Roman (sa) Arunika

Roman (sa) Arunika

Oleh:  Nayla Salmonella  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.9
28 Peringkat
33Bab
21.9KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Shanala Arunika adalah gadis dengan hidup yang mengerikan. Di balik senyum ramahnya tersimpan pikiran yang kusut dan rumit. Dia tak akrab dengan ibu kandungnya. Sang ibu membencinya, lebih sayang pada kakaknya. Dia dapat trauma fisik dan mental semenjak kecil. Dia mencoba baik-baik saja meski hatinya runtuh setelah diusir sang ibu di usia 18 tahun. Dia hidup menyambung napas dari hari ke hari. Saat usianya 19 tahun, dia berhasil menjadi pramugari maskapai nasional, Nusantara Airlines. Hidupnya mulai terasa indah dan bermakna. Bahkan, dia memiliki kekasih seorang pilot bernama Ganta. Namun, semua berubah saat orang-orang dari masa lalunya mulai muncul lagi. Sang kekasihpun mulai berubah. Sanggupkah dia tertabrak badai kedua kehidupannya? Seberapa kusut dan mengerikannya hidup Shanala? Bagaimana jati dirinya sampai sang ibu membenci Nala mati-matian? Adakah seseorang yang menolongnya? Adakah pahlawan yang akan mengentaskan kesedihannya?

Lihat lebih banyak
Roman (sa) Arunika Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
yenyen
love love banget sooo romantic
2022-09-12 13:20:13
0
user avatar
Ummi Khai
bagus ceritanya. awal bab bener² menguras emosi pembaca, tengah² bab mulai bucin & akhir bab pun menguras emosi kembali. bahasanya apik. thanks author utk karyanya ...️...️
2022-09-08 17:35:32
0
user avatar
Febe Fransisca
Cerita yg menunjukkan arti menerima seseorang dgn tulus.. Sukses terus Thor..
2022-09-08 15:39:50
0
user avatar
Tyas Aditya
Suka bngeeeetttt
2022-07-04 11:37:52
0
user avatar
Siti Fatimahhh39
Menyentuh dan menampilkan sisi lain dari manusia. Menunjukkan bahwa kesehatan mental itu juga perlu dipupuk agar tidak layu. Banyak pelajaran yg dpat diambil dari kisah ini.
2022-04-24 05:55:42
0
default avatar
Hafiani Lilyy
Udh ngikutin kk dari dluu, jrg komen di akun sebelh tp buat kali ini aku relaa bgt beli koin buat bacaa ceritanya disini, cintaa banget sama semua cerita2 kk ...️...️
2021-10-19 11:13:07
0
user avatar
h-d
..............................
2021-10-19 10:04:23
0
user avatar
ay. rass
salah satu story ter-epic yang ku baca......
2021-08-01 10:48:24
0
user avatar
Anais Thorpe
bagus banget ini.. beda dari yg lain. latarbelakang yg beda dr yang lainnya. top bgt.
2021-07-25 00:28:31
0
user avatar
Febby N Indah Sari
Terharu banget sama kisahnya Shanala🥰🥰
2021-07-23 12:37:55
1
user avatar
Fiki Wulandari
isi cerita nya bagus,
2021-07-17 16:30:25
0
user avatar
Re Fa Ya
ceritanya bagus sedih di awal bahagia di akhi🥰🥰🥰
2021-07-17 01:53:58
1
user avatar
Norhasbi Pahang
sedih.. tp happy ending..
2021-07-13 14:01:04
1
user avatar
Globalmas
terlalu naif ceritanya
2021-07-09 00:23:13
0
user avatar
ZhyModeong
apakah ini kisah nyata !?
2021-07-07 22:11:21
0
  • 1
  • 2
33 Bab
Episode 1 Tahun-tahun Penuh Kesakitan
Januari 2017             Hujan tak pernah jemu mengguyur tanah Jakarta sejak pagi. Menambah dingin hawa di sekitarku. Sesekali kuelus kening yang lebam karena sebuah tonjokan, terasa sakit dan ngilu. Saat aku melihatnya di kaca, ada bercak kemerahan di sana. Pasti bekas lemparan botol kaca parfum. Namun, lagi-lagi aku diam dan menyerah. Sekarang bahkan hanya bisa menatap bulir air di kaca jendela kamar dengan perasaan kosong. Terasa sudah mati rasa, karena luka ini bukan sekali dua kali mampir. Berkali-kali sudah.             Kutundukkan kepala ke atas meja belajar, terasa berat dan letih. Sebab baru menangis hampir setengah jam karena luka batin. Ditambah pukulan yang cukup keras tadi membuatku kesakitan. Sesekali menyesap kenyataan bahwa aku baru saja mengalami kesakitan lagi dari orang yang sama. Darinya, ibu kandungku sendiri. Brak!
Baca selengkapnya
Episode 2 Menjahit Mimpi
“Bu … bukain pintunya … Nala takut petir,” rintihku sambil mengetuki kaca jendela.             Aku sedang berada di luar rumah. Memandang ke dalam rumah melalui kaca jendela kamar. Suara tangisku kalah dengan suara air hujan yang menimpa genting. Kemudian petir menggelegar dan berhasil menakutiku lebih dalam. Lagi, kuketuk kaca lagi. Berharap ibu luluh. “Bu … tolong, Bu,” pintaku kelu sambil memandang dress bunga-bunga di badan – baju kesukaan saat aku masih duduk di kelas 1 SD. Berhasil. Ibu mendatangiku dengan langkah kuat. Meski wajahnya masih penuh marah, tapi kuyakin akan dibukakan pintu dan diizinkan masuk. Mana rela mendengar tangisan ketakutanku. Namun, ternyata …. “Diam di situ kamu! Renungi kesalahanmu!” bentak Ibu sambil memelototiku dari balik kaca. Kupandang wajah Ibu yang cantik dengan memelas. “Takut, Bu … bukain! Nala janji nggak nakal lagi. Nala nggak akan minta kuenya Mba
Baca selengkapnya
Episode 3 Dunia Baru Shanala
Sebuah ruang gelap terfokus pada nyala lampu gantung yang terang, aku sedang melihat seorang anak perempuan berkuncir pita merah sedang duduk di depan ibunya. Wajah si ibu tidak ramah, cenderung kejam dengan satu alis yang naik dan mulut mengerucut tajam. Padahal wajah si ibu bisa berubah sehangat sup ayam yang dia makan saat menghadapi gadis berambut pendek di sebelahnya. Bahkan si ibu menyuapi gadis berambut pendek itu dengan wajah penuh syukur.             Kontras saat matanya kembali berkontak dengan si gadis berkuncir pita merah, langsung mencuram layaknya tebing.             Ibu itu tampak benci gadis berkuncir merah, sayang pada gadis berambut pendek. Si ibu selalu membedakan keduanya berdasarkan standar absurd buatan dirinya sendiri. Entah itu apa, yang jelas si ibu tak ada baik-baiknya pada gadis berkuncir pita merah.
Baca selengkapnya
Episode 4 Hari yang Buruk
Dulu, setiap hari adalah hari yang buruk bagiku. Kenapa, sebab selalu menangis saat hari itu. Awalnya aku tidak mengerti buruk itu apa, sampai pada rasa sakit di badan yang memancing tangisku. Baru kusadari itulah rasa sakit, rasanya buruk sekali hingga membuatku takut. Bahkan, untuk tidur saja aku takut – ibu nanti datang ke mimpiku. Setiap kali bapak pergi bekerja, kejadian buruk itu langsung dimulai. Ibu menjadi sosok yang sangat berbeda bila hanya ada aku dan mbak Vanya. Baru saja aku senang bermain boneka, datang ibu yang marah karena aku terlalu berisik. Baru saja aku senang bermain masak-masakan, datang ibu yang marah dan membuang semua mainanku. Tak lupa beberapa buah cubitan mendarat di kulitku. Berakhir dengan aku yang menangis sambil menutup mulut biar ibu tidak makin terganggu. Ibu sangat suka melihatku menangis, mungkin menurutnya lucu.             Namun, semenjak mengambil keputusan besar di
Baca selengkapnya
Episode 5 Cerita Masa Lalu
  “Seorang anak tetap suci, Shana. Sekalipun ibumu membenci kehadiranmu, Bapak sangat menyayangimu seperti Vanya.”             Suara bapak terngiang lagi di benakku. Berulang-ulang hingga sepuluh kali lebih. Kusadari bahwa bapak adalah malaikat yang tak bersayap, lebih layak disebut seperti itu. Sehebat itu hatinya bisa menerima anak hasil zina yakni aku. Bahkan, berapa kali bapak pasang badan untukku, membelaku di depan ibu. Bahkan, bapak pergi setelah membelaku.             Wajar tak mau hidup dengan ibu. Bisa memaafkan ibu saja sudah luar biasa.             Dan tadi aku telah menyakiti bapak untuk kesekian kalinya. Aku pergi meninggalkannya saat bapak masih ingin memelukku. Sebab aku terlalu hina untuk disentuh bapak. Aku hanyalah penghancur rumah tangganya. Sebab karena aku rumah
Baca selengkapnya
Episode 6 Roman Arunika
Bu Rasmina tertawa pongah sambil menatap wajah kosong Nala. Ibu paruh baya itu bahkan tak menurunkan pandangan sombongnya sambil melipat tangan di depan ruangan crew centre. Entah apa alasannya cepat-cepat datang ke tempat kerja Shanala setelah mendapat info dari mantan suaminya. Mungkin untuk sekedar menengok putri bungsunya, atau hanya ingin menghancurkan kehidupan si bungsu yang tak pernah indah. “Jangan di sini!” larang Nala dingin sambil berjalan keluar. Niatnya mengusir sang ibu dari depan ruang crew centre agar mereka leluasa berdebat atau sekedar melepas emosi. Nala tak mau makin merusak namanya di tempat itu. Meski masih tinggi hati, bu Rasmina mengekori Nala. Mereka sampai di sebuah kafe bandara yang sepi dan sedikit temaram. Sepertinya suasana cocok untuk berdebat panas melepas “rindu pahit”. “Mau apa, Bu?” Sapaan Shanala lebih kepada sebuah sindiran tajam. Apalagi mata sembabnya seolah badai yang siap menerjang siapa saja. Bu Rasmina berde
Baca selengkapnya
Episode 7 Jiwa yang Kesepian
            Lelaki bertubuh tinggi berkulit putih itu terlihat gusar. Berulang-ulang dia mengetukkan sepatu PDL hitam tebalnya ke lantai sambil menggigiti jemari. Kadang dia melongok pada arloji di tangan kirinya dan kembali mondar-mandir dengan bingung di depan sebuah ruang. Hatinya berada di ambang cemas dan gusar karena memikirkan nasib seseorang. Kava tak bisa tenang, sangat teramat cemas dengan sesekali melongok ke arah pintu ruang crew centre Sentani Airport. Sesekali menggigit bibirnya karena pintu itu tak kunjung terbuka. Dia memikirkan nasib Shanala yang tadi ditandu keluar dari lavatory pesawat dalam kondisi pingsan, lalu dibawa ke ruang itu. Kava cemas berbalut rasa sesal. Penyesalannya cuma satu, kenapa dia tadi tak menolong gadis itu. Andai saja dia lebih berani melangkah tadi. Entah bagaimana cerita bisa berubah secepat ini. Awalnya rasa di hati cuma penasaran karena kecantikan Nala dan seny
Baca selengkapnya
Episode 8 Maukah Kau Menjabat Tanganku?
Episode 8 Maukah Kau Menjabat Tanganku?             10 Maret 2019, aku sedang menatap lurus pemandangan di depan mata. Duduk sendirian berteman sepi meski di tengah keramaian pasien rumah sakit. Rumah sakit ini berbatasan dengan Danau Sentani yang teduh nan hijau. Danau tenang itu seperti tak mampu menghapus gulanaku. Tidak ada yang membuat anganku tertarik meski angin sejuk menerpa kulit putih ini. Ketenangan air danau itu juga tak bisa menenangkan gejolak ombak hatiku. Tak ada yang menarik selain pikiranku yang berkecamuk di benak. Pikiran itu melayang ke wajah seseorang yang membuatku mulai tak bisa tidur. Dia teramat baik untuk dipandang. Kata tampan sudah cukup mewakili parasnya saat tersenyum padaku. Kata santun mungkin sudah jadi nama tengahnya saat bicara denganku. Siapakah dia, yang tiba-tiba datang dan menyelamatkanku? Matanya sipit dengan iris hitam legam, sorot matanya tajam s
Baca selengkapnya
Episode 9 Pelukan Pertama di Ujung Dermaga
            Di sebuah ruang berlatar hitam, ada sebuah lampu yang menyala terang. Kulihat ada seorang ibu berdaster bunga-bunga nan cantik sedang membelai seorang anak sekolah berseragam merah putih. Wajahnya terlihat penuh sayang dan kasih, sedangkan si anak menimang piala di tangannya dengan riang.            Kemudian dari sudut yang lain, ada anak berbaju daster merah muda nan lusuh sedang memegang bunga mawar merah yang berantakan. Maklum itu bunga tangan buatannya sendiri. Namun, maknanya tulus untuk diberi kepada sang ibu yang tak memperhatikannya sama sekali. Memang kentara sekali kalau si anak berdaster lusuh dipinggirkan, diabaikan. Entah kenapa hatiku sakit saat melihat pemandangan di depan ini.            Ingin kuhentikan, kualihkan pada adegan lain. Namun, semua berada di luar
Baca selengkapnya
Episode 10 24 Jam untuk Selamanya?
             Sesekali kulirik tangan jenjang berotot itu, hati ini berdebar lagi. Tangan besar yang hangat dan kuat membawa setir pesawat tempur itu bisa membuatku terpukau. Tangan orang dari profesi yang teramat kukagumi, mungkin profesi dari orang yang pernah menyakitiku. Tangan tegas itu baru saja memelukku dan sekarang kami berjalan beriringan.            Captain Kava mengajakku berteduh di sebuah hanoi di depan rumah bernuansa cokelat. Sebab hawa juga mulai panas menusuk kulit. Di bawah rumah tradisional ini kami mungkin sekedar duduk berdua. Entah, aku tak terlalu berani menduga yang lebih dari itu. Dia masuk terlalu jauh dalam hidupku. Terlibat pada kerumitan dan kekusutan seorang Shanala. Hanya karena dalih peduli.“Duduklah, Mbak! Saya mau panggil teman dulu,” suruhnya sambil menatapku lekat. Dia kemudian menunjuk seb
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status