Tepukan pada bahunya membuat Abraham memalingkan wajah sejenak. Galileo menaikkan sebelah alisnya sembari menatapnya penuh heran.
“What’s up, Bro? Dari pagi itu kerutan di dahi nggak surut-surut. Ada masalah?”
Abraham tidak berkomentar apa-apa. Karena sekali ia membuka mulut untuk Galileo, maka sama halnya dengan memberikan informasi secara cuma-cuma layaknya di akun gosip yang bertebaran di instagram. Lagipula tidak ada untungnya juga Abraham berbagi cerita. Toh, yang akan menjalaninya adalah dirinya sendiri.
“Gimana setelah bertemu orangnya?” tanya Galileo penasaran. Abraham tidak menjawab. Ia masih memandang foto ditangannya dalam diam. “Masih kurang puas walaupun sudah lihat orangnya langsung?” tambahnya lagi semakin penasaran.
“Harusnya sejak dulu gue sumpal mulut ember lo itu ya, Gal,” sahut Abraham dengan wajah datar. “Mulut lo nggak ada bedanya sama mulut perempuan.”
Galileo tertawa menimpali. “Lo jadi orang sensian banget sih, Ab. Pantesan nggak ada yang mau sama elo.”
“Sialan!!” Abraham mengumpat sembari melempar bolpoin yang ia pegang. “Gue memang belum menikah, tapi bukan berarti gue nggak laku.”
“Kalau gitu berarti lo memang kurang penyaluran. Jujur sama gue deh, Ab. Lo sudah berapa lama nggak kena belaian perempuan?”
“Sialan!!” Lagi-lagi Abraham mengumpat. Meskipun cara bicara Galileo suka sembrono, tapi Abraham suka bergaul dengannya. Galileo adalah adik tingkat Abraham sejak ia menempuh kuliah kedokteran gigi dulu. Sifatnya sedikit mirip dengan Danesha. Tipe santai yang malah terkesan amburadul untuk dirinya yang serba terorganisir. Tidak peduli mau sekecil apapun. Mungkin karena sifatnya itulah Abraham sedikit kesulitan dalam bergaul, meskipun dengan tampang dan otak di atas rata-rata seperti itu.
Jadwal praktik hari ini berakhir lebih cepat dari yang Abraham duga. Dengan terburu-buru Abraham melepas snelli yang dikenakannya dan menggantungnya dibelakang kursi kemudi. Entah kenapa hari ini Abraham ingin secepatnya pulang ke rumah. Perasaan hatinya tiba-tiba tidak enak.
Masa sih karena mau hujan? Batin Abraham.
Hujan mengguyur hampir semua bagian kota Surabaya malam ini. Cukup lebat untuk ukuran para pejalan kaki, tapi tidak cukup lebat untuk para pengendara. Abraham melirik ponselnya sejenak saat lampu jalanan berubah warna menjadi merah. Pesan Whatsapp dari Arabella membuatnya spontan melebarkan mata. Kira-kira begini isi pesannya.
Dari : Arabella
Mas Abe, mampir ke minimarket ya.
Tolong belikan Ara pembalut.
Selama hidup Abraham tidak pernah mau membeli barang khusus perempuan itu sendirian. Dulu sewaktu ia masih anak-anak mungkin itu adalah hal biasa. Tapi sejak ia mendapatkan puber pertamanya, Abraham menolak dengan keras melakukannya lagi.
Dari : Arabella
Mas Danesh sudah keburu sampai rumah.
Balasan Arabella membuat Abraham tidak bisa menolak. Suka tidak suka dengan terpaksa ia mengabulkan permintaan adik perempuannya itu. Mobil Abraham pun menepi disalah satu minimarket yang letaknya menjorok ke dalam jalan. Sambil berkeliling dari lorong ke lorong mencari pesanan yang Arabella maksud, Abraham tak henti-hentinya celingukan. Mulai dari brand, isi dalam kemasan, sampai ada sayapnya atau tidak semuanya dengan detail ia baca satu per satu sesuai dengan instruksi adik perempuannya itu. Tentu jangan ditanyakan lagi bagaimana wajah Abraham sekarang. Ia terlalu malu sampai tak bisa berkata-kata.
Mata Abraham terpaku pada sosok familiar yang tengah sendirian dipojokan mesin ATM. Padahal barusan saja ia melihat foto perempuan itu di rumah sakit. Dan siapa yang sangka jika Tuhan memberinya kejutan lain. Laura Wilona seolah menantang dirinya dalam diam. Ia menatap Abraham dengan wajah tanpa dibuat-buat, membuat Abraham kesulitan menebak apa yang ada dalam pikirannya. Laura begitu tenangnya menjawab pertanyaan random yang ia lontarkan. Laura dengan begitu mudahnya mengaitkan pandangannya tentang kehidupan pernikahan dengan realita. Dan lagi-lagi membuat Abraham tidak bisa mengabaikannya. Ia benar-benar takjub dengan cara berpikir perempuan itu.
Tiba di rumah sambutan penuh tawa Abraham peroleh dari kedua adiknya. Kantong plastik berisikan pesanan Arabella ia lempar ke lantai dengan begitu keras.
“Kalian berdua mengerjaiku?!” tukasnya geram. “Katakan padaku siapa dalangnya?”
Salah satu di antara mereka tidak ada yang menjawab, selain suara tertawa yang semakin membuat bising rumah di malam hari. Abraham merebahkan tubuhnya di sofa. Bersamaan dengan itu Bunda muncul dari pintu kamar yang terbuka.
“Sudah makan malam?” tanya Bunda lalu duduk disamping putra sulungnya. Usapan Bunda pada pucuk kepalanya membuat Abraham seketika dilanda rasa kantuk. “Ada sesuatu yang ingin Bunda sampaikan padamu tentang perjodohan kemarin.”
Abraham mengerjapkan kedua matanya sembari bangkit dari posisinya. “Abe menolak, Bun. Biarkan Abe mencari sendiri calon pendamping Abe nanti ya,” pintanya.
Bunda menghela napas. “Alasan yang sama selalu Bunda dengar sejak tiga tahun yang lalu. Pokoknya Bunda nggak mau tahu, Ab. Bunda terlanjur berjanji. Sabtu ini kosongkan semua jadwalmu. Kita pergi menemui mereka.”
Abraham melebarkan matanya. “Sabtu ini? Ini sama saja membeli kucing dalam karung. Abe harus tahu dulu perempuan seperti apa Laura Wilona itu.”
“Danesh bilang kamu sudah tahu orangnya. Bahkan nama lengkapnya pun kamu sudah tahu. Tunggu apalagi? Itu sudah lebih dari cukup.”
***
“Sudah dong Mas mogok bicaranya,” kata Danesha berusaha membujuknya
Sejak perdebatan singkatnya dengan Bunda, Abraham benar-benar mogok bicara dengan adik laki-lakinya itu. Jika bukan karena mulut ember Danesha, pasti Abraham tidak akan sulit membujuk Bundanya. Maka di sinilah mereka sekeluarga sekarang. Di depan rumah bercat putih berpagar hitam yang baru saja ia kunjungi beberapa hari yang lalu.
Di saat orang di luaran sana tengah menikmati kehidupan bebas mereka, Abraham justru harus terjebak dengan perjodohan konyol diusianya sekarang. Terlebih lagi Abraham tidak tahu bagaimana reaksi Laura nanti kalau selama ini ia menyembunyikan identitasnya. Wajah seperti apa yang akan Abraham dapatkan ketika perempuan itu melihatnya nanti? Ah, tidak. Itu tidaklah penting. Mau seperti apa ekspresinya nanti Abraham tidak peduli. Semakin ilfeel Laura padanya, maka itu semakin bagus. Betul, kan?
“Jadi Dek Bagas dan Dek Ayu, ini Abe yang pernah Mbakyu ceritakan,” kata Bunda membuka obrolan.Abraham menyalami Mama dan Papa Laura secara bergantian kemudian dimulailah obrolan utamanya.
“Sekedap nggeh, Mbak. Laura tasik ten kamar mandi,” balas Mama Laura tidak kalah sopan. (Tunggu sebentar ya, Mbak. Laura masih di kamar mandi)
Obrolan basa-basi pun berlanjut. Dimulai dari hal sekecil apapun tidak luput menjadi topik obrolan. Semua pasti dibahas. Bahkan Danesha tidak bisa menyembunyikan rasa jengahnya berada ditengah-tengah atmosfir seperti ini. Berulang kali adik laki-lakinya itu sibuk sendiri dengan ponsel ditangannya. Selang beberapa saat kemudian Laura muncul. Dengan terusan berwarna maroon serta ikatan rambut ala kadarnya, sukses membuat dua laki-laki Wibisana terpaku untuk sesaat.
“Laura,” katanya menyapa Bunda. “Ibu apa kabar? Sehat, Bu?”
Abraham melihat senyuman di wajah Bundanya. Anggun serta bertutur kata sopan. Benar-benar tipe calon menantu idaman Bunda. Kemudian tatapan Laura teralih padanya. Laura melebarkan mata sembari membalas jabatan tangan Abraham. Persis sama yang Abraham duga. Ekspresi Laura sungguh tidak bersahabat.
“Senang ya, Dok berhasil mempermainkan saya?” katanya tegas saat mereka berdua berada di taman. Mereka berdua menepi disaat para orangtua memberi mereka ruang untuk bicara empat mata. “Bisa-bisanya saya nggak menaruh curiga ketika Mama menyebutkan nama. Padahal saya tahu nama ‘Abraham’ bukanlah nama pasaran.” Laura menggeram kemudian menatap Abraham kembali. “Dokter nggak punya pembelaan sama sekali sepertinya.”
“Saya ... ah, aku nggak bermaksud begitu,” kata Abraham. “Aku hanya ingin tahu seperti apa calon istri yang dipilihkan oleh Bunda. Apa itu salah?”
Salah, Ab.
Sejak kapan lo jadi peduli begini? Batin Abraham.
“Dengan bersikap seolah nggak tahu apa-apa, gitu?” kata Laura. “Jika saja dari awal Dokter mau jujur, saya akan sangat menghargai Dokter kemari.”
“Jadi maksudmu kamu nggak menghargai kedatangan kami?” Abraham merasa tersinggung.
Laura menghela napasnya. “Bukan tidak menghargai. Hanya saja saya itu paling nggak suka penguntit, Dok.”
“Penguntit?!” Abraham kembali mencoba mengendalikan emosinya. “Apa nggak kelewatan? Aku memang nggak jujur, tapi nggak ada juga yang kurugikan darimu, kan? Kenapa sikapmu ini seolah-olah kamu adalah korban? Jangan sok drama-lah.”
“Drama?!?” Laura menaikkan nada bicaranya. “Maksud Dokter apa ngomong gitu?”
“Dengar! Baik kamu ataupun aku, kita berdua sama-sama korban perjodohan. Memangnya kamu pikir aku mau dijodohkan seperti ini? Ini bukan gayaku.”
“Good. Berarti semakin mempermudah kita untuk membatalkan perjodohan ini, kan? Nggak perlu basa-basi. Kita katakan sekarang juga bila perlu.”
“Deal ....”
Detik itu juga mereka bicara terang-terangan dengan para kedua orangtua. Keduanya telah sepakat tidak melanjutkan perjodohan ini. Abraham beserta Laura punya alasan tersendiri dan tidak dapat diganggu gugat. Mereka berdua sama-sama memiliki keyakinan yang keras dalam mempertahankan pendapat. Bunda mengunci rapat bibirnya sejak setibanya mereka di rumah. Bunda benar-benar kecewa karena telah kehilangan menantu idamannya.
Ponsel Abraham bergetar di dalam saku celana bahannya. Sebuah nomor bertuliskan nama ‘Galileo’ menghiasi layar ponselnya.
“Kenapa, Gal?” sapa Abraham.
“Iseng, Ab. Gimana acara temu jodohnya? Sukses?”
Terdengar suara tawa Galileo diseberang. Membuat Abraham ingin membanting ponselnya.
“Nanti saja gue ceritain. Lo di mana sekarang? Berisik amat.”
“Di tempat biasa, Ab. Mumpung nggak ada jadwal praktek hari ini. Lo mau gabung? Gue bisa open table baru.”
Abraham tidak langsung menjawab. Ia mengecek arloji di tangannya terlebih dulu sebelum melanjutkan obrolannya.
“Gue jalan ke apartemen lo sekarang, Gal.”
Rutinitas Laura kembali seperti sedia kala. Tidak ada obrolan lanjutan mengenai pembahasan perjodohan di rumah. Bahkan Mama dan Papa juga tidak memaksakan kehendak mereka lagi pada anak semata wayangnya. Sepertinya tindakan Laura hari itu telah membuka mata kedua orangtuanya. Laura teringat apa yang Mama dan Papa katakan.“Mama sayang sama kamu, La. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama nggak mau kamu salah langkah. Tapi nyatanya Mama yang selama ini telah salah langkah.”“Papa juga, Nak. Papa juga salah karena nggak bisa menghentikan Mamamu. Maafin Papa ya, La.”
Freya tidak kuasa menahan tawanya. Ia sama sekali tidak menyangka jika sahabatnya yang cantik itu diberikan julukan ‘Perempuan Alien’ oleh mantan calon suaminya. Laura tertegun memandang Freya yang masih tergolek lemas memegangi perutnya yang mendadak kram akibat terlalu banyak tertawa. Pertemuan Laura dengan Abraham waktu lalu meninggalkan kesan mendalam untuknya. Laura benar-benar tidak menyangka jika dokter tampan itu ada di tempat kejadian. Entah disengaja atau tidak.“Sumpah deh, La. Aku jadi penasaran seperti apa sosok Dokter Abraham itu. Kocak banget Dokter satu itu. Apa dia ganteng? Kenapa dari sekian ribu kata yang ada di dunia ini harus alien yang dia pilih sih? Pasti masa kecilnya dulu kurang bahagia,&r
Abraham memaki dirinya. Ia tidak menyangka jika keputusannya membatalkan perjodohan waktu itu berimbas negatif pada keluarganya. Suasana seisi rumah tidaklah sama lagi seperti sebelumnya. Begitu banyak perubahan yang terjadi, termasuk pada Bundanya. Bunda masih mogok bicara padanya sampai sekarang. Mau sekeras apapun Abraham berusaha meminta pengertian, Sang Bunda tetap tidak bergeming sama sekali. Bunda bahkan seolah-olah tidak menganggap Abraham ada di rumah. Mau ia pulang atau tidak, Bunda tidak peduli. Benar-benar hebat daya pikat dari perempuan bernama Laura Wilona untuk Bunda. “Berdamai saja lah, Mas. Mengalah sama Bunda,” sahut Danesha ketika masuk ke kamarnya tanpa
Laura melenggang masuk ke dalam sebuah resto tempat di mana ia membuat janji. Seseorang melambaikan tangan ke arah Laura seolah memberitahunya ke mana meja yang harus ia tuju. Abraham meneliti Laura dengan sebelah alisnya yang terangkat.“Telat tiga puluh menit,” kata laki-laki itu ketika Laura meletakkan bokongnya di kursi. “Aku paling nggak suka menunggu orang tukang ngaret begini,” tambahnya lagi.“Kalau nggak suka kenapa nggak pergi dari tadi saja? Aku kan sudah bilang akan datang telat. Lagian Mas sendiri kan yang nggak mau ganti hari? Ya itu konsekuensinya,”
Kesepakatan yang terjadi di antara Laura dan Abraham akhirnya terlaksana siang ini di hari Minggu setelah sehari sebelumnya Abraham mengabarinya via Whatsapp. Laura berulang kali membetulkan letak pakaian yang melekat di tubuh semampainya, dan berharap ia tidak salah memilih pakaian. Salahkan Abraham yang tidak memberinya masukan tentang busana apa yang pantas ia kenakan saat bertemu dengan Bundanya nanti—membuat Laura harus putar otak memilah pakaian yang ada di lemarinya saat ini.“Mau pakai pakaian apa saja terserah. Asalkan nggak telanjang.” Begitu balas Abraham tadi. Dibilang kesal, jelas Laura kesalnya bukan main. Walaupun pernikahan ini nantinya hanyalah sebuah perjanjian belaka, tapi setidaknya Laura harus
Dugaan Laura terjawab. Abraham membawa keluarganya datang ke rumahnya satu minggu kemudian. Rona kebahagiaan Bunda terpancar ketika bertemu dengan Mama di garis pintu. Arabella pun bahkan menyapanya dengan pelukan hangat dengan senyum Danesha sebagai penutup. Sementara Abraham? Laki-laki itu memberinya seringai mengesalkan seperti yang biasa laki-laki itu berikan padanya. Pembicaraan dua keluarga berlangsung cukup intimate, penuh canda dan tawa serta kekeluargaan. Sayangnya tidak bagi Laura. Laura bahkan tidak bisa menjelaskan perasaan yang membelenggu hatinya sendiri—antara kebutuhan ataukah hanya keterpaksaan. Laura cukup memberikan senyum termanis, maka tidak akan ada yang tahu bagaimana kondisi hatinya sekarang yang sebenarnya.
“Pantesan,” celetuk Laura ketika ia turun dari kursi gigi yang selalu ia duduki hampir setiap bulan untuk kontrol. Bulan ini adalah waktunya Laura kontrol gigi seperti biasanya. Mungkin karena sekarang Laura jauh lebih mengenal Galileo, makanya suasana di dalam ruangan jauh lebih santai ketimbang sebelumnya. “Memangnya Abe nggak pernah cerita?” Laura menggeleng. “Kebangetan manusia kanebo satu itu. Masa calon istrinya harus tahu dari orang lain,” tambah Galileo kemudian sembari mensterilkan alat-alat yang habis ia pakai.Singkatnya klinik yang biasanya Laura kunj
Area pantry menjadi salah satu tempat rehat ternyaman hampir seluruh staf dikala mereka penat karena harus berkutat di depan laptop sejak pagi. Begitu pula dengan Laura. Ia tengah menyeduh cokelat kemasan ketika Freya berdiri di garis pintu sembari mendekap lengannya di dada.“Yang mau nikah beda ya. Sibuk sampai nggak ada waktu buat temannya sendiri,” sindir Freya.Laura terkekeh menimpalinya. “Harap maklum dong. Persiapannya malah nggak sampai tiga bulan. Nggak hanya pesta, mentalku pun harus sudah siap,” sahut Laura sambil lalu. “Kenapa? Kamu kesepian karena nggak ad