Share

05.

Pagi menyingsing, silau menerobos masuk ke sela-sela kaca jendela yang tak tertutup tirai. 

Mata lentik yang sedikit bengkak itu terbuka. Pemiliknya menggeliat dengan rasa ngilu yang teramat sangat di sekujur tubuh. Sedetik setelahnya, sadar akan apa yang telah terjadi. 

Tak ada tangis di mata indah itu, ia hanya menerawang kosong pada langit-langit kamar berwarna hitam galaksi. Rahangnya bergemeretak, marah yang memuncak itu justru membelenggunya dalam kebisuan. 

Jarinya meremas kuat kain seprai putih yang berada di bawah tubuhnya yang polos, tak terbalut apapun. Ia tidak sudi melihat darah perawannya yang berbekas di sana, ia juga tak sudi melihat pada sosok yang telah merenggutnya. 

Gadis itu bangkit dengan tubuh yang bergetar, lututnya lemas untuk berdiri. Ia menahan napas, menahan ledakan emosi yang menyumpal dadanya. Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, ia memunguti pakaiannya. Tanpa perlu menoleh pada bagaimana kacaunya tempat ini. 

Tertatih, ia melangkah menuju kamar mandi. Di sana, tubuh polosnya terpampang sempurna di kaca besar yang tak malu menunjukan kemolekan indah dari pantulannya. Jari jemarinya yang lentik, perlahan menyusuri luka demi luka di tubuh, lebam demi lebam yang meronai kulit putihnya. Wajah itu pias tanpa ekspresi. 

Ia, meninggalkan apartemen itu tanpa sepatah kata. 

***

Apa yang harus dia katakan pada ayahnya, jika ayahnya melihat kondisinya saat ini? Wajah lebam, bibir berdarah, tubuh penuh dengan memar. 

Gadis itu diam di taman. Merebahkan tubuhnya pada kursi besi di tempat yang tidak terlihat. Ia harus menunggu hingga sore, paling tidak ayahnya tidak boleh tahu ia bolos sekolah hari ini. 

Ambang kewarasannya menipis. Satu-satunya hal yang membuat dia masih terlihat normal adalah demi ayahnya. Ia, tidak pernah ingin melihat ayahnya hancur dan kecewa. Ayah adalah satu-satunya keluarga yang Neira miliki.

Neira memukul kepalanya keras, saat kilasan peristiwa semalam melintas kembali di benaknya. Seringai jahat lelaki itu di atas tubuhnya terus membayang di pikiran Neira. Perasaan jijik pada diri sendiri itu tiba-tiba menyeruak, Neira menutup matanya rapat. Tubuhnya menggigil di antara teriknya matahari. Ia meringkuk dan terus bergumam .... "Pergi ... Tolong pergi ... Pergi ...."

Waktu berjalan terasa sangat lambat bagi Neira. Berkali-kali ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ia ingin segera pulang, walau rasa takut itu memenuhi sisi batinnya. 

Langkah yang tertatih berjalan dengan begitu gontai, rasa nyeri itu masih sangat terasa di tubuh bagian bawahnya. Ia menggigit bibir demi menahan rasa sakit itu dan tetap berjalan menuju halte. Senyumnya sedikit merekah walau sangat samar, saat mobil angkot yang ia tunggu sudah terlihat. 

Ia terdiam, duduk di dekat pintu. Melihat nanar pada pergelangannya yang membiru. Perlahan ia menyentuh luka itu. 

"Kenapa, Neng? Habis digebukin?" tanya salah seorang ibu di dekatnya. Neira hanya menggeleng pelan. 

Mobil itu terus melaju, membawa kebisuan Neira menuju pulang. 

***

Neira menyusuri gang sempit yang dindingnya di penuhi dengan mural____(baca: tulisan dan gambar seronok)____ kakinya terseok, ia membungkuk sejenak untuk memijit lututnya yang gemetar. 

"Aduh," rintihnya, saat bahunya tak sengaja tersenggol gerombolan anak-anak kecil yang bermain sepeda. 

"Maaf, Kak."

Neira hanya tersenyum menanggapi dan melanjutkan langkahnya. Di ujung gang sempit yang hanya bisa dilalui dua badan manusia ini, ada sebuah kontrakan kumuh tujuh pintu. Di sanalah tujuan Neira, tempat gadis itu tinggal. 

Ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang babak belur, saat melewati kerumunan ibu-ibu yang sedang riuh bergosip. Kerumunan itu tiba-tiba membisu, tersenyum aneh pada Neira. 

"Permisi, Bu." Sapa Neira yang melewati mereka. Dan hanya ditanggapi senyuman kaku. Gadis itu pikir, mungkin karena penampakannya yang amburadul. Tapi, tatapan mata bude Lastri justru terlihat iba di mata Neira. 

"Baru pulang, Nduk?" 

"Iya, Bude. Permisi, Neira masuk dulu." Pamitnya sesaat sebelum membuka kamar kontrakannya. 

Kamar lusuh bercat biru itu tampak sepi, beberapa catnya sudah mengelupas dan kusam. Bahkan, beberapa eternitnya telah jebol. Gadis itu rebah di kasur kapuk yang tergelar di lantai. Ayahnya, mungkin masih di pasar. Menjadi kuli panggul demi sesuap nasi, beruntung ia memiliki putri yang pandai, sehingga tidak perlu memikirkan biaya lagi untuk bersekolah. 

Sunyi, hanya detik-detik jam yang mengalun. Neira melirik ke arah jam dinding di atas pintu, pukul 17.35 wib. Ayahnya harusnya sudah pulang. 

Ia beranjak. Membuka jaketnya lalu menggantungnya di balik pintu. Ia melirik ke sebelah kanannya, pada lemari kaca yang memantulkan sosok dirinya. Berseragam abu-abu putih, dengan kemeja putih yang sudah tidak memiliki kancing. Napasnya menderu tiba-tiba, perasaan jijik dan marah itu kembali menghantuinya. Dengan tergesa, Neira melepas kemeja itu, membuangnya dengan kasar ke plastik sampah yang teronggok di sudut dapur. 

Gadis itu membanting pintu kamar mandi. Lalu, menangis sejadi-jadinya di sana. Ia duduk tersengkur di lantai kamar mandi, kepalanya menelungkup pada lutut. Tangannya membekap erat mulutnya yang menangis meraung. Berkali-kali ia membenturkan kepala pada dinding semen bak mandi, berharap ia bisa tak sadarkan diri lalu amnesia. Melupakan semua hal yang menyakitkan baginya tadi malam. 

***

"Assalamualaikum, Nei ...."

Suara salam dan ketukan pintu itu menyadarkan Neira dari lamunan. Ia, baru selesai mandi dan termenung di depan kaca. 

"Walaikum salam, iya, Bude?" ucapnya setelah membuka pintu. Ada bude Sulastri di sana. 

"Bude boleh masuk? Bude bawa makan nih sama teh hangat buat kamu." Wanita itu mengangkat sedikit nampan yang ia bawa, menunjukan pada Neira. 

Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk, mempersilahkan bude Sulastri yang notabene tetangga sebelah kamarnya untuk masuk. 

"Makan dulu." Bude Sulastri menyodorkan piring berisi nasi beserta sup dan ayam goreng ke pangkuan Neira. Tapi gadis itu justru meletakkan piringnya di meja. 

"Nanti saja, Bude. Nei masih kenyang."

"Makan sekarang aja, sekalian ngobrol sama Bude," wanita paruh baya itu menyodorkan kembali piringnya ke pangkuan Neira. Mau tak mau gadis itu menerimanya. 

Walau sebenarnya sulit untuk menelan apa yang ia makan, tapi gadis itu memaksakan diri untuk bisa makan. 

"Kamu kenapa, kok lebam?"

"Jatuh dari ojek, Bude."

"Tapi engga pa-pa?"

Neira hanya tersenyum lemah dan menggeleng. 

"Semalam bapakmu nyariin kamu, kamu ke mana? Kenapa tidak bisa di telepon?"

Gadis itu diam, tatapannya kosong pada piring di pangkuannya. 

"Nei," tegur bude Sulastri yang tak kunjung mendapat jawaban. 

"Mmm ... Pas jatuh dari ojek sempat pingsan, jadi dibawa ke UGD dan nginep di sana. Hape aku pecah saat jatuh, jadi mati total, Bude." Gadis itu lagi-lagi melirik jam dinding, ini sudah pukul delapan malam, ke mana ayahnya? Apa masih mencarinya? Perasaan bersalah itu menderunya. 

"Bude, tahu bapak sekarang lagi ke mana?"


_________________________________________


FUNFACT : Ada yang takut laba-laba engga? Senasib. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status