Kanya POV
"Ah!!!" aku berteriak sekencang mungkin ketika kabut merah sepekat darah yang mengalir dari dada Eros—menyelubungi selsuruh gudang tempat aku menikam pria itu. Mataku terbuka dan napasku tersengal-sengal seperti telah berlari puluhan meter jauhnya, serta keringat dingin membasahi seluruh badanku, untungnya aku tidak mengompol karena ketakutan.
Akan sangat memalukan bagi perempuan seusiaku, ketakutan karena mendapatkan mimpi buruk sampai mengompol. Membayangkan saja rasanya lebih mengerikan daripada menikam dada Eros dengan belati.
Aku mencoba menegakkan tubuhku. Kepalaku amat berat dan sakit seolah dipukul dengan pentungan. Membenahi pernapasanku agar lebih santai lantas aku bersandar.
"Mimpi itu lagi, berulang kali tetap sama dengan ending yang sama pula." Gumamku pelan. "Hah," menghela napas lemah itu yang dapat aku lakukan untuk saat ini ketika napasku sudah mulai membaik, tidak tersengal seperti beberapa saat lalu.
Kuperhatikan kesepuluh jemari tangan yang mengetik naskah dengan part pembunuhan di dalamnya, juga tangan yang telah menikam dada pria bernama Eros. Mereka masih tetap sama lurus tanpa ada lecet sedikitpun.
Tenggorokanku terasa kering karena berteriak bukan hanya dalam mimpi saja, namun aku benar-benar berteriak dalam tidurku. Tanganku mengambil gelas yang sudah terisi air di atas nakas. Tetapi, aku segera menghentikan pergerakan tanganku ketika mencapai gelas di atas nakas tersebut.
Aneh! Aku menarik kembali tanganku.
"Tunggu sebentar. Bukannya gue ketiduran di meja belajar? Setelah gue matiin laptop dan semuanya sudah gelap. Kenapa gue bisa ada di tempat tidur?" aku spontan mengambil gelas di atas nakas. Lantas meneguk air tersebut dengan tergesa-gesa.
Satu gelas penuh air pada gelas itu telah masuk ke dalam tenggorokanku dengan sekali teguk. Aku gemetar karena kebingungan juga rasa takut. Apakah aku berjalan sambil tidur tadi malam sehingga aku berada di ranjang, bahkan lengkap dengan selimut yang menutupi tubuhku? Ini gila! Tidak cukup dengan mimpi buruk berulang, sekarang ... hal aneh seperti ini pun terjadi.
"Apa Sam balik lagi buat pindahin gue ke kamar? Nggak mungkin dia balik lagi karena udah malam banget. Terus siapa?"
Aku memijat pelipisku karena rasa sakit kepalaku makin menjadi ketika wajah pria yang aku tikam semalam singgah dalam pikiranku. Setiap kali mimpi ini datang seperti melahapku hidup-hidup, aku takut akan menjadi gila hanya karena sebuah mimpi.
Pernah aku ingin menemui psikiater. Namun aku mengurungkan niatku karena aku rasa tidak terlalu penting dan aku bisa mengatasinya. Sampai sekarang aku masih bisa mengatasi hal yang disebut mimpi buruk ini, meskipun demikian rasa sakit kepalaku bagaikan nadi-nadi dalam otakku pecah. Sakit sekali.
"Eros." Seketika nama pria dalam mimpiku terlontar begitu saja dari mulutku. "Nggak mungkin dia! Dia nggak nyata!" aku segera menepis pikiran konyol tersebut.
Tidak mungkin Eros membawaku ke tempat tidur, lalu masuk ke dalam mimpiku, 'kan? "Hahaha, ada-ada saja." Sembari terkekeh canggung, aku bangkit dari ranjang, masih dengan kepala terasa berat. Melangkah sempoyongan menuju ke kamar mandi layaknya orang mabuk, selalu seperti ini dan membuatku terbiasa akan hal ini.
Aku masuk ke kamar mandi dan melihat pantulan diriku pada cermin. Rambut lurus acak-acakan, kantung mata hitam dan wajah kusam seperti kurang tidur. Ya, memang aku kurang tidur berkat mimpi aneh yang tak kunjung berakhir.
"Sampai kapan gue harus begini?"
Tanganku masih gemetar ketika mengambil sikat gigi, kemudian membubuhkan pasta gigi di atasnya. Aku mulai menggosok gigi dan menelisik kesalahan apa yang pernah aku buat hingga didatangi oleh pria tampan, meskipun harus mati di tanganku.
Kepalaku terasa berat dan kelopak mataku hampir jatuh, rasa sakitnya membuatku ingin tidur kembali. Beruntung aku sudah terbiasa dengan semua ini dan tidak lagi muntah seperti dulu.
"Salah gue apa coba? Mimpinya terasa nyata banget, gagal paham gue. Apa gue harus ke psikiater, ya?" menghela napas berat. Jika aku sampai pergi ke psikiater, maka aku akan meragukan kesehatan mentalku. Aku sendiri masih bisa menulis dengan tenang dan memakai logikaku. Mungkinkah jika aku tidak menulis lagi, mimpi itu tidak akan pernah datang lagi? Ataukah aku harus beralih haluan dan menulis novel dengan genre lain?
****
45 menit kemudian, setelah melakukan relaksasi di bak mandi. Aku sudah merasa agak tenang dari pagi yang mencekam. Kepalaku masih agak berat, tapi badanku terasa segar berkat busa-busa yang aku siapkan sebelum mandi.
Seperti biasanya aku mengenakan busana kasual karena aku hanya akan tinggal di dalam apartemen saja. Setelah memutuskan untuk tinggal sendiri dan menyewa apartemen ini, sudah 1 tahun lamanya. Sementara orang tuaku berada di kampung.
Aku pergi ke kota dengan tujuan mencari pekerjaan, nyatanya mencari pekerjaan sangatlah susah, apalagi untukku yang hanya lulusan SMA. Harapanku pada waktu itu sangat tinggi karena bosan berada di kampung dan hanya bertemu dengan orang-orang yang sama setiap hari.
Kupikir setelah aku pergi ke kota, mendapatkan pekerjaan, aku akan bertemu dengan teman-teman baru. Berbagai perusahaan sudah aku datangi, tidak ada satu pun yang melirik CVku. Hingga aku menemukan sebuah aplikasi membaca yang mengubah hidupku sekarang ini.
Dalam platform tersebut mengadakan sebuah lomba menulis. Aku hanya mencoba-coba menyalurkan ide-ide dalam kepala saat aku merasa bosan ketika menunggu panggilan kerja. Tiga bulan menunggu sambil menaruh CV ke berbagai perusahaan masih tidak membuahkan hasil.
Sebenarnya aku tidak pernah membayangkan tulisanku akan memenangkan lomba itu dan menjadi pohon uangku sekarang. Selama satu tahun aku menggarap novel pertama dan memiliki hingga ratusan chapter. Dalam sehari jumlah pembaca di setiap chapter sudah melebihi gaji yang diberikan oleh platform tersebut, dan saat ini novel keduaku juga sedang booming seperti novel sebelumnya, meskipun baru memiliki 11 chapter.
Setelah bermimpi buruk samalaman, perutku terasa lapar dan harus segera mendapatkan asupan pagi.
"Masak apa, ya, hari ini? Gue malas banget."
Membuka pintu kulkas dengan malas, hanya untuk menemukan tiga butir telur di dalamnya. Apalagi yang lebih memuakkan daripada pagi ini?
"But why?" gerutuku kesal. "Nasib, tiga butir telur buat satu hari? Nggak ada daging pula, nih, gara-gara Sam. Dia makan semua isi kulkas gue semalam. Pekerja kantoran malah numpang makan di rumah orang."
"Siapa yang lo bilang numpang makan?"
Tanpa aku sadari, Samuel Wijaya telah berdiri di pintu masuk sambil menutup pintu tersebut. Aku lupa bahwa dia bisa masuk ke apartemenku seenak jidatnya. Harusnya kuganti saja kata sandinya agar dia tidak bisa masuk ketika aku sedang membicarakan dirinya.
"Lo bikin kaget aja, mentang-mentang gue kasih password apartemen gue. Lo nggak bisa juga seenaknya main masuk gitu aja, Sam." Dengan memasang muka tebal aku sengaja mengalihkan pembicaraan agar dia lupa aku telah menggerutu di belakang punggungnya.
"Oke, gue keluar."
"Eh?"
Samuel Wijaya sungguh-sungguh keluar dari apartemenku, tapi sesaat kemudian bel berbunyi dan suara Samuel terdengar dari luar memintaku untuk membukakan pintu.
Dengan terpaksa aku membuka pintu dan melotot pada pria itu. "Sam, but why?"
Bersambung
Aku mencari sesuatu yang sepertinya hilang dari pandanganku. — Apple Leaf
Kanya POVSamuel Wijaya menghiraukanku dan masuk ke dalam apartemen, tidak lupa dengan bungkusan hitam di tangannya. Dia menoleh ke belakang ketika aku sudah menutup pintu apartemen."Tadinya gue mau langsung ke kantor aja, tapi sayang banget sama bungkusan ini. Jadi gue ketok pintu terus bertamu dengan sopan seperti kata seseorang." Ucapnya sembari tersenyum menyindir serta mengangkat bungkusan tersebut tinggi-tinggi.Aku memperhatikan dengan tatapan malas pada bungkusan tersebut yang telah kuketahui isinya. Semalam Samuel Wijaya memasak semua isi kulkasku, aku pun makan banyak tadi malam. Jadi, bukan hanya kesalahannya saja yang telah membuat isi kulkasku kosong, namum aku juga ikut andil dalam mengosongkan isi kulkasku sendiri."Kayaknya gue harus makan sendiri aja deh di luar." Samuel kembali mengambil langkah mendekat ke arah pintu.Sebelum dia bisa meraih gagang pintu, aku yang mas
Kanya POVSetelah Samuel Wijaya keluar dari apartemenku, aku berhenti memakan sarapan. Termenung sejenak, cairan hangat jatuh dari pelupuk mata tanpa aku sadari sebabnya. Perlahan dadaku terasa sesak dan rongga dalam hatiku terasa disisi oleh sesuatu yang tidak aku ketahui.Rindu. Seperti rasa rindu yang melelehkan darah beku dari setiap nadiku. Air mataku semakin deras dan terasa hangat, tidak dapat kutahan lagi, tangisan tersedu-sedu memenuhi apartemenku.Aku sendiri tidak yakin darimana datangnya hujaman kerinduan ini muncul dan mengiris jantungku. Seketika wajah kesakitan Eros melintas dalam benakku, dadaku semakin sesak dan hatiku semakin tercabik. Pria itu tidak nyata dan aku sendiri telah berulang kali menikamnya dengan kejam menggunakan tanganku.Memperhatikan tangan-tangan yang telah menikam pria itu tanpa belas kasih. Rasanya aku ingin menusuk tanganku sendiri. Menunduk karena rasa sesak di dada
Kanya POVDengan kaki yang gemetar menjadikan tubuhku terasa lemah. Aku berhasil keluar dari kamar meski harus terjungkal sampai-sampai membuat kulit telapak tanganku terkelupas."Ini masih pagi, setan mana yang mampir ke apartemen gue?" kakiku amat lemah sehingga aku terduduk di lantai. Mengedarkan pandanganku ke setiap sudut dalam apartemenku. Tidak ada siapa pun, hanya aku seorang diri.Tak ada suara dentingan benda pecah belah dari dalam dapur. Piring, garpu, sendok dan gelas tertata rapi ditempatnya, bahkan angin tidak menyapa benda-benda itu, namun suara dentingan dari sebuah gelas menyapa telingaku.Tubuhku makin bergetar lantaran rasa takut sudah mengalir ke dalam venaku. Sentuhan dari tangan dingin yang baru saja menyapa tengkukku di dalam kamar, saat ini terasa semakin menjadi."A—" suaraku tercekat layaknya orang bisu berusaha untuk sekadar mengucapkan kata sederhana. Aku merangkak
Eros POVPria bernama Bambang menghentikan langkahku. Aku baru pindah ke apartemen ini tadi malam dan belum mengetahui siapa saja tetanggaku. Badanku sangat lelah dan aku juga mengantuk karena baru pulang kerja dan tidak menyangka melihat wanita aneh yang keluar dari apartemennya dengan ketakutan berlebih.Sungguh aku tidak ingin berbicara dengan mereka apalagi wanita histeris yang aneh itu, mengatakan bahwa aku adalah hantu. Mungkinkah dia memiliki gangguan psikologis? Tidak menyangka kalau aku memiliki tentang-tetangga yang cukup aneh. Wanita itu masih beringsut di belakang pria dengan perawakan tinggi serta otot-ototnya sangat kekar dan tidak lupa kepalanya juga botak, penampilan benar-benar mencerminkan seorang bodyguard di mataku.Kuperhatikan lagi arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 9 pagi. Aku bahkan belum mandi apalagi sarapan dan saat ini perutku sudah lapar. Mengelih pada dua orang aneh di depanku aku be
Kanya POVKakiku sangat lemas setelah menutup pintu apartemenku. Aku terduduk lemas di lantai, senyum kecut menghiasi bibir merahku. Ingin rasanya mengeluarkan air mata, namun cairan bening itu tidak kunjung terjun dari mataku.Yang ada saat ini hanyalah rasa takut menyeruak ke dalam setiap nadiku. Lelah. Setelah rasa takut itu tubuhku menjadi letih, aku tidak bisa melanjutkan menulis dengan keadaan seperti ini.Kucoba bangkit dan berjalan dengan kaki lemasku. Perlahan aku menuju ke kamar sembari mengedarkan pandangan. Semoga hantu itu sudah pergi ke apartemen sebelah. Pergi ke apartemen pria sombong bernama Eros."Dari wajah, tinggi, bahkan nama pun sama. Kebetulan macam apa ini?" sedikit menggelengkan kepala, aku masih terheran-heran dengan kebetulan yang ada di depan mataku tadi. Plak! Sekali lagi aku memukul pipiku pelan, berharap semua hanyalah mimpi karena kebetulan ini sangatlah mustahil bagiku. "Sakit! Emang
Kanya POVTubuhku bagaikan sebuah boneka yang dipasangi oleh puluhan tali yang digerakkan oleh pria itu. Tali-tali yang menggerakkan tubuhku tanpa sadar dapat aku lihat dan aku sudah terduduk di dalam mobil sport hitam milik Eros."Tali?" melihat seluruh tubuhku, semua tali yang mengikatku barusan telah menghilang, aku menatap aneh pada Eros di kursi kemudi. Dia sama bingungnya denganku padahal dia sendiri yang menggerakkan tubuhku. "Elo!""Apa? Tali apa?" Eros Darwin malah balik bertanya padaku. Mimik wajahnya benar-benar nampak kebingungan seperti orang yang tak bersalah sama sekali."Gue melihat tali menggerakkan badan gue barusan.""Dasar wanita aneh! Tidak ada tali. Tadi pagi berteriak hantu sekarang tali. Kamu harusnya memeriksakan matamu ke dokter atau pergi ke psikiater. Aku memberimu saran tulus agar kamu tidak disangka gila dan menganggap tetangga lainnya sebagai hantu." Ujarnya tanp
Eros POVAku menghentikan mobilku dan melihat wanita dengan bibir merah itu mengeluarkan bulir-bulir keringat dingin dari dahinya. Dia nampak pucat karena mimpi buruk saat ini kemungkinan tengah menyapa dalam tidur singkatnya.Saat aku sibuk mengemudi, Kanya Arundhati memberontak ingin turun dari mobilku. Aku bisa melihat rasa takut berlebih dari kelopak mata indah itu, namun aku tak tahu mengapa dia bisa sampai setakut itu padaku tadi pagi, bahkan juga barusan. Mengataiku sebagai hantu serta ada dalam mimpinya, dia wanita yang cukup gila yang pernah aku temui karena sapaannya yang tidak biasa.“Hei, Kanya bangunlah!”Aku menggoyangkan bahunya karena dia tidak kunjung bangun seperti terjebak dalam mimpinya sendiri hingga tak mampu membuka matanya. Kuambil secarik tisu menyeka keringat yang bercucuran di dahinya. Kanya tampak sangat ketakutan hingga air mata perlahan merembes dari matanya yang tertutup rapat.
Kanya POV“Kay, lo nggak apa-apa? Dia siapa?”Aku mengatur napasku ketika bertemu dengan Samuel di depan restoran, untuk saat ini aku belum bisa menjawab pertanyaan Samuel. Menggelengkan kepala menjadi hal termudah yang bisa aku lakukan sekarang ini sebagai jawaban. Mataku masih melirik pada Eros yang tengah menatap kami sedari aku turun dari mobilnya. Aku tidak menyangka akan tertidur sampai bermimpi buruk di dalam mobil Eros.Sungguh hari yang menyebalkan!Eros menutup kaca mobilnya seraya menyeringai tipis, lantas mobil tersebut melaju menembus keramaian jalanan hingga tak nampak lagi oleh mataku. Masih menatap lurus ke arah mobil yang telah sepenuhnya menghilang dari pandanganku. Karena begitu takut, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih padanya.Tidak, jangan berterimakasih! Dia terlalu menakutkan.Apalagi ketika aku mengingat telah memeluknya dengan erat dan tak menginginka