Terjebak Pernikahan Kedua

Terjebak Pernikahan Kedua

Oleh:  FitriElmu  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
27Bab
2.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Via tak menyangka, pernikahan yang dia jalani dengan penuh pengorbanan ternyata palsu. Dia hanya dijadikan istri kedua bagi pria bernama Rendi. Menjadi pelakor tanpa sengaja.

Lihat lebih banyak
Terjebak Pernikahan Kedua Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
27 Bab
Ajakan Menikah
Via, namaku. Gadis dua puluh satu tahun yang membiayai kuliahnya sambil bekerja di rumah makan Padang di kota ini. Aku berasal dari keluarga yang kurang mampu, karena itu segala macam pekerjaaan ku lakoni demi kelangsungan pendidikanku dibangku kuliah. Sesekali aku juga mengambil pesanan kue-kue untuk acara. Yang tentu saja kukerjakan setelah pulang dari bekerja di rumah makan. Capek memang. Pagi berangkat kuliah, langsung kerumah makan. Dan setelah lelahnya bekerja, terkadang harus membuatkan pesanan. Di rumah makan ini juga, pertama kali aku bertemu dengan mas Rendi. Seorang pria rupawan nan baik hati. Dia sering berkunjung kerumah makan tempatku bekerja sekedar untuk makan. Dari yang aku tahu, dia adalah pria sukses. Dia selalu memakai setelan jas rapi, layaknya pria kantoran. Dia selalu melihatku dan menyapaku yang sedang bekerja dengan seulas senyum manisnya. Dan itu juga yang membuat hatiku bergetar, grogi. Bahkan tak sungkan ia memberi pujian padaku, setiap kali mengantar pes
Baca selengkapnya
Tentangan Sahabat
"Kamu yakin Vi, sama keputusanmu?" Fadil menatapku tak percaya. Aku mengangguk. Aku baru saja mengatakan padanya untuk berhenti kuliah. Dan lihatalah reaksi sahabatku ini, dia kaget? Tentu saja. Tapi kubiarkan saja dia dengan pikirannya. Aku memilih menatap langit bertabur bintang yang rasanya lebih indah dari malam-malam kemarin. Seulas senyum terbit di bibirku. Ah, semenjak mas Rendi melamarku, dunia rasanya semakin berwarna."Karena apa?" Pertanyaan Fadil menghentikan lamunanku. Aku menoleh, nada suaranya terasa berbeda.Dari sorot matanya, aku rasa dia kecewa dengan keputusanku untuk drop out dari kampus. Tanganku meraih kaleng minuman dingin yang sedari tadi menemani obrolan kita.Pemuda disampingku ini tertegun. Menatapku lama, tatapan yang sebenarnya sempat menggetarkan hatiku. Tapi itu dulu ya, aku sadar diri, perbedaan kita terlalu jauh. Dia berasal dari keluarga yang kaya, terhormat, dan ... pokoknya segalanya deh. Dan aku? Hmm, hanya sebatas gadis yang sering terseok-seok m
Baca selengkapnya
Kejutan Pertama
Singkat cerita, aku dan mas Rendi resmi menikah. Sayangnya, kata mas Rendi orang tuanya tidak bisa datang. Aku memakluminya. Karena memang jarak yang sangat jauh.Sama sepertiku, mas Rendi juga merupakan perantau. Aku di ujung selatan pulau Sumatera, sedangkan mas Rendi berasal dari ujung pulau Jawa. Kami bertemu di sebuah kota di Jawa Barat.Untuk akad nikahnya, kami mengadakan di kediamanku. Dan selama seminggu, mas Rendi izin cuti dari kerjanya.Kini, setelah menikah, aku ikut ke mes, tempat tinggal mas Rendi selama bekerja."Vi, Bulan depan kita pulang ya," ajak mas Rendi."Maksud mas kerumah orang tua mas Rendi?" Mas Rendi mengangguk.Aku melonjak senang. Akhirnya, aku akan bertemu dengan mertuaku juga. Tapi degdeg-an juga sih, ada perasaan khawatir. Bagaimana jika mereka kurang menerima kedatanganku? Apalagi, aku sering mendengar cerita dari teman-teman perempuan di mes. Katanya mereka lebih memilih tinggal di mes daripada bersama mertua. Tapi tetap saja, aku ingin bertemu mertu
Baca selengkapnya
Ternyata, Aku Pelakor
"Mas, tolong jelasin. Apa maksud semua ini?" Aku menginterogasi mas Rendi setelah kami dikamar kami. Mas Rendi menghela napas. Tadi hampir saja terjadi perang, bahkan wanita itu berhasil menampar pipiku, dan mengataiku 'pelakor', 'wanita sialan', dan kata kata berisi makian kotor lainnya, sebelum kemudian akhirnya mas Rendi mengalihkanku ke kamar. Sementara ibu dan wanita tadi berteriak teriak marah dan memaki maki dari luar. Aku sedikit banyak sudah dapat meraba apa yang terjadi. Mas Rendi sudah beristri. Jadi aku pelakor?Aku memegang kepalaku yang mendadak terasa berat. Kejutan? hah! kamu sudah berhasil memberi kejutan untukku mas. Tapi aku harus mendengar langsung dari mulutmu langsung."Bukankah aku sudah bilang berkali kali Vi. Jangan kaget jika yang terjadi tidak sesuai dengan bayanganmu.""Tapi kan gak gini juga mas,""Benar, bukan ini yang aku bayangkan. Khayalanku salah total. Aku kira aku akan mendapat sambutan hangat. Tapi nyatanya apa ...." Aku terisak. Sesak sekali dada
Baca selengkapnya
Disindir
Efek kelelahan karena perjalanan dan menangis tadi membuatku terbangun jelang malam. Aku keluar dengan mata yang masih sembab, dan kepala sedikit pusing. Aku membuka pintu kamar, dan berjalan kebelakang untuk membasuh wajah.Namun, ternyata dimeja makan mereka sudah berkumpul. Aku memaksakan mengulas senyum, meski hanya mendapat tatapan tak mengenakan dari mereka."Jadi wanita pemalas seperti ini yang kamu nikahi, Ren. Jam segini baru bangun, huh!" Aku tersenyum tipis. Meski sebenarnya sakit sekali."Sudahlah ma, bagaimanapun juga dia istri Rendi.""Lalu aku kamu anggap apa, Mas?" Istri pertamanya yang sedari tadi diam mulai mengeluarkan kembali unek uneknya. Nada bicaranya cukup menusuk."Kamu tetap istriku Helen. Apa kamu lupa?" jawab mas Rendi dingin.Wanita yang dipanggil Helen itu mendengus. Wajahnya memerah. Menatapku tajam, sebelum akhirnya membuang mukanya kembali."Sudah, cuci muka dulu Vi. Nanti kesini lagi, makan malam," perintah mas Rendi. Aku mengangguk . Meski merasa be
Baca selengkapnya
Diperalat
Pagi menyapa suram.Aku menguap lebar, mengangkat kedua lenganku keatas. Peregangan sejenak. Aku sedikit mengernyitkan mata, sinar matahari nekat menerobos dari celah hordeng jendela yang sedikit terbuka. Hmm.. Jangan bilang aku bangun kesiangan ya, apalagi pemalas, kebiasaanku begini. Suka bangun agak siang. Biasalah, di kosan tidak ada aturan untuk bangun pagi.Aku memandang sekeliling. Asing. Aku mengernyitkan dahi. Ah! ya, aku lupa. Sejak kemarin aku berada di rumah mas Rendi. Sejenak ku hela napas panjang. Hari baru akan segera terlewati.Aku berjalan menuju meja rias dan menyisir rambut panjangku. Mengikatnya kebelakang.Melamun seraya melirik pintu kamar. Sepertinya dari tadi malam mas Rendi belum masuk kekamarku. Setelah membenahi tempat tidur, aku membuka pintu dengan menguap. Lalu berjalan kekamar mandi.Kulihat mbak Helen sedang mengecat kukunya. Aku tersenyum menyapa. Namun dia hanya melirikku selintas, tidak menanggapi. Dan kembali mengurusi kukunya."Ya ampun. Jam segin
Baca selengkapnya
Tersiksa
Sekarang urusan nyapu, nyuci piring, baju, memasak dan urusan rumah tangga kamu yang kerjakan!" ucap mbak Helen sambil melempar baju miliknya. Aku yang sedang menyuci baju mendongak."Tapi mbak, tidak bisa seperti itu." tolakku. Apa mereka pikir aku mampu mengerjakan semua sendirian. Aku kan hanya punya dua tangan."Terus kamu kira, aku yang harus mengerjakan semua ini? Sory. Aku gak level dengan pekerjaan seperti ini," tolaknya."Ada apa si sayang?" mama mertua mendatangi mbak Helen."Ini mah, istri pilihan anak mama males kerja" Mama menatapku tajam. "Ingat. Kami tidak menerima kamu sampai kapanpun. Kerjakan pekerjaan disini jika kamu masih ingin tinggal." Aku mengusap keringat didahiku. Emang selama ini siapa yang mengerjakan pekerjaan ini, kenapa mereka sok sekali seolah tak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangganya."Gimana sayang, kamu sudah pecat si Surti?" Mbak Helen mengangguk. Mengangkat jempolnya."Beres, Ma. Buat apa membayar pembantu kan? kalau nyatanya mas Rendi malah
Baca selengkapnya
Tuduhan
"Apa apaan ini, kenapa njemurnya gak sekalian? Mentang mentang ini bajuku semua. Kamu mau menyuruh orang tua ini menjemur pakaiannya sendiri? Hah!""Bukan gitu, Bu, aku ...""Halah alesan. Bilang saja kamu pemalas. Tidak ada hormat hormatnya sama sekali sama orang tua."Aku memejamkan mata mendengar omelannya. Menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Rasanya kepalaku pening mendengar ocehan seperti ini."Sabar," desisku lirih. Aku mengecilkan setrika. Dan keluar."Kerja tuh yang bener. Kerja kok setengah setengah!" Aku diam saja mendengar omelan ibu. Lalu mengambil baju satu persatu dan menjemurnya. Mengabaikan ocehannya yang mungkin sudah sepanjang sungai Nil di Mesir san. Aku menulikan telingaku. Sesekali tuli untuk hal yang gak penting juga perlu kan?"Dasar pemalas," ujarnya yang sempat mampir ditelingaku. Aku memeras baju kuat kuat. Menahan emosi. "Yang pemalas itu, menantu pertamamu. Bukan aku." Aku menggerutu, kesal."Eh eh, bilang apa kamu tadi?"Aku menoleh. Terperanjat
Baca selengkapnya
Keberadaan yang Terabaikan
"Ma, aku ikutan arisan ibu-ibu kompleks ya. Boleh, kan?" Aku bertanya ketika makan malam tiba. Ya, tadi aku selintas dengar mereka sedang membahas arisan yang akan dimulai sebentar lagi. Lumayan kan, siapa tahu dari situ aku lebih banyak mengenal ibu-ibu disini. Rasanya membosankan tidak ada yang dikenal. Satu-satunya yang kukenal dekat hanya mas Rendi. Tapi dianya malah entah kemana."Buat apa? Ngabisin duit aja kamu tuh, pake ikutan arisan segala." Cueknya dengan masih setia melahap makanannya."Gak ngabisin duit kok, Ma. Arisan kan sama saja nabung. Lagipula mungkin dari ikut arisan Via punya banyak teman.""Biar apa? Biar mereka tahu kalau kamu itu pelakor?" Mbak Helen menyolot, menyentakkan sendoknya kepiring. Lirikannya menatapku julid."Gak mbak. Aku bukan pelakor. Aku juga istri sahnya mas Rendi. Aku kan tahu kalau sebelumnya mas Rendi sudah pernah menikah. Kalau tahu, ya mungkin gak begini kejadiannya.""Halah! Jadi pelakor pun masih gak mau ngaku j
Baca selengkapnya
Senjata Makan Tuan
"Uh, cantiknya anak mama." Mbak Helen tersenyum puas. Melenggokkan tubuhnya, berpose ala model. Dan tertawa-tawa dengan mama.Dari dapur aku mencuri-curi pandang. Mbak Helen terlihat modis dengan dress pendek diatas lutut warna merah, tas merah, sepatu merah dan lipstik merah menyala. Semua serba merah. Tak lupa dengan aksesoris anting, kalung dan gelang ditangannya. Rambut pirang bergelombangnya dibiarkan tergerai.Aku menatap kagum. Cantik sekali. Cocok dengan kulit putihnya yang nampak berkilau. Beda denganku yang kumal dan selalu berkutat dengan urusan dapur, ditambah lagi  malas skincare-an. Bukan malas sebenarnya, tapi gak ada waktu dan uang."Udah, Ma.Helen berangkat dulu.""Iya sayang. Hati-hati." Mama mencium pipi kanan-kirinya mbak Helen. Mbak Helen melangkah anggun dan sebelumnya melambai ke mama. Aku mendecak kagum. Bahkan langkahnya terlihat elegan. Mas Rendi sudah punya istri secantik mbak Helen kenapa masih menikahiku
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status