WANITA BAYARAN

WANITA BAYARAN

Oleh:  Mella Selfiana  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.7
3 Peringkat
19Bab
4.8KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Perjuangan seorang wanita singel parents untuk membiayai pengobatan putra semata wayangnya yang membuatnya nekad menjadi seorang wanita bayaran dan takdir mempertemukannya dengan seorang laki-laki yang hendak memakai jasanya.

Lihat lebih banyak
WANITA BAYARAN Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Lusiana Nugrahawati
kok ceritanya gak ada lagi ... padahal seru banget
2023-02-16 23:11:50
0
user avatar
Suroto Magelang
mantap ceritanya ...
2022-09-20 20:03:43
0
user avatar
Agus Mulyadi
ko gak berlanjut sih..padahal seru ceritanya
2023-02-01 00:42:37
0
19 Bab
Awal Pertemuan
"Bagaimana, Ras? Dokter menyarankan anakmu untuk operasi." Dengan berurai air mata Ibu menyongsongku ke pintu rumah sakit, wajah tuanya sembab karena air mata yang tak kunjung berhenti. Namaku Laras, seorang ibu muda berusia dua puluh sembilan tahun, dengan satu orang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Ya, sudah beberapa bulan terakhir ini aku, Ibu dan Langit--anak semata wayangku tinggal di sini, di sebuah rumah sakit, karena Langit divonis menderita jantung bocor. Aku tak mengerti, kenapa di usianya yang baru tujuh tahun, menderita penyakit menakutkan seperti itu.  Badanku terasa lemas, tulang belulang rasanya tak berdaya, beberapa hari yang lalu dokter juga sudah bicara denganku mengenai biaya untuk operasi Langit, jumlahnya sangat fantastis. Apalagi bagiku yang hanya seorang pelayan kafe. Lantas ke mana ayahnya Langit? Entahlah, aku pun tak tahu di mana keberadaannya sekarang. Aku sudah tak
Baca selengkapnya
Tugas Pertama
Dengan canggung aku menyuap sedikit demi sedikit nasi goreng yang sudah dia siapkan. Benar kata laki-laki itu, kalau setelah ini aku pasti butuh energi. Bukan untuk 'menghadapinya', tetapi untuk menghadapi kenyataan. "Laras? Benar itu namamu?" Suaranya mengejutkanku hingga aku tersedak. Hampir saja aku meraih gelas, Bara sudah terlebih dahulu mengulurkannya padaku. "Te-terima kasih," ucapku disela-sela batuk yang tak kunjung berhenti. "Iya, Pak, nama saya Laras," sahutku setelah lebih tenang. "Pak? Sudah saya katakan, saya belum setua itu untuk kau panggil PAK!" tegasnya, matanya menyipit memandangku. "Ma-maaf, mak-maksud saya, Bara." Bara menggeser piringnya yang sudah kosong ke tengah meja. "Katakan, berapa yang kau butuhkan!" Sejenak aku berpikir, jika diukur dengan uang tentu berapa pun itu tak akan bisa membeli h
Baca selengkapnya
Sandiwara
Mobil melaju membelah jalanan pusat kota yang kebetulan tidak terlalu ramai.MobilHening ... hanya musik klasik yang mengiringi perjalanan kami."Ke mana laki-laki ini akan membawaku?" gumamku. Memang aku sudah tidak sabaran, tapi bukan seperti apa yang ada dalam pikiran Bara. Yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana caranya segera mendapatkan uang, supaya Langit bisa segera diberi tindakan.Setelah hampir setengah jam perjalanan, Bara menepikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah berpagar tinggi. Setelah membunyikan klakson, pagar terbuka, tampak seorang laki-laki berseragam safari mendorongnya, agar mobil Bara bisa masuk.Mataku tak berkedip melihat hal menakjubkan yang berada di balik pagar tinggi itu. Sebuah bangunan dua tingkat yang berdiri kokoh dan sangat mewah sekali, sebelum sampai ke rumah tersebut, kami melewati sebuah taman dengan lampu kelap-kelip yang menghiasinya.  Aku yakin jika melihatnya di siang hari pasti akan lebih indah.
Baca selengkapnya
Ceroboh
Sedetik, dua detik, tiga detik ... dan entah sudah berapa detik benda kenyal itu menempel di bibirku. Napasku terasa sesak dibuatnya. Bara menarik dirinya dan mengusap lembut bibirku. Sedangkan aku masih belum berani membuka mata. Malu sekali rasanya. Aku yakin sekarang wajahku sudah memerah, seketika tubuhku juga terasa hangat. "Cukup? Apa kamu melihat bukti yang lain?" tantang Bara. Perlahan aku membuka mata. Aku melihat ekspresi Sesil yang entahlah. Matanya melotot dan mulutnya ternganga. Mungkin dia tak kalah shock-nya denganku. Aku berusaha bersikap santai, menutupi kegugupan dan rasa tak menentu. "Ayo, Sayang, kita ke depan." Bara kembali merangkulku. Kami meninggalkan Sesil yang masih mematung di tempatnya berdiri. Tak lama kemudian Fahri menyusul Sesil ke belakang. Seperti dua orang yang sedang bermusuhan, baik Bara maupun Fahri tak saling bertegur sapa saat berpapasan.&n
Baca selengkapnya
Salah Tingkah
Mengesampingkan rasa maluku pada Bara, ada suatu kebahagiaan yang menyeruak di hati, mengingat sebentar lagi anakku--Langit akan segera dioperasi. Semoga Tuhan memberikan kesembuhan pada putra semata wayangku itu. Senyuman tak pernah henti membingkai wajahku selama perjalanan kembali menuju ke rumah sakit. Tak sabar rasanya untuk segera membagi kebahagiaan ini dengan Ibu, juga Langit. Bulan sabit di langit tampak tersenyum, seakan turut merasakan kebahagiaanku, pun dengan hamparan bintang yang berlomba mengedipkan sinarnya seperti sedang menggodaku. Seumur hidup, belum pernah aku merasakan kebahagiaan yang teramat seperti ini. Kutepikan motor sejenak ketika melewati penjual pecel lele, memesan dua porsi untuk kumakan bersama Ibu dan Langit. Selembar uang seratus ribuan yang sengaja kusisihkan akhirnya kubelanjakan juga. Langit pasti senang sekali jika aku datang dengan membawakan makanan favoritnya.
Baca selengkapnya
Anggap Aku Seperti Kekasihmu!
Bergegas kudorong tubuhnya. Entah dapat kekuatan dari mana, sehingga dengan sekali dorong tubuh Bara terpental dan kembali terjungkal di lantai."Aduh ...." Bara mengerang.Tika dan Miranda segera membantu Bara berdiri."Ma-maaf, saya tak sengaja," ucapku sembari menunduk, tak kuat menantang tatapannya yang tajam.Bara mengibaskan tangannya di udara, "Segera bersiap! Kalian berdua bantu dia!" perintahnya sambil memutar langkah. Tangannya mengelus-elus bokongnya yang kesakitan."Ada apa?" Miranda mendekat padaku dan berbisik."Hah? Entahlah," sahutku, karena aku bingung bagaimana menjelaskannya.Serentak Tika dan Miranda menggelengkan kepala dan tersenyum. Entahlah, entah apa yang ada dalam pikiran mereka."Ya sudah ... ayo, segera bersiap!" Tika berjalan ke lemari dan membantuku memilih baju, sedangkan Miranda mempersiapkan peralatan make-up. "Bara siapa?" Iseng kutanya pada Tika yang sedang memegang satu gaun di masing-masing tangannya."Nona belum kenal siapa dia?" Wanita berkulit
Baca selengkapnya
Mantan
Bara keluar dari mobil, kemudian berputar dan membukakan pintu untukku, tangannya terulur bak seorang pangeran menyambut permaisurinya.Aku tak bergeming."Come on," ucapnya.Dengan ragu kusambut uluran tangannya. Bara menggenggamnya dan sedikit meremasnya."Sepertinya kamu kedinginan," ucap Bara. Dia semakin mendempetkan tubuhnya padaku saat kami berjalan masuk ke dalam kafe.Ya, aku memang kedinginan, karena darahku rasanya seakan berhenti mengalir."Rileks, jangan tegang begitu," bisiknya di ubun-ubunku.Di tengah-tengah kafe aku melihat ada sekumpulan orang, salah satu dari mereka melambaikan tangannya ke arah kami seakan memberi isyarat."Santai, jangan lupa tersenyum dan ingat jangan banyak bicara. Tetaplah berada di sampingku dan jangan pernah lepaskan genggamanku, karena apa yang kau lihat nanti bukanlah kejadian yang sebenarnya. Bisa saja mereka tersenyum di depanmu, tetapi mencibir di belakang, bisa saja mereka baik di depanmu, namun punya rencana lain di belakangmu. Paham?
Baca selengkapnya
Rahasia
"Ayo kembali ke depan!" Bara melangkah keluar dan meninggalkanku yang masih mematung di dalam toilet. Pertemuanku dengan Denis membuat perasaanku sedikit terganggu, tetapi ucapan Bara yang seakan menganggap kalau aku adalah seorang wanita sewaan lebih terasa menyakitkan, hatiku rasanya seperti di remas-remas.Mungkin karena aku yang masih mematung, Bara kembali masuk ke dalam toilet, dia menggenggam tanganku dan membimbingku keluar."Tenang, jangan sampai orang-orang menyadari kegugupanmu. Santai," ucap Bara mengingatkan.Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, untuk kembali menetralkan perasaanku."Udah?" tanya Bara, yang hanya kujawab dengan anggukan. ***"Ayo, Sayang, duduk!" Bara menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya.Di bawah meja dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, sesekali dia usap-usap seperti hendak memberi ketenangan padaku. Ah, seandainya dia melakukan ini
Baca selengkapnya
Dekapan
Saat otakku masih mencerna apa yang terjadi, mobil Bara sudah melaju."Ternyata dia benar-benar ingin ke sini," batinku setelah mobil mewah tersebut berhenti di sebuah bangunan putih tiga tingkat, tempat di mana Langit dirawat."Ayo, turun!" ucap Bara sembari membuka sabuk pengamannya."Tunggu!" Aku mencekal tangan Bara ketika dia hendak meraih parsel buah dan kantong yang dia letakkan di kursi belakang.Bara menatap pada tanganku yang mencekal tangannya."Maaf, aku tidak bermaksud lancang." Bergegas kulepaskan peganganku pada tangannya."Tidak apa-apa, sepertinya kau sudah punya kemajuan, yaitu menyentuhku, it's not bad, aku suka itu.""Bukan seperti itu, tetapi aku mohon ... kalau kau mau bertemu dengan anakku, tolong jangan bicarakan kebenaran antara kita pada ibuku nanti. Aku mohon. Aku tidak ingin beliau tahu kalau ... kalau anaknya sekarang adalah seorang wanita bayaran." Aku tertunduk, entah kenapa saat mengingat hal itu hatiku merasa tersentil, meskipun sejauh ini perlakuan Ba
Baca selengkapnya
Perhatian
Bara membiarkanku terisak, entah sudah berapa banyak air mataku yang keluar."Laras ... berhentilah! Kau mengotori bajuku!" Aku tersentak. Ya Tuhan ... bisa-bisanya aku nyaman dalam pelukan laki-laki menyebalkan ini.Bergegas aku menarik diri, pandangan mataku langsung tertuju pada bagian dada Bara yang sudah basah karena air mataku, juga ada sedikit lendir di sana, setelah aku perhatikan, sepertinya itu ingus. Cepat-cepat aku mengambil sapu tangan dalam tasku dan membersihkan ingus yang menempel di dada Bara. Sebelum dia menyadarinya.Aku pindah duduk ke samping Ibu, Bara menyusulku kemudian dan ikut menghempaskan tubuhnya di sebelahku.Ibu tampak gelisah, dia tampak memejamkan mata dan berkali-kali mengusap wajahnya."Bu?" Kuraih jemari Ibu dan menggenggamnya, berusaha memberikan ketenangan padanya, padahal sebenarnya jiwaku juga diimpit ketegangan."Langit pasti kuat, Langit anak yang kuat," ucapku.Ibu menatapku, menganggukkan kepalanya dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Ya,
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status