Share

3. Tinggal Bersama

Malam semakin larut, Leon sekali lagi menyesap kopinya dengan khidmat.

Well, tidak benar-benar khidmat sebenarnya, karena benak lelaki itu dipenuhi oleh hal lain selain kafein yang menyesap ke dalam sistemnya. Dia seharusnya fokus kepada layar laptop tempat pekerjaannya yang menunggu untuk diselesaikan, namun sedari tadi, Leon justru memikirkan hal lain. bertanya-tanya mengapa istri kecilnya tidak kunjung datang.

Leon memang menolak keras untuk sekamar dengan gadis itu. Dia tidak menyukai orang lain berada di dalam ruangan pribadinya, apalagi seseorang yang akan tidur dengannya. Oleh karena itulah kenapa Leon menjadi gelisah seperti ini. Dengan tidak sabar, dia pun bangkit dari kursi kerjanya sambil membawa cangkir kopi yang isinya telah tandas.

Di dapur, Leon mendengar suara air mendidih pada cerek, dan punggung kecil seorang perempuan yang dibalut sweater lusuh lebar.

Mendengar langkah kaki itu, Elsa pun menoleh dan nyaris terjengkang ke belakang karena terkejut.

"Kak... Leon," sapanya dengan gugup.

Tatapan Leon yang tajam menghujam Elsa dan sesaat mereka hanya berdiri di sana hanya saling menatap. Lalu tatapan Leon turun ke tubuh Elsa, seolah menilainya, sebelum sebuah seringaian tipis menghiasi bibir lelaki itu. Elsa sama sekali tidak mengerti maksud dari tatapan itu namun ia merasakan rasa malu yang sangat besar, yang membuatya ingin segera kembali ke kamar dan berganti pakaian, lalu tersadar bahwa sebagian besar pakaiannya hanya berupa kaos biasa yang warnanya sudah dimakan usia.

"Mau teh?" tanya Elsa, sambil menyembunyikan rasa gugupnya.

Leon berjalan mendekatinya, membuat jantung Elsa berdetak semakin kencang, tapi lelaki itu rupanya hanya berniat meletakkan cangkirnya ke dalam wastafel, lalu duduk di meja makan.

"Buatkan aku kopi," perintahnya.

Elsa tidak membantah dan membuatkan Leon kopi sekalipun yang ia tawari sebenarnya adalah segelas teh. Dan tanpa sadar Elsa menyuarakan pemikirannya itu.

"Aku tadi tawarin kak Leon teh, bukan kopi. Tapi kalau kak Leon maunya kopi, aku buatin kopi seperti yang kak Leon mau," cerca Elsa sembari menuangkan bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir yang baru. Setelah melirik ke dalam wastafel, dia tahu bahwa Leon baru saja menghabiskan segelas kopi dan sekarang menginginkan yang baru.

"Kak Leon tau nggak, minum banyak kopi itu sebenarnya nggak baik untuk kesehatan. Mami sudah cerita ke aku kalau kak Leon paling gak bisa lepas sama kopi. Tapi nggak apa-apa, kalau kak Leon tetep mau kopi, aku buatin kopi."

Setelah berhasil menuangkan air mendidik ke dalam cangkir kopinya, lalu mengaduknya singkat, Elsa pun berbalik dan nyaris menjatuhkan cangkir itu jika saja Leon tidak menahan cangkir itu di tangan Elsa. Kulitnya yang dingin akibat gugup dilingkupi oleh kehangatan ujung jemari Leon yang menyentuhnya.

"Elsa," panggil Leon.

Elsa tidak berani untuk mendongak dan menatap matanya langsung, jadi tatapan Elsa sejajar lurus menatap dada Leon. Lalu menyahut singkat, "Ya?"

"Apa yang membuatmu berpikir, di usia sekecil ini, kamu bisa menjadi istri seorang pria yang 12 tahun lebih tua darimu?"

"Heh?" Elsa mengernyit bingung.

Leon masih menunduk menatapnya, lalu mengangkat sebelah tangannya dan dengan jemarinya, ia menyentuh dagu Elsa lalu mendongakkan kepalanya, memaksa gadis itu untuk melihat tepat ke matanya. Leon hendak mengatakan sesuatu yang mungkin akan mengundang murka Maminya jika wanita itu tahu, tapi Leon tidak peduli. Gadis kecil di hadapannya saat ini perlu diberitahu di mana letak posisinya berada.

"Dengar, aku benar-benar tidak mengerti apa yang orangtua kamu pikirkan sehingga membiarkan anak gadisnya yang masih sangat belia untuk menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua darinya. Kalau ini disangkutkan dengan hutang ayah kamu yang bejibun itu, tidaklah cukup. Dan kalau kamu pinter, kamu pasti tahu artinya apa."

Pernyataan itu menghantam Elsa tepat di titik yang membuatnya sakit. Ya, dia mengerti. Kenyataan bahwa orangtuanya baru saja menjualnya pada lelaki di hadapannya saat ini, yang berdiri menjulang tinggi dengan tubuh tegap yang gelap, mengintimidasi Elsa, membuatnya merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya. Elsa sudah tahu apa yang orangtuanya pikirkan ketika mereka memutuskan untuk menikahkan dirinya dengan putra sulung Fernandez, tentu saja karena uang.

Dan sepertinya Leon menyadari kesadaran itu di kedua mata Elsa, rasa takut dan gelisah itu jelas terpancar pada manik hitam kelam itu. Leon tersenyum. Dia tidak menginginkan seorang bocah ingusan mengganggu kehidupannya yang telah ia atur selama bertahun-tahun, dan jika Elsa memang perempuan cerdas seperti yang Maminya katakan, maka gadis itu akan tahu untuk menjaga sikapnya di hadapan Leon.

"Kamu mengerti kan?" tanya Leon dengan suara rendah.

Elsa mengangguk lemah.

"Bagus. Karena pernikahan ini benar-benar tidak berarti apapun bagi kehidupan kita berdua," salah, pernikahan ini benar-benar berarti bagi Elsa, "maka aku mau kamu tahu sesuatu. Bahwa kamu bisa tinggal di sini dan melakukan apapun yang kamu mau. Menikmati segala fasilitas yang aku berikan, asal kamu tidak menuntut lebih. Kamu juga bisa pergi ke sekolah seperti biasa, menikmati masa muda kamu seperti remaja kebanyakan, terserah. Hanya saja, semua itu ada syaratnya."

Elsa merasakan dorongan yang sangat besar untuk menangis, dan dia membenci hal itu, dia tidak ingin tampak lemah di hadapan Leon karena sepertinya begitulah yang lelaki itu inginkan. Elsa terbiasa hidup untuk menekan segala perasaannya, jika dia memang benar-benar ingin bertahan. Maka dengan suara bergetar, Elsa bertanya; "A-apa?"

"Pertama, lakukan tugas kamu sebagai istri dengan benar, tapi jangan menuntut lebih. Aku tidak mau kamu mengurusi kehidupanku terlalu dalam, jangan ikut campur pada apapun. Tugasmu sebagai istri cukup untuk melayani suami, maka aku akan memberikan apa yang kamu inginkan. Kedua, rahasiakan pernikahan ini kepada siapapun. Termasuk teman-teman kamu di sekolah. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu, kalau sampai ada, aku pastikan kamu tidak akan mau mendengar ganjarannya, kan?"

Elsa mengangguk kaku.

"Mengerti?"

"I-iya."

"Kita akan tidur sekamar, karena di sanalah kamu akan melakukan tugasmu yang sebenarnya. Aku tidak menyukai jenis gangguan apapun pada ruang pribadiku, tapi untuk yang satu ini, akan aku toleransi."

Apa Elsa harus merasa tersanjung pada toleransi yang dikatakan Leon? Sepertinya tidak, tidak bisa. Karena otak Elsa masih sulit untuk mencerna lebih baik apa yang lelaki itu katakan. Dia memang siswi cerdas di skeolah, namun karena semua tekanan baru yang ada pada hidupnya saat ini membuat Elsa tidak bisa berpikir jernih.

Tapi satu hal yang dia tahu pasti, mengenai tugasnya, sebagai seorang istri.

'Kita akan tidur sekamar, karena di sanalah kamu akan melakukan tugasmu yang sebenarnya.'

Elsa mengerti apa maksud ucapan itu, namun kinerja otaknya menolak untuk memikirkan hal itu lebih jauh. Sebagai seorang istri... ya, dia memiliki sebuah tugas pasti. Tapi, apakah Leon akan benar-benar melakukannya? Karena lelaki itu jelas-jelas mengatakan bahwa dia tidak menerima kehadiran Elsa di dalam hidupnya. Dan tatapannya yang tajam, tersirat pandangan jijik di sana, seolah dia tidak menginginkan Elsa sedikitpun berada di manapun di dalam lingkupnya. Jadi, tentu saja, Leon tidak mungkin menuntut Elsa untuk melakukan hubungan 'itu' kan? karena jujur, Elsa tidak akan pernah sanggup. Tidak akan pernah. Tapi jika suaminya memaksa, apa yang bisa Elsa lakukan selain harus menurut? Pemikiran itu membuat Elsa menggigil.

Ketika kembali ke dalam kesadarannya, Leon sudah pergi, dan cangkir kopi yang tadi digenggamnya di tangan kini telah tiada. Pria itu sudah masuk kembali ke kamarnya, salah, ke kamar mereka. Apakah dia punya pilihan lain selain harus tidur di sana? Elsa sudah tidak memiliki cukup nyali untuk berhadapan dengan Leon lagi. Apakah tidak apa-apa jika dirinya tidur di kamar tamu untuk malam ini saja? Setidaknya, sampai keberaniannya yang tercecer kembali utuh.

Tapi tidak, Elsa tahu dia tidak memiliki jalan lain.

[to be continued] 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status