Share

2. Nggak mungkin

Kanya POV

"Ah!!!" aku berteriak sekencang mungkin ketika kabut merah sepekat darah yang mengalir dari dada Eros—menyelubungi selsuruh gudang tempat aku menikam pria itu. Mataku terbuka dan napasku tersengal-sengal seperti telah berlari puluhan meter jauhnya, serta keringat dingin membasahi seluruh badanku, untungnya aku tidak mengompol karena ketakutan. 

Akan sangat memalukan bagi perempuan seusiaku, ketakutan karena mendapatkan mimpi buruk sampai mengompol. Membayangkan saja rasanya lebih mengerikan daripada menikam dada Eros dengan belati.

Aku mencoba menegakkan tubuhku. Kepalaku amat berat dan sakit seolah dipukul dengan pentungan. Membenahi pernapasanku agar lebih santai lantas aku bersandar.

"Mimpi itu lagi, berulang kali tetap sama dengan ending yang sama pula." Gumamku pelan. "Hah," menghela napas lemah itu yang dapat aku lakukan untuk saat ini ketika napasku sudah mulai membaik, tidak tersengal seperti beberapa saat lalu.

Kuperhatikan kesepuluh jemari tangan yang mengetik naskah dengan part pembunuhan di dalamnya, juga tangan yang telah menikam dada pria bernama Eros. Mereka masih tetap sama lurus tanpa ada lecet sedikitpun.

Tenggorokanku terasa kering karena berteriak bukan hanya dalam mimpi saja, namun aku benar-benar berteriak dalam tidurku. Tanganku mengambil gelas yang sudah terisi air di atas nakas. Tetapi, aku segera menghentikan pergerakan tanganku ketika mencapai gelas di atas nakas tersebut.

Aneh! Aku menarik kembali tanganku.

"Tunggu sebentar. Bukannya gue ketiduran di meja belajar? Setelah gue matiin laptop dan semuanya sudah gelap. Kenapa gue bisa ada di tempat tidur?" aku spontan mengambil gelas di atas nakas. Lantas meneguk air tersebut dengan tergesa-gesa.

Satu gelas penuh air pada gelas itu telah masuk ke dalam tenggorokanku dengan sekali teguk. Aku gemetar karena kebingungan juga rasa takut. Apakah aku berjalan sambil tidur tadi malam sehingga aku berada di ranjang, bahkan lengkap dengan selimut yang menutupi tubuhku? Ini gila! Tidak cukup dengan mimpi buruk berulang, sekarang ... hal aneh seperti ini pun terjadi.

"Apa Sam balik lagi buat pindahin gue ke kamar? Nggak mungkin dia balik lagi karena udah malam banget. Terus siapa?"

Aku memijat pelipisku karena rasa sakit kepalaku makin menjadi ketika wajah pria yang aku tikam semalam singgah dalam pikiranku. Setiap kali mimpi ini datang seperti melahapku hidup-hidup, aku takut akan menjadi gila hanya karena sebuah mimpi.

Pernah aku ingin menemui psikiater. Namun aku mengurungkan niatku karena aku rasa tidak terlalu penting dan aku bisa mengatasinya. Sampai sekarang aku masih bisa mengatasi hal yang disebut mimpi buruk ini, meskipun demikian rasa sakit kepalaku bagaikan nadi-nadi dalam otakku pecah. Sakit sekali.

"Eros." Seketika nama pria dalam mimpiku terlontar begitu saja dari mulutku. "Nggak mungkin dia! Dia nggak nyata!" aku segera menepis pikiran konyol tersebut.

Tidak mungkin Eros membawaku ke tempat tidur, lalu masuk ke dalam mimpiku, 'kan? "Hahaha, ada-ada saja." Sembari terkekeh canggung, aku bangkit dari ranjang, masih dengan kepala terasa berat. Melangkah sempoyongan menuju ke kamar mandi layaknya orang mabuk, selalu seperti ini dan membuatku terbiasa akan hal ini.

Aku masuk ke kamar mandi dan melihat pantulan diriku pada cermin. Rambut lurus acak-acakan, kantung mata hitam dan wajah kusam seperti kurang tidur. Ya, memang aku kurang tidur berkat mimpi aneh yang tak kunjung berakhir.

"Sampai kapan gue harus begini?"

Tanganku masih gemetar ketika mengambil sikat gigi, kemudian membubuhkan pasta gigi di atasnya. Aku mulai menggosok gigi dan menelisik kesalahan apa yang pernah aku buat hingga didatangi oleh pria tampan, meskipun harus mati di tanganku. 

Kepalaku terasa berat dan kelopak mataku hampir jatuh, rasa sakitnya membuatku ingin tidur kembali. Beruntung aku sudah terbiasa dengan semua ini dan tidak lagi muntah seperti dulu.

"Salah gue apa coba? Mimpinya terasa nyata banget, gagal paham gue. Apa gue harus ke psikiater, ya?" menghela napas berat. Jika aku sampai pergi ke psikiater, maka aku akan meragukan kesehatan mentalku. Aku sendiri masih bisa menulis dengan tenang dan memakai logikaku. Mungkinkah jika aku tidak menulis lagi, mimpi itu tidak akan pernah datang lagi? Ataukah aku harus beralih haluan dan menulis novel dengan genre lain?

****

45 menit kemudian, setelah melakukan relaksasi di bak mandi. Aku sudah merasa agak tenang dari pagi yang mencekam. Kepalaku masih agak berat, tapi badanku terasa segar berkat busa-busa yang aku siapkan sebelum mandi.

Seperti biasanya aku mengenakan busana kasual karena aku hanya akan tinggal di dalam apartemen saja. Setelah memutuskan untuk tinggal sendiri dan menyewa apartemen ini, sudah 1 tahun lamanya. Sementara orang tuaku berada di kampung.

Aku pergi ke kota dengan tujuan mencari pekerjaan, nyatanya mencari pekerjaan sangatlah susah, apalagi untukku yang hanya lulusan SMA. Harapanku pada waktu itu sangat tinggi karena bosan berada di kampung dan hanya bertemu dengan orang-orang yang sama setiap hari.

Kupikir setelah aku pergi ke kota, mendapatkan pekerjaan, aku akan bertemu dengan teman-teman baru. Berbagai perusahaan sudah aku datangi, tidak ada satu pun yang melirik CVku. Hingga aku menemukan sebuah aplikasi membaca yang mengubah hidupku sekarang ini.

Dalam platform tersebut mengadakan sebuah lomba menulis. Aku hanya mencoba-coba menyalurkan ide-ide dalam kepala saat aku merasa bosan ketika menunggu panggilan kerja. Tiga bulan menunggu sambil menaruh CV ke berbagai perusahaan masih tidak membuahkan hasil.

Sebenarnya aku tidak pernah membayangkan tulisanku akan memenangkan lomba itu dan menjadi pohon uangku sekarang. Selama satu tahun aku menggarap novel pertama dan memiliki hingga ratusan chapter. Dalam sehari jumlah pembaca di setiap chapter sudah melebihi gaji yang diberikan oleh platform tersebut, dan saat ini novel keduaku juga sedang booming seperti novel sebelumnya, meskipun baru memiliki 11 chapter.

Setelah bermimpi buruk samalaman, perutku terasa lapar dan harus segera mendapatkan asupan pagi.

"Masak apa, ya, hari ini? Gue malas banget."

Membuka pintu kulkas dengan malas, hanya untuk menemukan tiga butir telur di dalamnya. Apalagi yang lebih memuakkan daripada pagi ini?

"But why?" gerutuku kesal. "Nasib, tiga butir telur buat satu hari? Nggak ada daging pula, nih, gara-gara Sam. Dia makan semua isi kulkas gue semalam. Pekerja kantoran malah numpang makan di rumah orang."

"Siapa yang lo bilang numpang makan?"

Tanpa aku sadari, Samuel Wijaya telah berdiri di pintu masuk sambil menutup pintu tersebut. Aku lupa bahwa dia bisa masuk ke apartemenku seenak jidatnya. Harusnya kuganti saja kata sandinya agar dia tidak bisa masuk ketika aku sedang membicarakan dirinya.

"Lo bikin kaget aja, mentang-mentang gue kasih password apartemen gue. Lo nggak bisa juga seenaknya main masuk gitu aja, Sam." Dengan memasang muka tebal aku sengaja mengalihkan pembicaraan agar dia lupa aku telah menggerutu di belakang punggungnya.

"Oke, gue keluar."

"Eh?"

Samuel Wijaya sungguh-sungguh keluar dari apartemenku, tapi sesaat kemudian bel berbunyi dan suara Samuel terdengar dari luar memintaku untuk membukakan pintu.

Dengan terpaksa aku membuka pintu dan melotot pada pria itu. "Sam, but why?"

Bersambung

Aku mencari sesuatu yang sepertinya hilang dari pandanganku. — Apple Leaf

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status