Nama Elsa Putri yang ia sandang semenjak lahir sudah berganti menjadi Elsa Fernandez dalam beberapa menit yang lalu. Ketika nama itu ia ucapkan dengan lidah dalam bisikan kecil, rasanya sangat aneh dan kedengarannya juga tidak cocok. Cincin yang terselip di jari manis Elsa saat ini pun terasa semakin berat dari menit ke menit. Dia mencoba mengabaikan tatapan-tatapan penuh penilaian dari wajah-wajah yang sama sekali tidak dia kenal.
Keluarga terdekat Fernandez diundang dalam acara pernikahan yang cukup mendadak ini. Tiga hari yang lalu Elsa masih mengurung diri di dalam kamarnya mengerjakan tugas sekolah, sekarang dia telah berdiri di sini, di samping pria tinggi dengan gestur kaku, suaminya.
Elsa tidak tahu harus merasakan apa selain dorongan untuk meraung tangis, tapi dia sudah melakukannya pada dua malam sebelumnya. Rasa gejolak di perut itu semakin melonjak naik ketika veil putih di atas kepalanya disingkap, dan kilatan kamera membuat Elsa mengernyit. Lalu Elsa mendongak, menatap wajah Leon Fernandez yang tampan. Lelaki tertampan yang pernah Elsa lihat.
Tapi sayangnya, sepertinya Leon tidak menyukainya, ketika seharusnya pria itu mencium Elsa, dia malah menyunggingkan senyum miring penuh ejekan lalu mendekatkan tubuh dan seolah mencium pipi Elsa, tapi bibirnya tidak pernah sampai di sana, karena setelahnya kilatan kamera itu datang dan semua orang bertepuk tangan ringan, seolah enggan.
Menit yang berlalu terasa seperti berada berjam-jam di dalam neraka, Elsa hanya perlu memasang senyum, berfoto dengan beberapa sepupu yang tidak bisa ia tatap mukanya karena perbedaan sosial yang jelas ia rasakan, insecurity itu menghantam Elsa dengan keras. Bagaimana bisa keluarga Fernandez yang terpandang dan kaya raya, menikahkan putra sulungnya dengan perempuan biasa dan miskin yang terlilit utang seperti Elsa Putri, hal itu masih sangat sulit diterima oleh nalarnya. Sekeras apapun Elsa mencoba untuk meredam kesedihannya, nyatanya rasa itu tetap hadir, semakin besar.
Elsa bertemu dengan ibu mertuanya, yang ia panggil Mami, atas permintaan wanita setengah baya itu sendiri.
"Kamu mau istirahat, Nak? Daritadi berdiri terus, pasti tumit kamu sakit."
Perkataan penuh perhatian yang merasuk ke dalam dada Elsa dan menghangatkannya. Tidak pernah ada yang berkata selembut itu padanya. Bahkan Mamanya sendiri pun tidak peduli pada apa yang Elsa rasakan. Tapi mendapati Mami mertuanya menerima dirinya dengan tangan terbuka membuat Elsa lega. Dia bisa bertahan karena hal itu.
"Elsa baik-baik aja, Mi," jawab Elsa sembari memasang senyum yang dipaksakan. Dia tidak ingin dicap sebagai menantu yang manja.
Sangat jelas terlihat tatapan tidak setuju dari Mami Maya, namun wanita berdarah Jawa yang sangat cantik itu tidak ingin memaksa Elsa. "Yaudah, kamu tahan sebentar ya, acaranya bakal segera selesai kok."
Sebagai jawabannya, Elsa memasang senyum, lalu kemudian menatap kepergian Mami Maya yang masuk ke dalam rumah, karena acara pernikahan tertutup ini dilaksanakan di halaman belakang kediaman Fernandez.
Elsa dapat kembali bernapas lega ketika pesta telah usai, kini Elsa duduk di sebuah bangku meja rias sambil menatap ke depan, ke pantulan wajahnya yang masih diriasi make up pengantin, namun matanya berkaca-kaca. Entah kenapa, bayangan kehidupan kedepannya membuat Elsa takut.
Lalu Elsa mendengar suara langkah kaki di belakangnya yang disusul dengan desisan tajam, "Jangan nangis."
Elsa patuh dan menahan air matanya lagi. Setelah itu menatap pantulan sosok mamanya yang berdiri di belakang. Dalam balutan kebaya mewah dan riasan make up tebal yang mempercantik wajahnya, Diandra berdiri dengan angkuh, berwajah masam yang sedetik kemudian berubah ceria.
Diandra mendekati Elsa dan memeluknya erat dari belakang. Bisa dikatakan, bahwa itu adalah pelukan pertama yang diberikan mamanya kepada dirinya setelah bertahun-tahun, mungkin itu juga pelukan pertama selama 16 tahun Elsa hadir di dunia. Entahlah, yang pasti rasanya begitu asing, sehingga Elsa ingin segera lepas dari pelukan itu segera.
"Mama bener-bener bangga! Ternyata tidak sia-sia Mama merawat kamu dan mempercantik wajah kamu selama ini, karena sekarang kamu berhasil menikah sama orang kaya raya. Ya, walaupun dengan sedikit bantuan dari ayah kamu yang gak berguna itu."
Ludah seolah tercekat di tenggorokan Elsa, dia tidak mengira bahwa ucapan mamanya itu mampu menimbulkan rasa sakit yang mencengkram di dalam dada. Memang, kalau bukan karena hutang ayahnya yang mustahil terbayarkan itu, Elsa tidak akan berada di sini saat ini, menikah pada usia 16 tahun, dengan lelaki yang sepuluh tahun lebih tua darinya. Itu sangat gila, namun itulah yang terjadi.
Ayah Elsa berhutang uang dengan jumlah besar pada keluarga Fernandez. Akal-akalan ayahnya yang mengatakan bahwa itu untuk menghidupkan kembali perusahaannya yang telah mati, padahal semua uang itu ia pergunakan untuk judi dan berfoya-foya. Elsa marah pada ayahnya, pada Mama, dan pada kehidupannya sendiri. Namun Elsa cukup sadar bahwa amarah itu tidak akan membuahkan hasil apapun, tidak akan merubah semua yang telah terjadi.
Diandra melepas pelukannya dan berdiri di samping Elsa, menunduk lalu mencengkram rahang Elsa dengan kedua jari tangannya yang berkuku panjang diberi polesan merah gelap mengilap.
"Kamu ingat yang sudah mama bilang pada kamu?"
Air mata itu sudah tidak dapat Elsa bendung lagi. Sebuah beban besar menghimpitnya begitu keras. Elsa bertanya-tanya pada tiga malam sebelumnya kenapa dia tidak memilih untuk menyerah karena hal itu akan selalu lebih mudah dilakukan. Tapi seolah dia memiliki pilihan saja, kalau mau hidup, maka inilah jalannya.
Dalam artian yang Elsa pahami, menikah adalah suatu ikatan suci antara lelaki dan perempuan yang menimbulkan hak dan kewajiban tertentu.
Hak suami dan kewajiban istri.
Namun, Elsa memiliki kewajiban lain selain harus mengabdikan dirinya pada suami. Kewajiban yang berkaitan dengan pengambilan dan kekuasaan atas sesuatu.
Yaitu; pertama, mengambil hati suaminya. Dan kedua, menguasai seluruh hartanya.
[to be continued]
Sepanjang hari yang cerah ini, Leon tidak melepas perhatiannya dari gadis bergaun putih berjalan di atas rerumputan di antara keluarganya yang hadir. Kenangan dua tahun lalu pada gadis pemberi payung itu tidak pernah luput dari benak Leon. Bagaimanapun, dia seseorang yang beradap dan tentu tahu apa itu ucapan terima kasih.Leon pernah berpikir untuk mencari gadis kumuh itu dan menampungnya di salah satu panti asuhan milik keluarganya, tapi niat itu Leon urungkan. Dan lihatlah, betapa takdir kehidupan begitu enjoy mempermainkannya, sekarang gadis itu ada di sini, bahkan telah menyandang status sebagai istrinya.Leon meras
Malam semakin larut, Leon sekali lagi menyesap kopinya dengan khidmat.Well, tidak benar-benar khidmat sebenarnya, karena benak lelaki itu dipenuhi oleh hal lain selain kafein yang menyesap ke dalam sistemnya. Dia seharusnya fokus kepada layar laptop tempat pekerjaannya yang menunggu untuk diselesaikan, namun sedari tadi, Leon justru memikirkan hal lain. bertanya-tanya mengapa istri kecilnya tidak kunjung datang.Leon memang menolak keras untuk sekamar dengan gadis itu. Dia tidak menyukai orang lain berada di dalam ruangan pribadinya, apalagi seseorang yang akan tidur dengannya. Oleh karena itulah kenapa Leon menjadi gel
Pada akhirnya, Elsa masuk ke dalam kamar Leon dan sangat bersyukur bahwa lelaki itu tengah ada di kamar mandi,night showermungkin, terdengar dari air yang mengalir. Itu artinya, Elsa tidak perlu berhadapan dengannya dan dia hanya akan menyelinap masuk ke dalam selimut lalu tidur.Atau pura-pura tidur, karena beberapa saat kemudian setelah tubuhnya terbaring di atas ranjang, pintu kamar mandi terbuka, dan Elsa tidak bisa menghentikan degup jantungnya yang sangat kencang.Leon sedikit terkejut, mendapati tubuh mungil yang membelakanginya itu berada di atas ranjangnya yang besar dan luas. Sweater cokela
Tiga hari berikutnya, pernikahan Leon dan Elsa berlalu begitu saja. Mereka masih tidur di satu ranjang walaupun Elsa masih diliputi rasa gugup yang sama, namun dia tidak bisa menyangkal bahwa tidurnya setiap malam lebih nyenyak ketimbang malam-malam sebelumnya yang dia habiskan di dalam kamarnya yang sempit, yang hanya beralaskan kasur lipat tipis.Namun pada siang harinya, Elsa meminimalisir waktunya sebanyak mungkin di dalam kamar dan dia lebih sering bersama mami mertuanya. Menghabiskan banyak waktu di dapur, mencoba menu-menu baru yang tidak pernah Elsa ketahui sebelumnya. Sedangkan sang ayah mertua masih dalam perjalanan bisnis di Paris menggantikan Leon. Dan Leon sendiri, sekalipun dalam masa libur, masih disibukkan dengan pekerjaannya y
Kehidupan Elsa tidak pernah sama seperti remaja kebanyakan. Ketika yang lain menghabiskan waktu mereka dengan smartphone masing-masing dan bersosialisasi dengan banyak orang di seluruh dunia, Elsa terisolasi di dalam rumah mengerjakan pekerjaan rumah juga sepulang sekolah harus kerja paruh waktu di toko. Hal itu membuat Elsa memahami beberapa hal yang belum seharusnya ia pahami di usia yang begitu belia.Di sekolah, Elsa terkenal sebagai gadis cupu siswi kesayangan guru. Kegemarannya dalam membaca buku dan mengerjakan soal-soal eksak membuatnya selalu menjadi juara di kelas. Namun hal itu juga sekaligus menjauhkan orang lain darinya.
Rasanya seperti sudah berjam-jam matanya tertutup, Elsa pikir hari sudah siang. Dia terbangun di atas ranjang kamarnya dengan pikiran linglung. Jamdigitaldi atas nakas menunjukkan bahwa beberapa jam yang dirasakannya ternyata hanya dua jam, kini sudah pukul 1 dini hari.Elsa menyadari bahwa Leon tidak ada di sampingnya, dan seprai itupun tidak tampak seperti telah ditempati. Dia menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya ke lantai, baru menyadari bahwa pakaian yang digunakannya bukan jenis pakaian tidur yang biasa ia gunakan. Kepala Elsa pun mulai memutar balik kejadian sebelumnya.Dan di saat i
"A-aku... pulang dulu," kata Elsa. Arya menganggukkan kepala, tersenyum, lalu tangannya refleks terangkat dan mengacak rambut Elsa. Dan setiap pergerakannya itu tidak luput dari pengamatan Leon di balik kaca hitam mobil.Elsa tampak memaksa seyum walaupun dia merasa sangat gugup sekarang, lalu dengan tergesa dia masuk ke dalam mobil. Elsa langsung merasa kecil, kecil sekali sampai dia tidak berani mendongakkan kepalanya. Beberapa saat dalam keheningan dan Leon tidak juga menyalakan mesin mobil."Sore, kak Leon." Elsa menyapa canggung, melirik Leon hati-hati, namun Leon tidak menyahut. "Kenapa?" tanya Elsa heran.
Elsa sampai di depan pintu apartemen yang Mami beritahukan padanya, berikut dengan kata sandi unit tersebut. Sekarang, melihat pintu metal yang tampak sangat kokoh itu, membuat nyali Elsa menciut, pegangan pada tali tas bekalnya semakin erat. Bagaimana dia bisa menyetujui ide maminya ini tanpa berpikir terlebih dahulu? Bagaimana respon Leon nanti? Dia pasti bakal marah besar kalau sampai tahu Elsa datang ke sini.Kata Mami, Elsa bisa langsung mengetik kata sandi di pintu itu dan membukanya. Tapi Elsa bahkan tidak tahu harus mengetik di mana. Lagipula, jika dia melakukan seperti yang Maminya sarankan, hal itu terkesan tidak sopan sekalipun pemilik apartemen ini adalah suaminya sendiri. Apalagi dengan hubungan pernikahan mereka yang sangat membi