Share

Part 8 : Debaran

Sebuah tepukan kecil di bahu mengagetkan Mika yang sedang berjalan ke kelasnya. Ia menengok, dilihatnya Michelle, si gadis setengah bule sudah berada di belakangnya sambil tersenyum manis.

"Pagi, Kak Mika."

"Pagi," jawab Mika malas-malasan.

"Kak, kok ngelamun aja, mikirin apa sih?"

Nih anak sok akrab banget.

"Nggak ngelamun kok, perasaan lo aja kali."

"Kelas kakak dimana?"

Mika menunjuk kelas yang berderet paling ujung di samping pohon beringin yang rindang.

"Kakak pacarnya Kak Daffa ya?"

Pertanyaan itu telak mengalihkan perhatian Mika penuh pada Michelle.

"Kenapa?" Mika balik bertanya.

"Just ask."

Mika memutuskan untuk tidak meladeni Michelle. Entah kenapa dia merasa tidak suka pada Michelle, padahal Michelle tidak punya salah apapun padanya. Mungkin saja Mika hanya tak suka jika kenyataannya Michelle memang punya hubungan dengan Daffa walau hanya karena Ibu mereka berteman. Apalagi setelah Mika melihat Michelle naik mobil yang sama dengan Daffa waktu pulang kemarin. Mika saja belum pernah.

Nasib... nasib...

"Awas, Kak!"

Michelle menarik lengan Mika yang hampir menabrak kotak sampah di depannya.

Mika terkesiap. "God, siapa sih yang berani naruh nih kotak sampah di sini?"

Michelle tertawa. "Kak, ini kotak sampah kan memang di sini. Kakak aja yang bengong."

Mika menoleh ke arah Michelle. Sialan nih cewek ngetawain gue. Batinnya.

"Thanks ya, Michelle."

Michelle mengangguk masih sambil tersenyum. "Kakak lucu, kita temenan yuk, Kak."

Mika agak ragu untuk menjawabnya, tapi mungkin saja Michelle adalah gadis yang baik yang kebetulan dibenci Mika.

"Its okay. Why not?" jawab Mika akhirnya sebelum Siska menginterupsi dan menyeretnya buru-buru ke kelas.

Michelle terlihat berbelok menuju barisan kelas X.

"Ciee... yang akrab sama saingan," ledek Siska.

Mikaela memutar bola matanya malas. "Dia sok akrab tau nggak."

"Lo sensi amat deh sama Michelle"

"Gimana gue nggak sensi? Lo lihat sendiri kan kemaren?"

Siska tertawa melihat tingkah laku sahabatnya itu. "Lo jadi nggak cantik deh kalau sewot gitu."

Kini giliran Mika yang tertawa. "Gue nggak mau ah kalau kelihatan nggak cantik, apalagi depan Kak Daffa.

Jadi gue nggak bakalan sewot lagi, dan jadi cewek kalem."

"Gaya lo! By the way, si Michelle ngomong apa sama lo, beib?"

"Ngomong nggak penting, dia pengen jadi temen gue katanya."

"Hm, gitu. Its not bad, Mik, I think She is a good girl."

"Yes, I hope, I will try. Asal dia nggak ganggu gue sama Daffa aja."

"Oh, iya Mik, ada salam."

"Dari?"

"Kak Reno."

"Anak bola itu ya? Saingan abadi Kak Rendy dalam hal naklukin cewek."

Mika tidak menanggapinya dengan serius karena hal itu sudah biasa baginya hanya tertawa bersama Siska.

.

Istirahat pertama...

Mika yakin perkataan Michelle ada benarnya. Hari ini Mika banyak melamun. Tentu saja tentang Daffa.

Hari ini dirinya tidak mengirimi Daffa pesan. Entah kenapa dia merasa lelah tanpa alasan. Menurutnya ini hanya sia-sia. Tidak ada tanda-tanda bahwa Daffa menyukainya. Kata-kata Rendy kemarin mungkin hanya bertujuan untuk menyemangati Mika yang malang.

Mika membuka pesan masuknya. Yang terlihat hanya pesan terakhirnya yang meminta Daffa datang ke taman untuk makan siang. Dan pesan itu sudah dibaca Daffa tanpa membalasnya terlihat dari tanda ceklis yang sudah berubah warna. Mika merasa putus asa.

Dulu, Daffa terkadang mengirimi pesan terlebih dahulu padanya. Walau hanya ucapan selamat tidur. Tapi sekarang Daffa semakin jauh dari jangkauannya.

"Apa dia bosen sama gue yang selalu nempel-nempel dia? Jangan-jangan gue terlalu agresif? Gue nggak mungkin bau kan?" Mika mengendus-endus badannya. "Kenapa sih kak Daffa kaya ngehindarin gue?"

Berbagai macam kemungkinan ada di pikirannya sekarang.

"Lo sakit?" tanya Siska menyentuh dahi Mika.

"Apaan sih?" Mika menampiknya.

"Gue lupa kalau lo emang sakit semenjak ketemu Kak Daffa," ucap Siska. "Sakit jiwa."

Mika menggetok kepala Siska dengan buku tebal.

"Aw." Siska meringis mengelus-elus kepalanya.

"Gue mau ke perpustakaan balikin buku," ucap Mikaela meninggalkan Siska dengan rasa sakitnya.

Mika menimang buku-buku tebal yang ada di tangannya dengan lesu. Matanya menangkap sesosok makhluk astral sedang bersama pangerannya; Daffa.

Ternyata Michelle memang berbahaya. Insting kewanitaan Mika keluar begitu melihat tatapan Michelle ke arah Daffa. Memang mereka juga bersama Rendy, tapi Mika tidak buta. Michelle sedang tertawa memandang Daffa di bangku depan kelas Daffa. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi mereka terlihat akrab dan bahagia.

"Dasar Kak Rendy penipu," umpat Mika.

Dia tidak bisa berteman dengan Michelle. Mika yakin bahwa Michelle itu saingannya. Michelle juga terlihat menyukai Daffa.

Mika mencoba untuk tidak memperdulikan mereka, dirinya merasa kesal sekarang kepada Daffa. Memang benar kata Siska. Daffa hanya pemberi harapan palsu padanya.

Mika memasuki perpustakaan dan mengembalikan semua buku yang dia pinjam kemudian pergi ke rak buku bagian novel romansa. Mika ingin meminjam beberapa buku untuk menghilangkan suntuknya serta ingin menyita waktunya dengan membaca buku agar tidak memikirkan Daffa.

Buku-buku yang berjejer Mika ambil satu demi satu sambil membaca sinopsisnya, yang menurutnya menarik dia pisahkan untuk dipinjam.

"Buku yang saya cari kemarin dimana?"

Ucap seseorang pada penjaga perpustakaan membuat jantung Mika berdetak lebih cepat. Suara yang lima bulan belakangan ini selalu memenuhi otaknya. Kak Daffa ada di sini sekarang.

Mika mengintip dari celah rak buku yang ada di depannya. Ia melihat jari Daffa mengetuk-ngetuk meja penjaga sambil menunggu sesuatu. Tak lama Daffa terlihat meninggalkan meja itu dan beranjak mendekat menuju rak yang ada di samping Mika. Tanpa disadari Mika menjauh dan mencoba bersembunyi.

"Untuk apa gue sembunyi?" pikirnya. Untuk saat ini Mika memang sangat ingin menghindari Daffa. Biasanya dia akan menjadi orang pertama yang melompat ke sisi dimana Daffa berdiri.

Mika semakin salah tingkah ketika langkah pelan Daffa semakin mendekat menyusuri rak yang ada di belakangnya.

Mika berpura-pura memilih-milih buku bacaan dimana ia berdiri sekarang, jika Daffa melihatnya cukup bilang kalau dia sedang mencari buku.

It's simple, right?

Dirinya memang sedang mencari buku. Tidak ada yang salah. Mika merasa posisinya seperti penguntit yang ketahuan menguntit sekarang. Padahal tidak.

Mika merasa yakin saat ini kalau Daffa sedang memandanginya dari ujung rak, Mika mendengar suara langkah yang mendekat. Untuk menutupi kegugupannya Mika mencoba mengambil buku tebal yang ada di rak paling atas. Sayangnya tidak sampai. Mika mencoba menjinjit-jinjit berharap Daffa akan menolongnya menggambil buku tersebut. Dia belum siap untuk diabaikan lagi dengan pura-pura tidak menyadari keberadaan Daffa.

Berlomba dengan detak jantungnya sendiri, langkah Daffa terasa semakin mendekat.

Bugh.

Satu buku tebal sukses mendarat manja di kepala Mika berbarengan dengan seseorang yang berhenti disampingnya. Mika memejamkan matanya menahan ngilu di kepalanya dan menahan agar tidak menengok ke sampingnya. Ini pasti karma karna gue getok kepala Siska, maafin gue ya sis. Batinnya.

Mika merasa malu. Dilihatnya orang yang membuat debaran jantungnya tak karuan menunduk untuk menggambil buku yang terjatuh itu kemudian berdiri dan menaruh buku tersebut di kepala Mika.

"Pendek," ucapnya.

Mika menoleh, mendapati mata hitam pekat milik Daffa sedang menatapnya. Mika harus sedikit mendongak untuk menatap Daffa yang sekarang hanya berdiri beberapa centi darinya. Tinggi badan Mika hanya sepundak Daffa.

Beberapa detik berlalu mata itu masih memandangnya lekat. Jantung Mika hampir meledak saat itu juga. Dia belum pernah merasakan ini sebelumnya. Bahkan ketika Daffa menggandengnya untuk menyebrang jalan, tidak pernah Mika merasa segugup dan setegang ini.

"Ehem."

Mika berdeham untuk mencairkan suasana dan untuk meredam detak jantungnya yang menggila.

.

Sebenarnya Darren sudah melihat Mika berjalan sambil menatapnya dari kejauhan.

"Tumben banget tu cewek nggak datengin gue, kirim pesan juga nggak," batin Darren. "Atau jangan-jangan dia marah gara-gara pesannya nggak gue bales?"

Darren merasa bersalah. Sedikit. Hanya sedikit. Biar bagaimanapun Mika adalah cewek yang Daffa cintai. Bisa kacau nanti kalau Mika jadi membenci Daffa karena dirinya.

Dilihatnya Mika memasuki perpustakaan.

"Kak, Daffa?" panggil Michelle menyadarkan Darren dari lamunannya.

Michelle asik menempel padanya sejak tadi. Walau Michelle adalah cewek yang menyenangkan dan supel, tapi Darren tetap saja tidak terbiasa dekat dengan cewek manapun kecuali Zania.

"Gue mau ke perpus dulu," pamit Darren pada Michelle dan Rendy yang sedang asik mengobrol.

"Ikut kak," pinta Michelle.

"Cuma sebentar," Darren memberikan kode pada Rendy agar menahan Michelle untuk tidak ikut dengannya.

Entah telepati apa yang tersambung antara Rendy dan Darren sampai Rendy langsung mengerti maksud Darren hanya dengan lirikan mata.

"Eh, Michelle, sini aja. Gue punya sulap nih."

"Sulap apa, Kak?" Michelle terlihat antusias.

"Ayo dibantu ya. Prok prok prok jadi apa..." Rendy bertepuk tangan sambil mengikuti gaya salah satu pesulap terkenal yang ada di Indonesia.

Kesempatan itu dimanfaatkan Darren untuk meninggalkan mereka berdua. Darren juga tidak mengerti kenapa dirinya sangat ingin ke perpustakaan sekarang. Darren hanya ingin minta maaf kepada Mika. Iya, hanya minta maaf.

Begitu masuk ke perpustakaan. Darren tidak melihat dimana Mika berada. Dia sengaja menanyakan buku yang memang dia cari kemarin kepada penjaga dengan suara agak keras agar Mika dapat mendengarnya.

Tapi setelah beberapa menit dia menunggu tidak ada tanda-tanda Mika akan menghampirinya dan berteriak memanggil nama kembarannya.

Darren memutuskan untuk melihat-lihat sekelilingnya. Tidak mungkin tadi Darren salah lihat. Jelas-jelas cewek tadi adalah Mika. Lagipula Perpustakaan ini lumayan besar. Mungkin saja Mika tidak mendengar suaranya.

Darren mulai berjalan ke arah rak yang menyediakan buku-buku fiksi. Tipikal cewek mudah ditebak apa yang ia cari. Darren menyusuri rak sampai ujung. Hingga akhirnya matanya menangkap sosok yang ia cari tadi.

Dilihatnya Mika sedang berjinjit-jinjit meraih sebuah buku yang berada di rak paling atas.

Mungkin membantunya bukan ide yang buruk? Itung-itung sebagai permintaan maaf. Pikir Darren sambil mendekat ke arah Mika.

Hampir saja tawa Darren pecah melihat buku itu menjatuhi kepala Mika dengan keras. Dilihatnya ekspresi wajah Mika yang sangat lucu. Bibirnya yang merah ranum itu mencebik.

"What? Bibir? Gue cowok normal, wajar dong kalau gue salah fokus," batin Darren.

Darren menunduk menggambil buku yang menimpah kepala Mika tadi dan menaruhnya kembali di kepala Mika.

"Pendek." Refleks Darren mengatakan itu karena baru Darren sadari kalau Mika hanya setinggi pundaknya. Selama ini dirinya tidak pernah berdiri berdekatan dengan Mika.

Cewek berkulit putih itu menengok ke arah Darren. Matanya sangat jernih ketika Darren memandangnya. Mika wangi. Seperti bayi. Dan Darren baru menyadarinya sekarang. Darren mengamati manik mata itu hingga beberapa detik sampai dia tersadar karena dehaman Mika.

"Kakak kok di sini?" tanyanya masih dengan tampang bodoh.

"Kira-kira ngapain?" jawab Darren.

"Cari buku ya, Kak?"

Fix, Mika memang mendengar suaranya tadi. "Tapi kenapa dia nggak datengin gue? Dia menghindar?" batin Darren.

Darren duduk disalah satu bangku perpustakaan, diikuti Mika.

"Maaf buat kemarin."

Terlihat Mika mengernyitkan dahinya tidak mengerti.

"Bekal lo. Siapa yang makan kemarin?" Darren tidak pakar membahas masalah-masalah seperti ini. Dirinya merasa kaku hanya sekedar untuk minta maaf.

"Siska."

"Maaf ya, besok-besok mending nggak usah bawain bekal."

Darren melirik wajah Mika yang berubah menjadi sedih. Darren tidak bermaksud.

"Maksudnya kalau gue pengen makan masakan lo, gue bakal ngomong sama lo. Soalnya mubazir kan kalau ga dimakan," lanjut Darren.

Mika menggangguk menyetujui.

Hening sejenak. Darren tidak tahu apa yang harus ia bicarakan.

"Hari ini aku bawain kakak ayam suwir,"

Mika terlihat mencoba membuka obrolan baru. Darren merasa lapar seketika mendengarnya.

"Nanti gue makan."

Mika tersenyum sumringah.

Lagi. Senyum itu lagi.

Darren segera bangkit dari duduknya sebelum menyadari ada gelenyar aneh di hatinya ketika melihat senyum Mika.

"Gue balik ke kelas dulu," pamitnya.

Mika makin tersenyum lebar.

Bahaya.

Darren mempercepat langkahnya sebelum menengok lagi ke arah Mika yang masih memandanginya dengan binar mata yang penuh kegembiraan.

"I like spicy food," ucapnya sebelum menghilang dari pandangan Mika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status