Share

04.

"Pak, beneran engga bisa bantu? Sebentar saja, Pak." Mohon gadis itu kepada satpam  di tempat resepsionis.

"Waduh, Mbak. Bukan tidak mau bantu, tapi ini lagi kosong engga ada orang. Resepsionisnya lagi keluar, makanya saya di sini, tugas saya kan jaga di dapan sana, Mbak."

Neira menghembuskan napas kasar. Gadis itu cemberut keluar lobi apartemen. Bisa saja dia pergi begitu saja, berharap ada orang lain yang lewat dan menolong pria itu nantinya. Namun, hati baiknya tidak tega. Terpaksa, ia kembali lagi ke tempat pria itu tergeletak.

"Nyusahin aja sih." Gerutunya, mencoba memapah pria itu untuk berdiri.

"Hai, cantik." Sapa pria itu setelah berhasil berdiri, dia tersenyum manis, menoel hidung mancung Neira dengan mata yang masih sayu sulit terbuka. Sontak, Neira menjatuhkan kembali pria itu.

"Sakit bego!" teriaknya, setelah jatuh terduduk dengan keras.

"Siapa suruh genit!" bentak Neira tak kalah galak.

"Hehehe ... Peace." Senyum pria itu sembari menunjukan jari V.

Neira membuang napas kasar, lalu meraih kembali pria itu. Tapi baru saja berhasil memapahnya berdiri, pria itu langsung ....

"Huueekkkk ...."

JACKPOT!

"Aaaaaa .... " Neira berteriak frustrasi. Ia menghentakkan kakinya jengkel bukan main. Dia hanya ingin menolong, kenapa harus se-apes ini nasibnya? Neira ingin menangis rasanya melihat jaketnya yang penuh dengan muntah. Sedangkan si tersangka, sudah teler tidak berdaya.

Sekuat tenaga Neira membopong pria itu di punggungnya. Tubuhnya yang kecil tak sebanding dengan pria besar ini. Bulir-bulir keringat menetes di pelipisnya walau udara sebenarnya cukup dingin.

"Hangat ...." Gumam pria itu di punggung Neira. Sementara gadis itu kerepotan menyeimbangkan tubuhnya. Kaki pria ini terseret begitu saja karena tubuhnya yang jangkung. Bodo amat.

"Iya, situ hangat. Saya engap. Lain kali kalau mabuk ajak teman, jangan nyusahin orang lewat."

"Mmm .... "

"Memangnya ngerti saya ngomong apa?"

"Orang lewat." Jawabnya, hampir tak terdengar. Neira hanya memutar bola matanya malas. Percuma bicara sama orang mabuk.

***

"Aahhhh .... " Neira terkapar di sofa lobi. Ia kelelahan, napasnya ngos-ngosan. Tubuh pria itu ia letakkan begitu saja di sofa panjang.

Niat hati ingin meminta bantuan satpam, untuk mengantar pria ini ke kamarnya. Tapi melihat keributan beberapa manusia yang sedang komplain kepada satpam____yang lagi-lagi masih sendirian____ membuat Neira membatalkan niatnya. Lebih baik dia mengantar sendiri lelaki ini, lagi pula dia harus membersihkan muntahan di jaketnya.

Susah payah Neira membawa pria ini ke lantai enam. Untung saya dia tidak harus jalan atau naik tangga, cukup masuk lift dan sampai. Dan lebih beruntung lagi, ternyata kamar pria merepotkan ini ada di samping lift.

Dengan cart key di kantong pria itu, Neira membuka kamar apartemen 15F. Matanya langsung disambut pemandangan ruangan yang manly, didominasi warna monokrom yang sangat kental. Cat dinding warna abu, sofa warna cokelat, minim ornamen dinding,  hanya beberapa interior terpajang dan itu pun berwarna putih dan hitam. Tidak ada sentuhan perempuan sama sekali.

Neira mencoba membuka pintu kamar pertama, ternyata terkunci. Lalu ia naik ke tangga di samping dapur, dan Neira menemukan satu kamar lagi di lantai dua. Akhirnya gadis itu membawa 'Si Tuan merepotkan' ke sana.

Tak beda jauh, kamar ini isinya hanya warna hitam dan putih. Membosankan dan monoton.

Gadis itu termenung melihat pria yang sudah terkapar di kasur putih itu, apa yang harus dia lakukan? Mengganti bajunya yang basah dan penuh muntahan? Ia menggeleng tidak setuju dengan ide yang ada di otaknya. Hai ... Dia masih gadis, tak patut menelanjangi seorang pria dewasa.

Lebih baik ia memikirkan lebih dulu kondisinya sendiri. Dia tidak lebih baik dari pria ini, dia juga basah dan penuh muntahan.

Neira keluar kamar, mencari apakah pria ini punya mesin cuci? Dan gadis itu bernapas lega saat menemukan apa yang ia cari.

***

Angin malam semilir menghantarkan dingin pada tubuhnya, gadis itu berdiam diri di balkon, menikmati secangkir teh hangat menemaninya menunggu cucian jaketnya selesai. Jam menunjukan pukul 00.15 menit, ia melongok ke bawah sana, ke jalanan yang sudah begitu sepi. Harus pulang dengan apa dia malam ini? Angkot, tentunya sudah tidak ada di tengah malam seperti ini. Gadis itu tertunduk lesu.

Ia merogoh kantong roknya, mengeluarkan handphone-nya yang pecah akibat terjatuh tadi. Berulang kali Neira mencoba menyalakan, tapi handphone murahan miliknya itu sudah terlanjur koma. Bagaimana dirinya harus menghubungi ayahnya, dan memberitahu bahwa dia akan pulang sangat terlambat. Ayahnya pasti khawatir.

"Aha!" satu jalan keluar muncul di kepalanya. "Kenapa tidak meminjam telepon di resepsionis saja?" Neira menjentikkan jarinya dengan senyum lebar. Langkahnya riang menuju tangga, tapi saat melewati kamar lelaki itu hatinya tergelitik untuk mengintip sejenak.

Dengan langkah yang sangat perlahan agar tidak berisik, Neira masuk ke kamar itu lagi. Namun, wajahnya berubah khawatir saat melihat wajah pria itu begitu pusat dan mengigau gelisah. Tangan Neira terjulur untuk meraba dahi pria itu, dan gadis itu terkejut saat tahu bahwa tubuh pria itu demam tinggi.

Neira menggigit bibir bawahnya, menimbang apa yang harus ia lakukan saat ini.

Dengan hati yang takut dan berdebar, gadis itu memutuskan untuk mengganti baju basah yang melekat di tubuh pria itu. Jemarinya bergetar saat membuka satu persatu kancing kemeja hitam itu. Ia memalingkan wajah, menolak melihat tubuh atletis milik si tuan merepotkan.

"Maaf. Saya enggak ngintip kok." Bisiknya, lalu memasangkan piyama kering ke tubuh tuan merepotkan.

Gadis itu sudah lupa agendanya untuk ke resepsionis. Ia justru ke dapur memasak air panas, menggeledah lemari dapur untuk mencari bahan membuat bubur.

Setelahnya, ia mengompres pria itu dengan sangat telaten. Sesekali ia terkantuk-kantuk, tapi tetap berusaha terjaga.

Neira melihat jam dinding yang sudah menunjukan pukul dua pagi. Gadis itu bergegas mengambil jaketnya, memeriksa kembali bubur yang ada di dalam panci dapur di atas kompor. Tak lupa menempelkan kertas note warna kuning pada panci.

"Bubur untuk sarapan. Jangan lupa panaskan terlebih dahulu. Oh iya, jangan lupa berterimakasih pada Ibu Peri"

Ia tersenyum geli sendiri saat membaca ulang note yang ia tempelkan. Neira memandang tas ranselnya yang ada di ruang tamu, lalu beralih memandang atas tangga. Haruskah ia berpamitan?

***

"Get well soon. Saya pamit. Terimakasih atas teh hangat dan pinjaman mesin cucinya." Ucapnya pada lelaki yang tengah tidur itu.

Neira membenahi selimut pria itu, menariknya hingga ke leher. Dia tersenyum puas, semua telah beres dan sekarang saatnya ia pulang. Baru saja gadis itu beranjak dari duduknya, tapi tangannya sudah dicekal oleh seseorang.

"Tunggu!"

_______________________________________

FUNFACT : Ethan itu zodiaknya sama seperti aku :) Ethan siapa hayooooo? Baca terus kuy,  biar nanti ketemu Ethan pujaan hati. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status