Share

Chapter 3

"Apakah benar semua yang dikatakan perempuan ini Bang?" tanya Almira dengan suara yang bergetar menahan isakannya yang terasa bercokol di tenggorokannya dan mendesak keluar akibat sakit hati yang menghantamnya seketika itu juga, seraya menunjuk ke arah Lidya dengan dagunya.

Belum sempat Davka menjawab, Lidya sudah lebih dulu menimpali.

"Iya benar, aku sedang mengandung anak Davka. Usia kehamilanku sudah hamper satu bulan."

Deg ....

Sembilu perih di hati Almira, ia yang selama ini menjaga harga dirinya baik-baik hanya untuk Davka seorang. Ia pikir Davka akan mau bersabar menunggunya sampai halal baginya. Ternyata lelaki yang dicintainya suka memadu kasih dengan gadis lain di belakangnya.

"Bu ... bukan begitu Sayang, Abang bisa jelaskan. Sekarang Abang sedang akan meluruskan masalah ini bersama dengan Papi dan Mami di rumah," tukas Davka panic. Melihat kekasihnya sedih tentu saja membuat hatinya juga merasakan sakitnya.

"Al rasa, sudah tidak perlu ada penjelasan apa-apa lagi Bang. Semua sudah ada bukti bukan? Abang harus bertanggung jawab dengan janin itu," timpal Almira sembari melirik sedih pada amplop coklat yang masih di pegang dengan erat oleh Lidya. Hatinya sesak sudah terlanjur sakit dan di penuhi rasa kecewa, terlebih ia merasa kepercayaan dirinya kepada Davka sudah menguap entah kemana.

Almira mengusap air matanya dengan punggung tangan kirinya, sudah tak sanggup rasanya ia menatap wajah sang kekasih. Kemudian ia membalikkan badan dan menyerahkan nampan yang di bawanya tadi kepada temannya lalu berjalan masuk ke ruang ganti. Airmata kekecewaan tak jua berhenti mengalir, sepertinya ia tidak sanggup melanjutkan pekerjaannya malam ini dan ia pun akhirnya memutuskan untuk pulang.

Davka dilanda dilema, satu sisi ia ingin mengejar Almira untuk menjelaskan semuanya disisi lain ia harus segera menyelesaikan urusan ini dengan keluarganya. Pada akhirnya ia memutuskan untuk bicara terlebih dahulu dengan keluarganya. Setelahnya baru ia akan mencari Almira di tempat kos gadis itu.

***

Suasana tegang terasa di ruang kerja kediaman Alsaki. Tampak Pramana duduk di kursi kebesarannya. Sedangkan istrinya Atifa Alsaki duduk disebelah Davka kemudian Lidya dan Bayu duduk di seberang mereka. Disisi lain ada Valentina dan Eric yang ikut diundang oleh orangtua Davka untuk menjadi saksi.

"Papi sudah melihat bukti semuanya dan Papi putuskan Davka kamu harus menikahi Lidya. Bulan depan kalian akan segera menikah, dua hari lagi kita berangkat ke Jakarta untuk melamar Lidya." Itulah akhir dari keputusan Pratama.

Lalu kembali Pramana menambahkan saat memperhatikan Davka akan membuka mulutnya untuk membantah, seraya menatap wajah putranya itu lekat-lekat dan berkata, "Papi tidak mau menerima bantahan Davka."

Atifa hanya bisa mengangguk mengiyakan keputusan sang suami dengan raut wajahnya yang tampak sendu, walau dalam hatinya dia tidak rela Davka menikah dengan Lidya. Dia lebih suka dengan Almira yang sudah dipacari anaknya selama lima tahun terakhir.

Atifa sedih mengingat Almira, bagaimana nasib anak itu sekarang? Ia baru tahu dari mbok Sumi kalau anak itu sudah sebatang kara sekarang. Atifa sengaja belum memberi tahu Davka karena berpikir pasti nanti Almira sendiri yang akan mengatakannya. Tetapi sepertinya hal itu tidak akan terjadi.

***

Setelah pembicaraan di ruang kerja papinya, Davka langsung pergi dari kediaman orangtuanya. Ia juga mengacuhkan keberadaan Lidya tak sedikitpun basa-basi untuk sekedar mengantarkan Lidya kembali ke penginapan itu pun sama sekali tidak ia lakukan. Sekarang, Davka berada di dalam apartemennya sembari merebahkan diri di sofa tunggal dan sedang meneguk Vodka langsung dari botolnya.

Raut wajahnya tampak suram, pancaran manik matanya seolah sudah kehilangan sinarnya. Perasaannya sungguh tak karuan, rasa kecewa, sakit hati, hampa, tertipu dan tidak terima dengan apa yang sudah terjadi. Dalam hati kecilnya ia tetap tidak percaya jika janin dalam perut Lidya adalah darah dagingnya.

Dalam kekalutan pikirannya, ia teringat akan Almira. Wajah pucat penuh kekecewaan dan sakit hati yang ditunjukkan kekasihnya tadi terpatri kuat di benaknya. Hancur hatinya saat ia merasa tak kan bisa bersanding dengan sang kekasih. Bayangan adegan itu, berputar-putar di benaknya bagaikan mimpi buruk yang sudah pasti akan terjadi. Davka meletakkan botol Vodka-nya di atas meja dan menegakkan tubuhnya dengan kedua tangannya bertumpu pada lututnya ia menarik nafas dalam dan mengembuskan secara perlahan ia berharap rasa sesak di dalam hatinya bisa berkurang. Setelahnya ia kemudian bangkit berdiri dan menyambar jaket kulit dan kunci mobilnya. Davka mengendarai mobilnya menuju ke tempat kos Almira. Davka sudah tidak peduli seandainya gadis itu tidak mau mendengarkan penjelasannya tetap ia akan menjelaskan seluruhnya.

***

Almira sedang mandi, saat terdengar ketukan pintu depan tempat kostnya. Almira tinggal di dalam sebuah rumah kos bersama dengan lima orang temannya yang lain. Malam ini dia sedang sendirian, kelima teman kostnya sedang pergi bermalam Minggu. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan siapa malam-malam begini mengetuk pintu? Memang tempat kos Almira terbilang bebas, berhubung yang tinggal di dalamnya juga wanita yang sudah dewasa. Bahkan ada diantara mereka yang sudah menikah, sedangkan sang tuan rumah tinggal tidak jauh dari rumah kos tersebut.

Alisnya bertaut. Ah, mungkin teman kostnya lupa membawa kunci pintu depan. Pikirnya.

Dengan masih berbalut handuk yang hanya menutupi setengah pahanya yang putih mulus, ia bergegas ke depan untuk membukakan pintu.

Klekk ....

Almira terperangah memandang seseorang yang berdiri di depan pintu. Tak jauh beda dengan Davka yang terpesona serta tampak bersusah payah menelan saliva, melihat penampilan Almira di depannya. Pandangan mata Davka menyusuri tubuh Almira dari puncak kepala sampai ke ujung kakinya.

Gadisnya yang masih berdiri terpaku dengan hanya menggunakan handuk yang membelit tubuh mungil mulusnya sebatas paha, dengan air yang menetes mengalir di leher Almira yang jenjang dan sisa titik-titik air di bahu sampai dibelahan buah dadanya. Serta rambut ikal hitam yg tergerai indah dan basah.

Sepertinya gadisnya tergesa-gesa membuka pintunya, tanpa berpikir siapa yang datang. Hatinya tiba-tiba panas membayangkan jika saja bukan ia yang datang tetapi lelaki lain. Dengan bibir terkatub rapat dengan raut wajah yang sudah memerah menahan birahi dan amarah. Tubuh Davka merengsek ke dalam, dengan tangan Davka terulur menggapai tubuh Almira. Kemudian ia memanggul tubuh Almira di bahu seraya kakinya menendang pintu sampai tertutup di belakangnya.

Almira terpekik kaget dengan apa yang diperbuat oleh Davka. Pria ini sungguh berubah tidak seperti pria yang ia sayangi selama ini. Tetapi memang sejak kejadian di rumah makan tadi, Almira sudah merasa kehilangan sosok Davka yang ia kenal.

"Ah! Abang jangan begini, kenapa marah sama Al? Al nggak ada buat salah sama Abang. Abang yang udah khianati Al."

Tanpa menghiraukan protes Almira, Davka 

membawa Almira masuk ke bilik kamar gadis itu. Almira yang terkejut mencoba meronta dan membujuk Davka untuk menurunkannya. Namun segala upayanya tak di dengar oleh Davka, sedangkan tenaganya sudah pasti kalah dengan kekuatan tubuh gagah Davka.

Isak tangis Almira mulai terdengar, lagi-lagi Davka tidak menghiraukan seolah-olah telinganya tertutup oleh sesuatu. Dada Davka bergemuruh, susah payah ia mengatur emosi rasa sedih dan gairah serta perasaan takut kehilangan Almira serta kekecewaan. Dengan segala situasi yang terjadi bercampur menjadi satu.

Davka meletakkan tubuh Almira dengan terbaring terlentang di atas ranjang dengan lembut. Davka kemudian menggapai syal yang tersampir di atas kepala ranjang, dengan mengangkangi Almira tepat di atas perut gadis itu. Lalu Davka mengikat kedua tangan Almira dengan syal yang ia temukan tadi tepat diatas puncak kepalanya. Syal yang biasa dipakai Almira saat mengendarai sepeda motornya.

Almira masih berusaha meronta dan membujuk pria itu untuk menghentikan apapun yang akan pria itu lakukan. Sungguh sial nasibnya, sudah sebatang kara lalu dikhianati sang kekasih dan sekarang pria yang masih di cintainya ini berusaha memperkosanya.

“Tolong!” seru Almira, yang kemudian dibungkam oleh bibir Davka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status