Share

08.

Hujan deras mengguyur Jakarta sejak subuh tadi. Hingga saat sore menjelang, hujan itu tak kunjung reda.

Prayoga duduk gelisah di ruang keluarga, ada rasa tidak nyaman di hatinya. Pikirannya tertuju pada Neira, entah firasat buruk atau hanya khawatir karena pertengkaran mereka kemarin malam.

"Kamu kenapa?" tanya Amanda, ibunya. Wanita itu sedang menonton televisi di sebelah Yoga.

"Kenapa memangnya, Mah?"

"Gelisah begitu." Ucap Amanda cuek, sembari memasukkan keripik kentang ke mulutnya.

"Enggak, Yoga biasa aja." Elaknya, tapi yang terlihat justru sebaliknya. Jari tangan kirinya sedari tadi mengetuk acak gagang sofa, sedangkan tangan kanannya sibuk memutar-mutar handphone. Matanya memang mengarah ke televisi, tapi Amanda tahu persis bahwa pikiran anaknya sedang tidak di sini.

Amanda meletakkan bungkus keripik kentangnya. Menyandarkan tangan pada bahu sofa sebagai topangan kepala, lalu memandang fokus ke arah Prayoga yang berada di sampingnya. Amanda memicingkan mata penuh curiga.

Ditatap seperti itu, Prayoga risih. "Apa sih, Mah?" pemuda itu salah tingkah.

"Kalau mau bohong, les privat dulu tuh sama Mang Ujang,____ supir keluarga Prayoga______dia ahlinya." Cibir Amanda.

Prayoga menggeleng. "Isshhh ... Mamah."

Ia menyerah jika harus berbohong pada Amanda. Bukan perkara dia yang memang jarang berbohong dan amatir, tapi ibunya itu memang seperti cenayang jika menyangkut hati anaknya. Sulit dibohongi.

Prayoga bangkit meninggalkan Amanda. Dalam situasi seperti ini, lebih baik dia menjaga jarak dari ibunya. Dia yang tidak pandai berbohong pasti akan dibantai telak oleh ke-kepoan Amanda yang tiada tanding.

"Mau ke mana? Katanya mau nemenin Mamah nonton."

"Tidur." Jawabnya tanpa menoleh ke Amanda.

"Tidur apa 'tidur'?"

Prayoga tidak menjawab, ia memutar matanya jengah lalu setengah berlari menaiki anak tangga menuju lantai dua. Namun, saat langkahnya sudah tepat berada di depan pintu kamar, Prayoga justru berbalik. Ia, tidak bisa mengabaikan instingnya untuk kali ini. Dia yakin ada yang tidak beres dengan gadisnya.

Prayoga berlari dengan cepat menuruni anak tangga, lalu meraih kunci mobilnya di atas kulkas.

"Lho, katanya tidur? Mau ke mana lagi?" tanya Amanda ikut panik. Tergopoh mengikuti langkah cepat Prayoga.

"Ke rumah teman, sebentar aja kok Mah."

"Banjir lho di mana-mana, Ga."

Prayoga berbalik. Tersenyum manis ke Amanda lalu mencium pipi perempuan itu. Amanda mencebik, satu ini jurus andalan anaknya untuk meluluhkan hatinya. "Yoga cepat pulang kok, Mah. Janji." Bisiknya, lalu bergegas meninggalkan Amanda yang masih kebingungan.

Dan benar kata Amanda, banjir di mana-mana. Prayoga menatap ke arah langit yang menggelap dari balik kaca jendela mobil. Guntur dan kilat terlihat menyambar-nyambar di depan, hujan semakin deras dan sepertinya akan bertahan lama. Prayoga yang sejatinya orang sabar, tapi kali ini ia menjadi tidak sabaran. Berkali-kali Yoga membunyikan klakson di tengah banjir dan macet, walau sebenarnya itu percuma saja tidak akan memperlancar laju mobilnya.

Dalam keterdiamannya menunggu, hati Prayoga semakin kalut. Bodohnya dia, yang seharusnya semalam meninggalkan handphone-nya untuk gadis itu, atau kenapa tidak sekalian saja kemarin membelikan handphone baru untuk Neira? Ia merutuki kebodohannya.

Tiga jam berlalu, dan dirinya belum sampai pada tujuan. Seharusnya hanya butuh waktu dua jam bagi Prayoga untuk sampai ke kontrakan Neira. 

Waktu terasa begitu lambat berjalan bagi prayoga, macet sepanjang jalan ini tak kunjung usai. Ia menenggak air minumnya, berharap sedikit mendapat ketenangan. Prayoga terus melirik ke arah jam tangannya, semoga kegelisahannya ini bukanlah pertanda buruk untuk kekasihnya.

"Ada apa dengan kamu, Nei?" gumamnya pelan, ia menyandarkan kepalanya pada setir.

***

Prayoga setengah berlari menyusuri gang masuk ke kontrakan Neira. Tidak peduli pada bajunya yang basah terkena hujan; tak peduli pada makian ibu-ibu yang tertabrak tubuhnya hingga terjatuh, ia hanya bisa berteriak minta maaf sambil terus berlalu.

Dengan napas yang masih ngos-ngosan, ia mengetuk pintu coklat itu berulang kali dengan tidak sabaran.

"Assalamualaikum."

Tak ada jawaban yang Prayoga dapatkan.

"Nei, kamu di dalam, kan?" lagi-lagi sunyi yang menjawab.

Yoga menempelkan telinganya pada pintu, samar-samar terdengar suara radio dari dalam sana. Tapi itu sama sekali tak membuat hatinya lega.

Sampai akhirnya, Prayoga melihat Sulastri datang dari arah gerbang. Sekonyong-konyong Prayoga menghampiri Sulastri yang sedang menutup gerbang.

"Permisi, Tante."

"Iya?" Sulastri berbalik menghadap Prayoga. Dan mengernyit saat melihat pemuda itu basah kuyup. Secara reflek Sulastri menggeser payungnya agar Prayoga tidak kehujanan.

"Maaf Tante, mau tanya. Itu kamar nomor empat masih tinggal di situ, Kan? Belum pindah?"

Sulastri melongok ke belakang Prayoga, ke arah kamar nomor empat milik Neira.

"Tadi pagi saya antar sarapan, masih ada kok Mbak Neiranya, lagi berkemas. Tapi tadi pukul dua saya ketok enggak nyaut, kayaknya sih tidur,Mas."

Prayoga melihat jam tangannya.

"Sekarang sudah pukul lima, Tante. Apa mungkin masih tidur ya? Soalnya masih ada suara radio di dalam, berarti belum pindah, kan?"

Sulastri mengerutkan alisnya, dia terdiam sejenak. Menatap bergantian antara Prayoga dan kamar Neira.

"Saya sudah gedor berkali-kali, sudah teriak-teriak juga dari tadi, Tante."

Wanita paruh baya itu menatap wajah Prayoga yang putus asa dengan iba.

"Kok perasaan saya jadi enggak enak ya." Gumam Sulastri, yang sedikit banyak terdengar oleh Yoga. Wanita itu langsung menarik tangan Yoga agar bergegas kembali ke tempat Neira.

Sesampainya di depan kamar Neira, Sulastri mengintip sedikit dari celah kaca jendela. Tak ada tanda-tanda ada seseorang di dalamnya.

"Dobrak aja, Mas!" putus Sulastri.

Tanpa bertanya apa-apa lagi, Prayoga langsung melakukan permintaan Sulastri. Karena sedari tadi sebenarnya ia ingin sudah ingin mendobrak pintu ini.

Dalam hitungan ketiga, pintu itu sudah terbuka.

Saat Sulastri dan Prayoga masuk, sudah ada tiga koper di bawah jendela. Alunan musik lagu lawas dari Chrisye itu terdengar dari arah dapur. Suara kran air terbuka juga terdengar dari arah kamar mandi. Yoga, segera ke sana.

"Nei ... " Yoga memanggil gadis itu dan mengetuk pintu kamar mandi berkali-kali, tapi tidak ada sahutan. Sulastri mencoba membuka, tapi pintu itu terkunci.

Yoga dan Sulastri saling bertatap, satu anggukan perlahan dari Sulastri menandai Prayoga untuk kembali menggunakan tubuhnya sebagai pendobrak pintu.

Yoga terhuyung ke depan saat pintu itu berhasil dia buka. Namun, lutut pemuda itu langsung lemas, mulutnya terbuka tapi tak mampu berucap apapun. Sedangkan Sulastri sudah berteriak histeris, membuat tetangga langsung berkerumun menghampiri mereka berdua.

Di sana; di kamar mandi itu, Neira terduduk lemas bersandar pada bak mandi yang airnya telah meluber. Gadis itu basah kuyup, pingsan, dengan tangan yang sudah bersimbah darah.

Ia, bunuh diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status