereka tidak khawatir, atau mungkin mereka akan datang dan aku bisa meninggalkanmu agar tidak sendirian.”

Alexa mencengkeram selimut dengan erat. Mendengar kata keluarga membuatnya ingin sekali menertawakan dirinya yang malang.

“Aku tidak memiliki keluarga, Luke. Tapi aku bisa menghubungi sahabatku,” jawab Alexa lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

Lucas menelengkan kepala untuk memastikan pendengarannya. “Apa?”

“Aku akan menghubungi sahabatku saja. Tolong ambilkan ponsel di dalam tasku,” sahut Alexa, enggan mengulangi kalimatnya.

Segera Lucas bangun dan mengambil tas yang tergeletak di sofa. Dia membawanya ke hadapan Alexa, rasanya tidak sopan jika harus membuka dan mengambilnya secara langsung.

Tangan kanannya merogoh ponsel yang ada di dalam tas. Setelah menemukannya dia mencoba mencari nomor ponsel sahabatnya, tetapi sial, baru saja menekan tombol panggil tiba-tiba ponselnya mati kehabisan daya.

“Oh shit!” umpatnya pelan.

Lucas terkekeh mendengar umpatan Alexa yang terdengar merdu di telinganya.

Gila?

Mungkin dia memang gila karena mendengar umpatan justru bagaikan lagu cinta di telinganya.

“Kenapa tertawa?” tanya Alexa kesal.

Lucas tak menjawab, dia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya ke arah Alexa. “Kau bisa pakai ponselku saja,” ucapnya, masih menggantungkan tangan karena wanita itu tak segera mengambilnya.

“Kenapa?”

Alexa tersadar, dia menggelengkan kepala. Saat Lucas mengulurkan ponselnya, dia bisa melihat benda pipih tersebut dari merk ternama yang hanya dimiliki oleh orang-orang kelas atas.

“Aku tidak ingat nomor ponselnya,” sahut Alexa meringis.

“Astaga!” Lucas kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. “Sudahlah, lebih baik kau istirahat saja.”

“Apa kau tidak punya charger?” Pertanyaan macam apa itu. Jelas saja dia tidak punya, Alexa. Apa kau tidak lihat bahwa ponselnya adalah benda mahal yang jelas memiliki jenis charger yang berbeda dari ponsel murahan milikmu, batinnya.

“Besok aku akan membelikannya. Sekarang tidurlah, tak usah pikirkan apa pun.”

Alexa terlihat diam sejenak. Dia menyadari bahwa saat ini berada di ruangan VIP yang biaya rawatnya semalam bisa menghabiskan seluruh gajinya.

Dia menoleh dan menatap Lucas, agak ragu ingin mengatakan keinginannya.

“Ada apa?” Lucas yang ditatap melontarkan tanya, sikap Alexa terlihat aneh.

“Apa aku bisa pindah ke ruangan biasa saja? Jangan di sini.”

Lucas sudah bisa menebak arah pembicaraan Alexa.

“Kau tidak perlu memikirkannya, Alexa.” Dia tahu bahwa Alexa memikirkan soal biaya yang akan ditanggung.

Tidak dipikir bagaimana. Semalam saja berada di sini, maka sebulan aku akan kelaparan karena tak bisa makan, bahkan yang paling tragis menjadi gelandangan karena tak bisa membayar sewa flat, batinnya.

“Semalam berada di sini, tubuhku memang sembuh tapi jantungku yang akan sakit, Luke.”

Lucas langsung menegakkan tubuhnya. Dia khawatir, apa Alexa memiliki penyakit jantung? batinnya bertanya.

“Aku akan memanggil dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada kondisimu.”

Alexa terlihat kesal karena Lucas salah paham dengan apa yang dimaksud.

“Jangan!” seru Alexa sedikit membentak. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan, Luke.”

Lucas menghentikan langkahnya. Dia hampir mencapai pintu, bahkan tangannya menggantung di udara.

“Penyakit jantung itu bukan hal sepele, Alexa. Kau harus mendapatkan penanganan yang lebih baik.”

Mau tak mau Alexa tertawa. Tangannya memanggil Lucas untuk mendekat. Saat pria itu sudah kembali duduk, dia masih tersenyum gemas.

“Aku tidak memiliki penyakit jantung, Luke. Tapi jika aku tetap di rawat di ruangan ini, maka setelah keluar aku benar-benar akan merasakannya. Kau tahu, biaya di rumah sakit dengan ruangan VIP bisa membuatku menghabiskan satu bulan gaji. Aku akan kelaparan karena tak bisa membeli makan dan diusir dari apartemen karena tak bisa membayarnya. Jadi gelandangan, kelaparan dan akhirnya merenggang nyawa karena sesak napas,” jelas Alexa dengan lancar.

Namun bagi Lucas, ucapan yang dilontarkan Alexa terdengar seperti keluhan. Dia tertegun, seburuk itukah kehidupan yang dijalani. Matanya menatap Alexa intens, tak ada kebohongan yang terlihat.

“Sudah, tak perlu memikirkannya. Lebih baik kau fokus dengan kondisimu saat ini.”

“Tapi—”

“Menurut saja, Alexa.”

Lucas menjawab dengan nada datar, matanya menatap tajam, auranya terlihat berbeda.

Dan sikap tersebut cukup membuat Alexa bungkam. 

To Be Continue 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status