Share

7. Nona hantu pagi-pagi, sedang apa di sini?

Kanya POV

Kakiku sangat lemas setelah menutup pintu apartemenku. Aku terduduk lemas di lantai, senyum kecut menghiasi bibir merahku. Ingin rasanya mengeluarkan air mata, namun cairan bening itu tidak kunjung terjun dari mataku.

Yang ada saat ini hanyalah rasa takut menyeruak ke dalam setiap nadiku. Lelah. Setelah rasa takut itu tubuhku menjadi letih, aku tidak bisa melanjutkan menulis dengan keadaan seperti ini.

Kucoba bangkit dan berjalan dengan kaki lemasku. Perlahan aku menuju ke kamar sembari mengedarkan pandangan. Semoga hantu itu sudah pergi ke apartemen sebelah. Pergi ke apartemen pria sombong bernama Eros.

"Dari wajah, tinggi, bahkan nama pun sama. Kebetulan macam apa ini?" sedikit menggelengkan kepala, aku masih terheran-heran dengan kebetulan yang ada di depan mataku tadi. Plak! Sekali lagi aku memukul pipiku pelan, berharap semua hanyalah mimpi karena kebetulan ini sangatlah mustahil bagiku. "Sakit! Emang bukan mimpi. Jadi Cowok yang namanya Eros itu—tetangga baru gue emang beneran manusia? Kok gue nggak percaya, ya?"

Apakah semua hanyalah prasangkaku saja yang sudah keterlaluan menganggapnya sebagai hantu?

Sampai di kamar aku mengambil gelas dan menuangkan air pada gelas tersebut seraya kembali mengedarkan pandangan disertai senyum garing dan kerutan tipis di ujung mataku. Wajahku pastilah tampak aneh. Biar saja agar hantu tadi merasa takut melihat keadaanku saat ini.

"Haha, apa yang gue pikirin." Aku berucap dengan gigi terkatup. Sebenarnya aku masih merasa takut berada di kamar sendirian. "Gue harus telepon Sam."

Tanpa sadar air dalam gelas tersebut sudah penuh dan beruntungnya tidak tumpah. Segera aku meneguknya. Tenggorokanku terasa segar, tapi rasa lelah tadi masih sama. Kelopak mataku hampir saja terpejam, segera aku mengambil ponsel dan menghubungi Sam sebelum aku makin mengantuk.

Padahal aku baru saja bangun karena bertemu dengan Eros malah membuatku tambah mengantuk. Aku tidak boleh tidur karena jika aku tertidur, maka Eros akan kembali masuk ke dalam mimpiku.

"Halo, Sam."

"Iya, Kay, ada apa?" sahut Samuel Wijaya dari seberang telepon.

"Sam," aku mengulangi memanggil nama Samuel. Sejenak pikiranku terasa kacau karena tidak tahu alasanku menelepon Samuel. Terdiam sesaat mengingat alasanku menghubungi Samuel. Mengapa tiba-tiba aku melupakannya bak seorang yang memiliki penyakit alzheimer? Tidak mungkin! Seorang Kanya Arundhati memiliki penyakit alzheimer.

"Kay kenapa?"

Aku tersadar ketika Samuel kembali bertanya dengan nada khawatir.

"Sam, hantu, Sam." 

"Hah?" Samuel sepertinya terkejut. Aku tidak bisa melihat ekspresinya, namun tampaknya aku bisa membayangkan raut muka tidak percaya itu. Terdengar suara Samuel terkekeh kecil sebelum suara tawa itu menggelegar. "Hahahaha." Menjauhkan ponsel dari telingaku adalah cara terbaik agar tidak menjadi tuli karena suara tawa Samuel.

"Jangan ketawa! Gue serius. Gue curiga kalau tetangga baru gue adalah hantu."

"Ada-ada aja lo, Kay. Kebanyakan nulis genre seram pikiran lo jadi kemakan sama tulisan lo sendiri. Hahahaha." Samuel Wijaya sama sekali tidak percaya padaku. Tunggu sampai aku menunjukkan wajah Eros padanya. Tidak! Tunggu sampai dia sendiri bertemu dengan Eros. Ngomong-ngomong aku sudah memberikan penggambaran wajah Eros yang ada di mimpiku pada Samuel beberapa hari yang lalu.

"Cukup, jangan ketawa! Gue benar-benar serius. Siang ini kita ketemu makan siang di dekat kantor lo." Aku berucap serius karena masalah ini berhubungan dengan kewarasanku. Iya, kewarasanku!

"Oke, oke." Samuel Wijaya berhenti tertawa. "Lo tenang dulu, nggak ada hantu pagi-pagi begini, Kay, mending lo tiduran dulu, gue mau kerja, oke?!"

"Oke, Sam, gue tutup teleponnya."

Huh! Mematikan panggilan telepon seraya menghela napas dalam. Kelopak mataku terasa jatuh dan yang nampak hanya nuansa hitam pekat.

"Eros ...."

***

2 jam lamanya aku tertidur hingga jam makan siang tiba. Bergegas mempersiapkan busana yang harus aku kenakan. Busana santai saja, tapi sebelum itu sepertinya aku harus mandi lagi untuk ketiga kalinya. Aku tidak bisa pergi dengan badan bau keringat ketakutan tadi, bukan?

Sembari menyiapkan air pada bak mandi aku menilik kembali ketika aku tertidur barusan. Sama sekali tidak ada mimpi dalam tidurku. Setiap orang memiliki bunga tidur, bukan? Tapi kali ini rasanya aku tertidur amat nyenyak sehingga tidak mengingat apakah aku bermimpi atau tidak? Sebelum-sebelumnya aku pasti mengingat sekecil apa pun detail dari mimpiku. Aneh! Mengapa aku harus mempersoalkan sebuah mimpi padahal orang-orang di luar sana berkutat dengan pekerjaan mereka dan aku di sini ... malah berkutat dengan bunga tidur?

Jika orang lain mengetahuinya, aku pasti sudah di cap sebagai orang gila dan merekomendasikan berbagai psikiater padaku. Melelahkan harus hidup seperti ini.

Beberapa saat kemudian, aku telah selesai membersihkan diriku dan bersiap dengan busana santai yang akan aku kenakan. Tentunya sedikit bedak kupoleskan pada wajahku, namun tidak perlu lipstik karena aku memiliki bibir merah alami sejak lahir yang bisa aku banggakan.

"Selesai! Semoga nggak ketemu hantu Eros lagi. Kalau nggak bakalan mati berdiri gue." Merasa ngeri hanya dengan membayangkan bertemu Eros di dunia nyata untuk kedua kalinya. Akan tetapi tak dapat dipungkiri bahwa saat ini dia merupakan tetanggaku. Mustahil untuk tidak bertemu dengannya lagi. Menggeleng lemah karena nasibku begitu malang. "Ngenes! Miris banget!"

***

"Kenapa taksi online lama banget? Macet? Ban kempes? Atau lagi pacaran di jalan?" sungguh aku merasa geram saat ini karena jam makan siang 15 menit lagi dan aku perlu waktu lebih dari 15 menit agar sampai di restoran dekat kantor Samuel Wijaya.

"Panas banget!" tetap mengeluh seperti biasanya. Ya, begitulah aku yang tak bisa menunggu terlalu lama. Tentu saja lama karena sudah 10 menit aku berdiri di bawah terik matahari menunggu taksi online yang aku pesan.

Sebuah mobil hitam lewat di sampingku, nampaknya mobil tersebut milik salah satu dari tetanggaku. Andaikan aku juga punya mobil, maka aku tidak perlu lagi menunggu taksi online.

Mobil itu melaju melewatiku, namun sesaat kemudian kembali mundur dan berhenti tepat di depanku. Kaca mobil diturunkan perlahan, mataku seketika tidak dapat berkedip melihat si pengemudi.

"Nona hantu pagi-pagi, sedang apa di sini?"

Pria dengan suara halus dalam balutan jas hitam di dalam mobil tersebut tidak lain adalah Eros—tetangga baruku.

Menelan salivaku dalam-dalam lantaran tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku bungkam tak seberani tadi pagi ketika menyentuh tangannya.

Jantungku berdebar kencang. "Eros ...." Lirihku.

"Masih menganggapku hantu? Dasar tidak waras." Eros meninggikan ujung bibir kirinya. 

Dia tersenyum? Eros?

"Baiklah, aku tanya, apakah hantu bisa menyetir?" 

Aku menggeleng. Hantu super pintar mana yang bisa mengemudikan mobil sport?

"Berarti aku bukan hantu. Naiklah! Aku akan mengantarmu."

Bersambung


Aku takut! Takut jika saat ini aku tengah membencimu. Namun ada rasa hampa di sana. — Apple Leaf

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status