Benih Siapa di Rahim Istriku?

Benih Siapa di Rahim Istriku?

By:  Kayla Afrizkha Suratno  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.1
9 ratings
62Chapters
89.7Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Bagaimana jika istri yang baru kalian nikahi selama enam minggu, ternyata sudah hamil selama sepuluh minggu? Apa yang akan kalian lakukan kepadanya? Menceraikannyakah atau bertahan dan menerima benih orang lain yang ada di dalam istri kalian?

View More
Benih Siapa di Rahim Istriku? Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Nurin Kafisah Tonkyy
bagus ceritanya
2024-01-09 22:43:36
0
user avatar
Parents Utovia
bagus ceritanya
2023-07-27 17:20:02
0
default avatar
aprilia prapaska papa
malas ih harus byar pake koin mana gk ada koin lagii
2023-06-11 00:23:46
1
user avatar
Umah Hafizd
seru banget
2022-06-08 00:02:13
0
default avatar
CoconutzD
mana apdetnya?
2022-06-02 00:06:48
1
user avatar
Meina Wati
ditunggu lanjutannya... e27 dll
2022-04-29 23:26:42
1
default avatar
EMAIL BOWO
GOOD NOVEL
2022-04-18 07:05:18
1
user avatar
Ida Saidah
...️...️...️...️...️...️
2022-04-02 23:52:44
3
user avatar
Debi Riadi
koin nya mahal banget
2022-04-03 01:11:44
0
62 Chapters
Part 1
"Mas, aku hamil!" ucap Rania dengan wajah berbinar sambil menyodorkan benda pipih panjang bergaris dua. "Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah," sahutku seraya mengelus perut datarnya kemudian menciuminya sambil tidak henti-hentinya mengucap hamdalah. Namaku Azis Syafi'i. Aku dan Rania sudah menikah sekitar enam mingguan yang lalu. Kabar kehamilan Rania istriku, menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Sebab, kami memang sengaja tidak menunda-nunda memiliki momongan. Aku ingin cepat memilik anak sebagai penguat ikatan suci pernikahan kami. *** "Rania Hamil?" Ibu mengerutkan dahi ketika kami mengabarinya. "Iya, Bu. Sebentar lagi mimpi Ibu untuk menimang cucu akan segera terkabul!" Aku mengulas senyum sambil menggenggam jemari Rania. "Kok cepet banget, Zis? Mbakmu saja yang sudah menikah selama satu tahun belum ada tanda-tanda kalau dia sudah
Read more
Part 2
POV Rania. Membuka lemari pakaian, mengeluarkan beberapa lembar baju yang aku punya dan memasukkannya ke dalam tas. Aku akan pergi dari rumah ini, sebab Mas Azis sudah menjatuhkan talak untukku. Meskipun aku tahu, jika seorang lelaki telah menjatuhkan talak satu kepada istrinya, sang istri belum diperbolehkan pulang ke rumah orang tuanya, sebab masih ada kesempatan untuk rujuk kembali.  Tapi, untuk apa aku harus bertahan dengan laki-laki yang sudah tidak mempercayaiku, bahkan telah menuduhku telah berzina. Sungguh keji fitnah yang telah dia tuduhkan kepadaku.   "Aku pulang sekarang, Mas. Terima kasih sudah mau menjadi pendamping hidupku selama enam pekan!" pamitku seraya menahan air mata, agar tidak luruh di depan Mas Azis. Hening. Mas Azis menatap lurus ke tembok tanpa mau menoleh. Ya Allah. Sakit sekali melihat sikapnya saat ini. Terlalu hinakah aku di mata pria
Read more
Part 3
"Astaghfirullahaladzim, Bunda!" pekikku melihat wanita yang telah melahirkanku jatuh pingsan. Mas Azis segera membopong tubuh Bunda, membawanya masuk ke dalam mobil dan mengangtarku pulang ke rumah. "Loh, ada apa ini. Kenapa Bunda kamu pingsan?" tanya Ayah ketika kami sampai di rumah. Aku hanya bisa menelan ludah, tidak mampu menjawab pertanyaan Ayah. Aku sungguh takut karena pasti Ayah juga akan syok mendengar kabar kehamilanku yang sudah menginjak minggu ke sepuluh, disaat pernikahanku baru mulai memasuki minggu ke enam. "Begini ya, Mas Zubair, tadi saya nggak sengaja ketemu sama Ambar dan Rania di jalan. Saya langsung menghampiri mereka dan meminta mahar anak saya dikembalikan. Eh, Ambar malah pingsan!" ucap Ibu tanpa basa-basi. "Loh, kenapa Mbak Sulis meminta kami mengembalikan mahar yang sudah Nak Azis berikan. Bukankah itu sudah menjadi kewajiban seorang lelaki saat mempers
Read more
Part 4
Ayah menepikan mobil di depan rumah sakit ibu dan anak, lalu menyuruhku beserta Bunda turun.  Jujur, aku sangat takut jika hasil pemeriksaan di rumah sakit ini juga sama seperti saat aku cek kandungan di klinik bidan Hapsari. Bismillah... Semoga saja hasilnya berbeda, sebab aku merasa tidak pernah melakukan perbuatan hina seperti yang keluarga Mas Azis tuduhkan. "Nggak usah takut, Ran. Ada Bunda di samping kamu." Wanita berhijab panjang menjuntai itu mengusap tanganku, seolah mengerti kegundahan yang sedang mendera hati sang putri. Aku mengangguk yakin. Setelah mengisi data pasien, memeriksa tekanan darah serta menimbang berat badan. Aku duduk di kursi tunggu sambil menyandarkan kepala yang terasa berat di pundak Bunda. Hatiku mencelos melihat para ibu hamil yang terlihat begitu disayangkan oleh suami-suami mereka. Tidak sepertiku yang malah dibuang dala
Read more
Part 5
"Ikut ke mana, Mas?" tanyaku sambil menundukkan pandangan, tidak mau terpesona dengan ketampanan wajah Mas Azis. Bunda duduk di teras, membiarkan kami bicara berdua, tidak mau mencampuri masalah rumah tangga anaknya.  "Ke dokter kandungan, Ran. Aku penasaran, ingin tahu apakah kamu benar-benar hamil setelah menikah denganku, ataukah...." Dia menggantung kalimat, akan tetapi aku faham dengan maksud perkataannya. "Tidak perlu, Mas. Toh, kamu sudah tidak percaya sama aku. Kamu sudah tidak ada urusan lagi sama aku dan calon bayi aku. Kamu tidak usah repot-repot mengeluarkan uang untuk kami!" tolakku kesal. "Ran, ayolah. Kamu jangan keras kepala. Aku masih suami kamu, loh. Jadi kamu harus menuruti ucapanku." Mas Azis menggengam jemariku. "Kamu sudah mentalakku, Mas. Kamu juga sudah mengusir aku dari rumah. Kalau kamu masih punya hati serta perasaan, silakan pergi dari rumah ini.
Read more
Part 6
Sekilas aku masih mendengar suara kepanikan ayah serta Bunda. Merasa bahwa tubuh ini sedang digotong dan dibawa menjauh dari rumah. Mungkin kedua orang tuaku membawaku ke rumah sakit. Ya Allah. Lindungi aku dan juga janin yang ada di dalam perut. Jangan ambil dia. Calon bayi ini sumber kekuatanku, walaupun tidak diakui oleh Mas Azis. Beberapa menit setelah menempuh perjalanan, aku merasa tubuhku kembali diangkat, direbahkan diatas brankar karena aku yakin saat ini sudah berada di rumah sakit, sebab aku bisa mencium aroma khas obat-obatan. *** Pelan-pelan membuka mata, merasa ngilu di punggung tangan sebelah kanan karena ada jarum yang menancap di pembuluh darah vena, berserta selang yang terhubung dengan cairan intravena yang menggantung di standar infus. "Kamu sudah bangun, Ran?" Bunda mengulas senyum sembari membelai lembut kepalaku yang terbungkus hijab. Wajah perempuan berusia empat puluh lima tahun itu terlihat sendu. Matanya basah serta memerah. Bunda pasti merasa sedih me
Read more
Part 7
Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari kedua sudut netra.Ya Illahi Rabbi. Ternyata Rania benar-benar mengandung anakku, dan sekarang Engkau telah mengambil kembali amanah yang telah Kau berikan kepadaku.Ampuni aku ya Allah....Masuk ke dalam mobil, duduk bersandar sambil menangis meratapi kepergian calon anakku. "Ran, maafin Mas. Maafkan suamimu ini karena sudah tidak percaya sama kamu!" Menangis tersedu sambil mencengkram erat kemudi. Semua ini salahku. Rania kehilangan bayinya karena keegoisanku. Aku lembek, tidak berani membantah Ibu meskipun tahu Rania tidak bersalah. Kenapa juga kemarin harus mempercayai ucapan Fika dan Mbak Zalfa. Ya Allah. Harusnya aku lebih percaya kepada istriku. Aku seorang kepala rumah tangga, yang mengatur serta memutuskan segalanya. Bukan diatur juga menuruti semua perkataan Ibu juga saudariku. Aku kembali keluar dari mobil. Mengetuk pintu pagar rumah Mbak Mela, menanyakan di mana Rania di rawat. "Wah, kurang tahu ya, Mas. Soaln
Read more
Part 8
"Sudah, Azis. Sekarang lebih baik kamu pulang. Kamu urus saja Ibu kamu. Jangan urusi hidup putri saya lagi!" usir Ayah dengan wajah memerah menahan amarah. "Ayah, saya mohon!" Terus saja mengiba. "Azis. Jangan buat saya bertambah marah!" Wajah Ayah kian memerah, dengan rahang mengeras dan gigi menggertak. Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu lalu melangkah pergi meninggalkanku yang masih duduk terpekur di lantai depan rumahnya, tidak perduli dengan permohonan serta tangisanku. Mungkin hatinya sudah tertutup oleh rasa benci yang mengelusup ke dasar hatinya. Ponsel dalam genggamanku terus saja berdering. Mbak Zalfa memanggil. Aku mengabaikannya karena sedang merasa kesal kepada dia dan juga Ibu. Lunglai aku berjalan, masuk ke dalam mobil menyenderkan kepala sambil menangis.  Ya Allah, Rania. Maafkan suamimu yang dulu tidak mau mempercayai kamu. J
Read more
Part 9
Dua orang berseragam hitam-hitam keluar dari dalam rumah pria paruh baya itu dan menarik tubuh ini. Meninju perut dan rahangku hingga terasa nyeri hingga ke ulu hati. "Jangan macam-macam sama bos saya!" ucap salah satu bodyguard lelaki tua tersebut. Lagi, dia mendaratkan tinju di perut hingga aku terbatuk dan hampir muntah. "Bos saya sudah membayar Nona Fika mahal. Sudah booking perempuan itu untuk menemani dia selama satu minggu. Jadi, untuk saat ini Nona Fika masih menjadi haknya si bos. Kalau Anda mau berkencan dengan Nona Fika, Anda harus mengantri!" Booking? Apa selama ini adikku menjadi bookingan om-om? Ya Tuhan. Apa kata orang jika mereka tahu selama ini Rafika bekerja sebagai wanita penghibur. Sambil memegangi perut yang terasa sakit, kutarik Rafika masuk ke dalam mobil. Ibu harus tahu apa yang dilakukan oleh putri kesayangannya s
Read more
Part 10
Mengetuk kamar Ibu, niat hati ingin menanyakan masalah uangku yang hilang. Bukannya menuduh Ibu, akan tetapi hanya dia yang biasa keluar masuk ke dalam kamarku. "Bu!" Tok! Tok! Tok! Kuketuk sekali lagi. Namun, Ibu tidak juga menyahut. Apa iya jam segini dia sudah tidur? Sepertinya tidak mungkin. Sebab Ibu selalu tidur hingga larut malam. Pun dengan Mbak Zalfa. Mereka berdua selalu menonton acara televisi hingga tengah malam. "Mbak Zalfa!" Menarik tangan kakakku ketika dia lewat dan seperti sengaja menghindar. "Ada apa, Zis?" tanyanya dengan mimik aneh. Seperti maling ketahuan mencuri. "Mbak lihat uang aku yang di laci nggak?" tanyaku tanpa basa-basi.  "Enggak. Mbak nggak tahu. Mbak juga nggak ngambil uang kamu yang sepuluh juta!"  Alisku bertaut mendengar jawaban Mbak Zalfa. Dari mana dia tahu kalau uang yang hilang berjumlah se
Read more
DMCA.com Protection Status