Share

10. Kenapa nggak bisa dibuka?

Kanya POV

“Kay, lo nggak apa-apa? Dia siapa?”

Aku mengatur napasku ketika bertemu dengan Samuel di depan restoran, untuk saat ini aku belum bisa menjawab pertanyaan Samuel. Menggelengkan kepala menjadi hal termudah yang bisa aku lakukan sekarang ini sebagai jawaban. Mataku masih melirik pada Eros yang tengah menatap kami sedari aku turun dari mobilnya. Aku tidak menyangka akan tertidur sampai bermimpi buruk di dalam mobil Eros.

Sungguh hari yang menyebalkan!

Eros menutup kaca mobilnya seraya menyeringai tipis, lantas mobil tersebut melaju menembus keramaian jalanan hingga tak nampak lagi oleh mataku. Masih menatap lurus ke arah mobil yang telah sepenuhnya menghilang dari pandanganku. Karena begitu takut, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih padanya.

Tidak, jangan berterimakasih! Dia terlalu menakutkan.

Apalagi ketika aku mengingat telah memeluknya dengan erat dan tak menginginkan dia mati. Mati saja!

“Kay, lo habis nangis?” 

Suara Samuel terdengar khawatir setelah dia memperhatikanku. Bekas air mataku masih membasahi pipi, juga mataku saat ini cukup berat dan sembab apalagi tadi pagi aku sudah menangis cukup lama. Riasanku saat ini pasti sudah hancur.

“Sam, gue mau ke kamar mandi.” 

Aku menutup wajah dengan tas selempangku. Terlalu banyak orang di dalam restoran dan keadaanku saat ini bisa dibilang seperti monster yang baru bangun tidur. Dapat kucium bau asin dari air mata, sedang rambutku berantakan. Mengapa aku begitu terburu-buru ketika turun dari mobil Eros? Lihatlah sekarang orang-orang yang masuk ke dalam restoran menatap aneh padaku. Hal ini sungguh membuatku malu, tapi tetap saja beruntung karena aku tidak pipis di celana akibat rasa takut berlebihan.

“Kay, lo belum jawab pertanyaan gue?!”

Samuel Wijaya mencengkeram pergelangan tanganku, dia menatapku dengan amat serius dipenuhi kekhawatiran yang nampak jelas dari matanya. 

Aku benar-benar lupa kalau dia bertanya khawatir padaku karena aku hanya memikirkan penampilanku saat ini. Rasa takutku sudah lenyap meski belum sepenuhnya sejak mobil Eros menghilang dari pandanganku dan digantikan oleh rasa malu.

“Gue nggak apa-apa, Sam. Tadi pagi gue nangis dan nggak tahu alasannya kenapa. Tadi ... itu ... tadi—”

“Oke, lo ke kamar mandi aja dulu, habis itu tenangkan diri baru cerita.” Samuel Wijaya memotong ucapanku.

Aku seperti sudah kehabisan kata-kata apalagi tadi tenagaku sudah cukup terkuras karena lelah menangisi Eros yang kukira sudah mati. Apa yang harus aku lakukan nanti jika bertemu dengannya, secara sekarang ini dia merupakan tetanggaku?

“Oke, lo duduk aja duluan,” berjalan cepat memasuki restoran seraya menutup wajahku. Sungguh aku sangat malu dengan penampilanku. Saat ini aku setengah berlari meninggalkan Samuel Wijaya yang masih berdiri di depan restoran sembari memainkan ponsel, dia menunjukkan senyum padaku ketika aku menengok ke belakang.

Cepat-cepat membuka pintu kamar mandi dan melihat riasan pada wajahku sudah hancur porak-poranda bagaikan angin topan telah menerjang bumi ini dengan kekuatan yang cukup dahsyat.

Mengapa aku bisa jadi seperti ini?

“Semuanya gara-gara Eros. Tali. Juga mimpi buruk yang nggak berkesudahan.”

Daripada terus memikirkan pria aneh dan tidak jelas itu, lebih baik aku cepat merapikan riasanku. Ketika menyiram wajahku dengan air untuk kedua kali, lampu kamar mandi menyala lantas padam begitu seterusnya seperti ada ada yang memainkan saklar dari lampu tersebut.

Wajahku basah dengan air, kini tanganku bertumpu di atas wastafel saking kesalnya dengan lampu yang menyala dan padam seenak jidatnya.

“Siapa yang mainin saklar lampu?” bentakku keras karena saat ini dalam kamar mandi hanya aku seorang. “Tunggu! Jadi gue sendirian di kamar mandi? Kok gue baru sadar?”

Rasanya aku seperti ingin menangis lagi. Baru kusadari kalau aku sendiri di dalam kamar mandi ini dengan lampu yang sebentar menyala dan sebentar padam. Tidak perlu memperbaiki riasan karena aku sendiri sudah cukup cantik untuk membinasakan para lelaki. Untuk apalagi dipercantik?

Dengan terburu-buru aku mengambil saputangan dari dalam tasku, tidak peduli bagaimana penampilan wajahku saat ini, cukup dengan membasuh wajahku dan menyekanya dengan saputangan putih pemberian dari ibuku.

Sebelum aku dapat keluar dari dalam kamar mandi. Lampu menyebalkan itu telah padam dan tak kembali menyala. Ingin sekali aku berteriak karena rasa kesal juga takut kembali merayapi hatiku yang sedang kesusahan ini.

“Mama, Kanya takut, Ma.” 

Huh? Sejak kapan aku menjadi begitu cengeng? Aku harus keluar dari sini. Aku merogoh ponselku dan menghidupkan aplikasi flashlight pada ponselku, kemudian berlari ke arah pintu. Meraba gagang pintu seraya mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar mandi.

“Kenapa nggak bisa dibuka?” 

Sudah cukup aku sangat kesal. Sekuat tenaga kukerahkan hanya untuk membuka pintu sebuah kamar mandi. Setelah menggunakan usaha yang cukup besar akhirnya pintu tersebut terbuka. Aku lega karena telah melihat sinar dari luar. Segera aku melangkah keluar, namun sesuatu yang cukup dingin rasanya merayap di pergelangan kakiku. Aku bisa merasakan melalui lapisan celana jeans yang aku kenakan.

Menatap ke bawah, sebuah tangan berlumuran darah mencengkeram pergelangan kakiku. Sempat tak dapat berucap untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku tersadar.

“Akh!!!”

Begitu takut hingga aku berteriak kencang mengagetkan pelanggan restoran juga beberapa pelayan menghampiriku ketika berlari mencari Samuel di salah satu meja. Namun, Samuel sendiri yang menghampiriku sebelum aku bisa menemukannya.

“Kay!”

“Sam, ada hantu di kamar mandi!” aku berseru kencang setelah mengagetkan pengunjung restoran dengan teriakanku. Sekarang mereka malah menatapku dengan aneh karena mengatakan ada hantu di kamar mandi. “Gue nggak bohong! Gue lihat sendiri di kamar mandi tangannya berlumuran darah.” Bergidik ngeri ketika aku mengingat tangan hantu yang berlumuran darah.

“Kay, kita duduk dulu.”

“Dasar cewek aneh. Mana ada hantu siang-siang begini.”

“Nggak waras kali.”

Beberapa pengunjung restoran melirik ke arahku sembari berbisik satu sama lain, ada pula yang berbicara keras. Agaknya aku telah mengganggu mereka.

“Duduk, nggak usah dengerin mereka.” Samuel menarik kursi untukku, dia juga memberikan segelas air setelahnya. “Diminum dulu.”

“Makasih, Sam.” 

Satu gelas penuh air dalam gelas tersebut telah aku teguk. Agaknya aku lebih tenang saat ini. Entah tadi adalah halusinasiku saja sama seperti di mobil Eros atau memang aku bisa melihat mereka? Melihat makhluk-makhluk juga benda-benda tak kasat mata? 

“Tadi lampu di kamar mandi hidup terus mati, begitu seterusnya. Gue mau keluar, tapi pas gue keluar ada yang mencengkram pergelangan kaki gue, Sam. Gue udah bilang, kan? Tangan berlumuran darah.” 

Samuel Wijaya hanya menatap bergeming seolah yang baru saja aku katakan hanyalah khayalku semata. Dia tidak percaya padaku saat ini.

“Kay—”

“Gue tahu lo mau bilang apa. Gue nggak gila, Sam. Gue cuma mau bilang tadi kalau ada tetangga baru gue yang mirip banget sama Eros dan sampai di sini gue malah lihat hantu. Lo sebagai teman gue malah nggak percaya sama gue?” aku menggeleng. Tidak ada gunanya lagi berdiam di sini, sedang nafsu makanku sudah hilang. “Gue pergi!” dengan marah aku beranjak dan meninggalkan Samuel Wijaya.

“Kay!”

Bersambung

Kamu merasa sendirian di antara beribu-ribu orang yang mengelilingimu ketika tak satu pun dari mereka yang mempercayaimu, namun ketika satu orang mempercayaimu, duniamu tak akan terasa sepi dan sendirian lagi. — Apple Leaf

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status