Share

Bab 2

    Sejak tadi perasaan Calista merasa tidak enak, ia merasa diikuti dan diawasi. Ia sangat yakin ada yang mengikutinya tapi ia tidak pernah menemukan sosok yang mengikutinya itu. Bahkan ketika ia tiba-tiba menoleh ke belakang dengan harapan memergoki penguntit itu.

    Calista tiba di depan mini market. Tadi ibunya menyuruhnya untuk membeli tepung dan bahan-bahan lainnya untuk membuat kue, kata ibunya ada pesanan yang mendadak untuk sebuah pesta ulang tahun. Calista masuk ke dalam mini market itu masih dengan perasaan diawasi oleh seseorang.

Sialan, batinnya.

    "Terima kasih," ucap kasir itu yang diangguki oleh Calista, lalu ia keluar dari mini market itu.

    Lampu-lampu jalanan menerangi langkah Calista ke rumahnya. Ia merapatkan jaketnya karena dinginnya udara malam. Jalanan sangat sepi, padahal belum terlalu malam. Calista melihat jam tangan yang menunjukkan pukul setengah sembilan. Gadis berkulit putih itu melangkahkan kakinya lebih cepat begitu mendengar suara hentakan sepatu di belakangnya. Ada yang mengikutinya. Apakah penguntit tadi, batinnya.

    Calista berbelok memasuki gang, orang itu juga melakukan hal yang sama. Ketika orang itu berbelok, Calista yang menunggu di balik dinding langsung keluar dan menendang selangkangan orang itu, membuat pria itu ambruk seketika memegangi miliknya yang berdenyut sakit.

    "Aduh ...," erang pria itu. 

    "Kau mengikutiku?" tanya Calista tajam, ia menarik kerah baju pria itu. Calista mengerinyit ketika mencium aroma Alkohol. 

    "Mabuk?" Calista melepaskan cengkramannya pada kerah baju pria itu. Ternyata hanya pria mabuk. "Ahh ... Sakit ...," rintih pria itu. 

    "Salahmu sendiri," kata Calista. Lalu ia keluar dari gang itu, meninggalkan pria yang merintih kesakitan memegangi pusaka miliknya.

    "Whoah ...." Kenzo berdecak kagum saat melihat pertunjukan tadi, apakah benar gadis itu adalah gadis milik Rajanya. Rajanya bercerita jika gadisnya adalah gadis yang lemah lembut, menggemaskannya dan sangat pandai memasak. Tapi gadis yang diawasinya ini jauh dari kata lembut. Mengingat dengan mudahnya ia menendang sesuatu yang berharga bagi seorang pria.

    "Aku harus melaporkannya!" Setelah memastikan Calista aman sampai rumah, Kenzo bergegas untuk menemui rajanya. Ini adalah kabar yang mengejutkan.

~~~

    Kenzo memasuki istana megah milik Sang Raja. Istana milik rajanya ini sangat besar dan megah dengan warna cokelat kemerahan. Pilar-pilar tinggi mejadi penopang atap istana. Sepanjang lorong istana dipenuhi oleh lukisan naga dengan berbagai ukuran. Kenzo terus melangkahkan kakinya menuju kamar sang Raja, kamar yang berada di bagian paling tinggi di istana ini. 

Tok tok

    Kenzo mengetuk pintu kamar sang Raja, tidak sembarang orang yang boleh masuk ke dalam kamarnya, hanya yang diizinkan masuk. Bahkan istri rajanya pun tidak sempat menginjakkan kakinya ke dalam. Ia mati terlebih dahulu, di malam pernikahannya. Kenzo bergidik ketika mengingat kejadian ratusan tahun yang lalu, kejadian sang Raja yang membunuh istrinya yang baru beberapa jam dinikahinya.

    "Masuk," sahut suara dari dalam membuat Kenzo tersadar dari lamunannya. Kenzo memasuki kamar bercorak hitam merah, ya, ia termasuk orang yang diizinkan. Selain Kenzo ada juga seorang pelayan laki-laki yang juga diizinkan memasukinya untuk membersihkan.

    "Yang Mulia, ada yang ingin saya laporkan." Kenzo menunduk, rajanya saat ini tengah duduk di sebuah kursi di samping ranjang besar di kamar itu 

    "Katakan." Lucas duduk dengan tenang, menerima laporan dari bawahannya, tangan kanannya memegang gelas yang berisi cairan merah. Sesekali ia meminumnya.

    "Apa!?" Nada suara Lucas meninggi, Kenzo menelan ludah gugup. 

    "Be-benar Yang Mulia, Yang Mulia Ratu terlihat berbeda." Kenzo berkata terbata-bata. Jangan sampai rajanya ini mengamuk. 

    "Benarkah? Ah, aku semakin tidak sabar untuk membawanya." Suara Lucas merendah. Kenzo mendesah lega. Rajanya ini suka sekali mempermainkan emosinya. "Ranjang ini terlalu besar untukku seorang." Lucas mengusap ranjangnya, membayangkan Sang Ratu di sini bersamanya. Tidur dan berpelukan.

    "Kenzo, kau tidak perlu meragukan itu, dia memang ratuku. Wajahnya masih sama, yah ... Walau sifatnya agak sedikit berbeda. Aku tidak salah dalam mengenal gadisku." Kata-kata Lucas begitu menohok Kenzo.

    "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud meragukan Yang Mulia Ratu." Kenzo menunduk dalam.

    "Kau boleh keluar." Setelah memberi hormat Kenzo keluar dari kamar itu. Ahh, jantung Kenzo berdetak sangat cepat tadi.

    Di dalam kamar Lucas menyeringai, apakah gadisnya memang berbeda. Ia semakin tidak sabar untuk menemuinya. Memperkenalkan diri dan mengajak gadis itu hidup dengannya. Lucas mengambil sebuah map di atas meja, bawahannya tadi telah mengumpulkan data tentang gadisnya. Pria itu telah berkali-kali membacanya dan merasa sangat puas. 

    Gadisnya bernama Calista Brianna. Mantan atlet karate, tinju, dan hobi mendaki gunung. Umurnya baru 20 tahun dan hanya memiliki seorang ibu. Lucas menatap foto gadisnya yang diambil diam-diam. Rambutnya cokelat sepunggung, kulitnya putih dan tubuhnya tidak terlalu tinggi. Bagi Lucas Calista sudah sempurna.

~~~

    Halte bus terlihat sepi, mungkin Calista datang terlalu cepat. Hanya ada 3 orang di sana yang menunggu bus, ditambah dengan seorang pria yang baru datang dan duduk di sampingnya. Calista menggeser duduknya, memberi pria itu tempat duduk yang lebih luas.

    Tiba-tiba Calista merasakan dirinya kembali diawasi, matanya bergerak memindai sekelilingnya tapi tidak ada yang aneh, semua orang yang di sana tidak terlihat mencurigakan, mereka semua sibuk dengan urusannya masing-masing.

    Calista menggelengkan kepalanya, lalu memutuskan untuk mendengarkan musik dari ponsel dengan menyambungnya dengan earphone. Musik mengalun di telinga Calista, membuatnya sedikit lebih rileks.

    Lucas memperhatikan Calista yang duduk di samping seorang pria, rasanya ia ingin marah tapi ia tidak ingin membuat keributan. Jadi ia memutuskan untuk duduk di sisi satunya lagi. Jadilah saat ini posisi Calista diapit oleh dua pria.

    Calista menoleh pada Lucas dan terdiam, pria ini sangat tampan rambutnya coklat kemerahan. Begitu cocok dengan tubuhnya yang tegap. Kentara sekali jika Calista tidak mengenalnya, bahkan ketika Calista sudah melihat wajahnya, tidak ada reaksi yang berarti. Semua kenangan di kehidupan masa lampau Calista terhapus, ia tidak ingat apapun.

    Begitu bus datang, Calista langsung menaikinya lalu mengambil tempat duduk di dekat jendela. Lucas juga melakukan hal yang sama, ia juga duduk di dekat jendela di belakang kursi Calista. Dengan begitu ia bebas memandang punggung gadisnya. Tanda pemberiannya juga terlihat lebih jelas karena posisinya berada di leher bagian kanan Calista.

    Lucas menatap tanda itu dengan mata yang sudah berubah warna menjadi merah terang, tanda dileher Calista bereaksi warnanya juga memerah seperti terbakar. 

    "Ah ...," ringis Calista. Ia memegangi lehernya yang terasa panas dan perih. Calista mencoba mengusapnya agar rasa panas dan perih itu hilang.

    Sedangkan di belakang, Lucas menyeringai dan matanya kembali seperti semula -cokelat terang- bersamaan dengan hilangnya rasa perih di leher Calista.

Maafkan aku, Sayang. Kau pasti kesakitan. Batin Lucas.

~~~

    "Cal, kau tahu aku ada kejadian aneh semalam." Lea langsung menghampiri Calista begitu Calista masuk dalam kelas. Lea menarik tangan Calista dan menggiringnya duduk di sebuah kursi.

    "Kejadian apa?" tanya Calista.

    "Semalam aku melihat, ada seorang werewolf yang masuk dalam kamarku, Cal." Lea menceritakan dengan semangat yang menggebu-gebu. Melupakan bahwa ada beberapa pasang mata menatapnya.

    Calista menahan tawa. "Kau pasti membaca novel lagi, Lea. Bahkan sampai terbawa mimpi." 

    "Oh, tidak. Cal, ini terasa seperti sungguhan. Werewolf itu datang padaku dan bilang aku matenya." Lea berusaha meyakini sahabatnya itu.

    "Kau bilang kau mengharapkan vampir seperti Edward Cullen, tapi sekarang Werewolf?" Calista tertawa setelah mengatakannya. Lea cemberut mendengar itu. "Lea, kau pasti bermimpi. Mungkin kau terlalu lelah," lanjutnya.

    Lea diam, mungkin benar ia bermimpi karena pagi tadi ia terbangun seperti hari biasanya. Tapi rasanya sangat nyata. "Ya, mungkin. Lebih baik aku lanjut membaca novelku." Lea duduk di samping Calista.

    Tidak lama setelah itu, dosen memasuki kelas diikuti beberapa mahasiswa yang terlambat. Calista dan Lea mengeluarkan bukunya, bersiap menyimak materi kuliah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status