Share

Part 2 : Warm

Ponsel Daffa berdering ketika baru saja ia menegakkan punggungnya dari sandaran kursi tempat biasa ia menandatangani dokumen-dokumen penting dan mengerjakan sesuatu dilaptopnya.

Diraihnya ponsel itu, yang ternyata terlihat panggilan dari ayahnya, Brata. Daffa segera menggeser tanda terima panggilan.

"Hi Dad." sapanya sambil memutar-mutar kursi kerja. "Bagaimana kabar kalian? Apa kalian bersenang-senang?"

"Daff.." balas Brata pelan. "Ada hal yang ingin ayah sampaikan."

Begitu mendengar suara Brata yang terdengar serius, Daffa mengerutkan keningnya.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu disana?"

"Tidak. Kami baik-baik saja. Hanya saja..."

"Ada apa?

"Kau ingat Lionel?"

Daffa tampak berpikir sejenak. "Lionel Jayadi?"

"Ya, dia pamannya Shine."

"Aku tau. Ada apa dengannya?"

"Dia menghubungiku, dia mengatakan ingin menemui Shine."

"Untuk apa?"

"Aku rasa ia akan mengambil hak asuh Shine."

"Bagaimana mungkin? Dia sudah tidak ber--"

"Dia bisa Daff." Potong ayahnya. "Dialah orang yang paling mungkin bisa mengambil hak asuh Shine, karena dia adalah satu-satunya keluarga yang memiliki hubungan darah dengan ayah Shine."

"Bukankah ayah sudah mengadopsi Shine secara hukum."

"Itulah yang ayah sesalkan, ayah pikir hal itu tidak perlu dilakukan karena Shine sudah dewasa waktu itu dan dia bisa mengerti kami sudah menganggapnya sebagai anak tanpa mengadopsinya secara resmi."

"......"

"Dan ayah juga tidak akan menyangka jika Lionel Jayadi akan kembali muncul untuk mengambil Shine."

Daffa mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.

"Tentu saja, perusahaannya yang ada di Vietnam sedang mengalami kebangkrutan, dia memerlukan biaya yang cukup besar untuk menyetabilkan perusahaannya itu."

"Kau juga mendengarnya Daff?"

"Iya aku mendengarnya. Dan aku tidak memperhitungkan hal itu sama sekali. Shine memiliki apa yang ia inginkan."

"Ayah akan segera pulang. Aku tidak akan rela jika dia mengambil Shine. Kenapa tidak dari dulu jika ia ingin melakukan itu."

"Tentu saja yang ia butuhkan hanya uang Shine saja, bukan gadis itu."

"Terus awasi Shine, Ayah dan Ibu akan segera kembali secepatnya."

Daffa menyimpan kembali ponselnya begitu panggilan terputus. Ia memijat keningnya. Kemudian kembali bekerja.

.

"Apa kau yakin dengan apa yang akan kita lakukan?"

"Jika kau ragu, maka kembalilah ke kelas Shine."

Shine melihat tas ranselnya yang sudah ada dalam pelukan. Ia tidak percaya jika ia akan mengikuti ide gila Vonie untuk membolos sekolah hari ini. Seumur-umur baru kali ini ia membolos. Selalunya ia akan pergi main dengan para sahabatnya sepulang sekolah.

Rencananya mereka akan keluar dengan melompati gerbang belakang kantin yang langsung terhubung dengan taman kota.

Vonie, salah satu sahabat Shine mengajak mereka bertiga untuk melihat pertandingan tinju salah satu lelaki yang menjadi targetnya. Ya, Vonie banyak menjadikan pria-pria target incaran untuk menjadi pacarnya termasuk Daffa.

Akhirnya mereka berhasil melompati gerbang satu persatu kemudian tertawa lepas sesudahnya saling memandang.

Tenyata Sophie sudah mengetahui rencana Vonie dari awal, ia sengaja memarkir mobilnya di luar, di depan salah satu minimarket dekat sekolah, agar mereka bisa melancarkan aksinya dengan mulus.

"Kau sudah mempersiapkannya soph?" tanya Jane membulatkan matanya begitu melihat mobil Sophie.

Gadis itu hanya mengangguk terlihat bersemangat. "Ehem.. aku juga ingin melihatnya, aku pernah melihatnya sekali dan dia sangat tampan."

"Jangan coba-coba merebutnya dariku Soph." ancam Vonie sambil masuk ke dalam mobil begitu Sophie membuka kuncinya.

Yang lain hanya tertawa termasuk Shine yang penasaran bagaimana tampang lelaki yang Vonie akan tunjukkan nanti.

Mobil melaju dengan kencangnya dan tape yang terpasang di mobil Sophie memainkan musik dengan gila-gilaan, mereka berjoget tanpa rasa malu di dalam mobil sambil mengikuti suara sang vokalis bernyanyi.

Tak lama mobil itu berhenti tepat di depan gedung pencakar langit yang kosong dan terbengkalai.

"Apa kau yakin?" Shine menatap sekitar gedung, tidak ada pekerja bangunan disana, gedung itu baru saja setengah dibangun, dan tidak ada tanda-tanda pembangunan akan dilanjutkan.

"Yep." jawab Vonie santai kemudian keluar dari mobil sambil memakai tasnya diikuti yang lain.

Shine dan Jane masih saja memperhatikan sekitar dengan wajah yang penuh pertanyaan. Sedangkan Sophie sepertinya sudah tahu untuk apa mereka datang.

"Ayo masuk." ajak Vonie.

Shine hanya mengikuti sahabatnya itu masuk ke dalam gedung.

Ternyata disana banyak terparkir mobil-mobil mewah dan motor-motor besar yang agak tersembunyi ke dalam.

Sebenarnya tempat apa ini? Shine tidak tahu, tapi ia merasa penasaran juga.

Di gedung kosong itu tidak ada lift, jadi mereka menaiki tangga untuk sampai ke atas.

Shine sudah kelelahan begitu sampai ke lantai lima. Tapi sayup-sayup ia dengar suara sorakan.

Sorakan-sorakan yang terdengar seperti sedang berteriak menyemangati seseorang.

Shine baru mengerti begitu terlihat banyak orang berkerumun mengelilingi dua orang yang sedang beradu tinju di tengahnya.

Ya Tuhan! Ternyata ini tinju liar!

Shine semakin mendekat mengikuti Vonie dan Sophie dan sudah tersenyum pada seseorang yang tampaknya sudah mereka kenal.

Ada banyak gadis muda yang terlihat seusia mereka, tapi hanya merekalah yang paling menarik perhatian, karena mereka masih mengenakan seragam sekolah. Sekolah Shine adalah sekolah yang terkenal dikotanya. Shine sedikit risih ketika mereka menjadi pusat perhatian.

Sebuah tanda seperti alarm berbunyi menghentikan pertandingan, dua orang yang bertanding itu memisahkan diri dan mendekati temannya masing-masing. Begitu juga salah satu pria yang langsung mendekati pria yang tersenyum pada Vonie dan Sophie tadi.

Vonie terlihat sumringah. Sepertinya pria yang dimaksud Vonie adalah salah satu petinju yang sedang bermain ini.

Pria itu juga tersenyum pada Shine, yang kemudian dibalas senyuman oleh Shine.

"Kau datang?"

Vonie mengangguk antusias.

"Nikmati pertandingan ini." Pria itu menegak air mineralnya.

"Semangat Jim!" Vonie mengepalkan tangannya memberi dukungan pada Pria yang bernama Jim itu.

"I will." ucapnya kemudian berbalik setelah mendengar suara alarm tanda pertandingan kembali dimulai.

"Bagaimana?" Tanya Vonie pada Shine dan Jane.

"Dia tampan." jawab Shine jujur, ditambah anggukan Jane yang setuju dengan ucapan Shine.

"Sudah ku bilang bukan." Vonie tersenyum bangga, ia sudah tidak fokus lagi dan asik melihat pertandingan di hadapannya.

Shine mengernyit ketika melihat lawan Jim dipukul dengan kerasnya hingga ia akan terjatuh. Begitupun ketika Jim terkena pukulan dari lawannya. Bukannya menampakkan wajah kesakitan, pria itu malah tersenyum seperti menikmati.

Hingga tiba-tiba beberapa orang menyelundup masuk dan menodongkan pistolnya.

God. Itu pistol !

"Angkat tangan! Kalian sudah kami kepung!" teriak salah satu pria tinggi besar yang Shine yakin adalah pemimpin dari mereka.

Oh God. Mereka polisi.

Wajah Shine memucat begitu dengan ketiga temannya. Beberapa orang berusaha kabur mengacaukan suasana, membuat polisi-polisi itu mengejar mereka.

Jane panik, ia mengajak mereka untuk berlari karena mungkin kesempatan mereka untuk kabur ada dalam keadaan yang kacau itu.

Sophie dan Vonie ikut berlari, ketika kaki Shine terasa kaku. Ia menatap polisi-polisi itu dengan takut hingga seseorang memegang tangannya.

"Ayo pergi."

Jim, teman Vonie tadi menariknya berlari ke arah tangga, dimana Vonie, Jane dan Sophie sudah berlari terlebih dahulu.

Kaki Shine sangat sakit ketika menuruni tangga dengan terburu-buru.

"Ada apa ini sebenarnya? Apa.. apa yang kalian lakukan hingga polisi-polisi itu datang." tanya Shine terbata, dengan napas yang tak teratur.

"Kami tidak melakukan apapun." elak Jim.

"Shine!" di bawah, teman-teman Shine sudah menunggu, ternyata mereka tidak meninggalkan Shine seperti yang Shine duga.

"Syukurlah Jim kau menyelamatkannya." kata Vonie.

Mereka akan kembali berlari, tapi terlambat. Tiga orang polisi sudah menodongkan pistol di sekeliling mereka.

"Ikut kami ke kantor polisi."

.

"Kalian negatif, kalian diperbolehkan pulang setelah wali kalian datang menjemput." ucap salah satu polisi kepada Shine dan teman-temannya. "Dan kau akan tetap disini untuk penyelidikan." lanjut polisi itu pada Jim.

"Ada apa sebenarnya ini?" tanya Jim tidak terima. Hasil tesnya juga sama negatif.

"Kami mendapat laporan tentang adanya pesta narkoba disana. Dan kami masih akan menyelidiki."

"Tapi kami tidak melakukannya! Dan kami tidak terbukti memakainya." bela Jim.

"Tapi tetap saja pertandingan tinju liar itu dilarang." skak polisi itu membuat Jim terdiam.

Shine tertunduk, menutupi wajahnya. Terkadang ia melihat sekitar, kepada orang-orang yang juga bernasib sama seperti mereka. Para pria dan para wanita yang berada di lokasi kejadian sedang diinterogasi. Bedanya mereka tidak memakai atribut sekolah mereka ataupun sesuatu yang bisa mengenalkan diri mereka secara langsung.

Tadi seorang polisi melihat mereka dengan tatapan kecewa karena mereka masih menggunakan seragam sekolah lengkap. Apalagi jika Daffa datang nanti? Pasti ia akan kecewa dan marah besar pada Shine. Membayangkannya saja Shine tidak sanggup.

Sementara itu...

Daffa memijat keningnya begitu ia menutup ponsel. Ia baru saja mendapat panggilan dari kantor polisi untuk menjemput Shine.

Apa yang Shine lakukan hingga ia bisa berada di kantor polisi? Padahal ini masih jam anak-anak untuk sekolah.

Daffa menghela napas kemudian merenggangkan dasinya. Ia mengambil kunci mobil dari atas meja kerjanya dan keluar dari ruangan.

Terlihat sekretaris Daffa berdiri begitu Daffa melewatinya. "Batalkan rapat pukul sebelas ini, aku ada urusan." ucapnya.

"Baik pak."

Daffa berlalu dengan pikiran yang berkecamuk.

Shine luput dari pengawasannya, lagi. Padahal ia sudah menghantarkan Shine sampai ke sekolah, tetapi ia lupa memastikan adiknya itu masuk ke dalam dan belajar atau tidak.

Apa yang akan orangtuanya katakan nanti jika mereka mendengar Shine ditangkap?

Daffa buru-buru masuk ke dalam ketika ia sampai di kantor polisi.

Disana ia melihat Shine tertunduk dengan wajah yang pucat. Banyak orang yang melakukan hal yang sama. Daffa kembali memijat keningnya dan mendekat.

"Saya wali dari Miracle Shine." ucapnya pada polisi.

Shine kaget, ia mendongak dan menatap Daffa yang tidak menatapnya. Tangannya bergetar melirik ke arah teman-temannya yang justru terus memandangi Daffa.

Ya Tuhan, bisa-bisanya mereka disaat seperti ini? Batin Shine mengutuk ketiga temannya yang memancarkan wajah berbinar tanpa kekhawatiran.

"Kami mendapat laporan bahwa ada pesta narkoba di xxx tepatnya jalan xxx, nona Shine adalah salah satu orang yang ada di tempat kejadian, jadi kami juga mengamankannya, tapi dia tidak terbukti menggunakan narkoba. Ini hasil tesnya." Polisi itu menjelaskan panjang lebar tanpa menunggu pertanyaan dari Daffa sambil menyerahkan laporan hasil tes milik Shine.

"Terima kasih pak, aku akan lebih mengawasinya." tukas Daffa menyalami polisi itu. "Bisakah aku membawanya pulang sekarang?"

"Tentu saja pak, silahkan."

"Bagaimana dengan ketiga temannya?" tanya Daffa melihat Shine bersama ketiga temannya yang lain.

"Kami sudah menghubungi orang tua mereka."

"Baiklah kalau begitu. Sekali lagi terima kasih."

Dengan meremas-remas tangannya Shine bangkit dari kursi. Ia melihat wajah-wajah kecewa sahabatnya dan memberikan kode 'aku duluan' pada mereka dan pada Jim yang masih bisa tersenyum melihatnya.

Perlahan Shine mengikuti Daffa yang berjalan di depan tanpa menatapnya. Tentu saja, pasti Daffa sangat marah dan kecewa padanya.

Shine akan melakukan apapun untuk menebus kesalahannya nanti, ia akan meminta maaf pada Daffa dan memohon pada pria itu untuk merahasiakannya dari ayah, ibu serta Darren.

Habislah ia jika mereka tahu.

Daffa membuka pintu mobil masih dengan kebisuan.

Dengan takut-takut juga Shine membuka pintu mobil di sebelahnya.

Ia merasa suasana semakin dingin ketika ia sudah berada di dalam mobil.

"Syukurlah."

Shine bergeming ketika sebuah tangan besar mengelus rambutnya. Terdengar helaan napas lega dari pria disampingnya itu. Shine memberanikan diri untuk menatap Daffa.

Pria itu tersenyum.

Kakaknya itu tersenyum dengan lembut menatapnya.

Manik hitam itu memancarkan sorot mata teduh.

"Syukurlah kau tidak menyentuh barang haram yang bisa merusakmu." ucap Daffa masih dengan penuh kelembutan yang membuat Shine terpana dan heran di waktu yang bersamaan. Membuat hatinya menghangat.

"Ka..Kak? Kau.. tidak marah padaku?" tanyanya takut-takut.

Daffa menggeleng. "Aku cukup lega mendengar kau tidak terbukti memakainya."

"Be..benarkah?"

"Apa kau lapar Shine?"

Shine mengangguk-angguk. Ia hampir saja menangis dan menerjang Daffa untuk memeluknya jika saja Daffa tidak sedang memutar kemudinya.

"Baiklah, ayo kita makan siang bersama."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status