Olivia mematikan layar notebook miliknya. Semua berkas pekerjaannya hari ini buru-buru ia simpan ke dalam map holder besar, menatanya berdasarkan tanggal masuknya berkas, dan menaruhnya di sisi kanan meja atasannya. Tidak seperti biasanya Olivia akan meninggalkan kantor ketika hari masih terang benderang seperti ini. Biasanya bisa pulang tepat waktu saja sudah terbilang bagus.
Olivia menyambar kunci mobil di atas meja lalu terburu-buru menekan tombol lift menuju lantai basement di mana ia biasa memarkirkan mobilnya. Ada segudang janji yang harus ia lakukan khusus hari ini. Bahkan ponsel yang sedari tadi bergetar di dalam tasnya pun tidak serta merta langsung Olivia angkat—karena tahu siapa yang meneleponnya membabi buta seperti itu.
Palingan sebentar juga telepon lagi, batin Olivia.
Dugaan Olivia ternyata benar. Tidak sampai lima menit, ponsel Olivia kembali bergetar.
“Via ... kamu sudah pulang?” sapa laki-laki diseberang.
“Sudah di parkiran basement sih, Pak. Ada yang Bapak perlukan?” Olivia balas bertanya.
“Tidak. Tidak ada. Kamu hati-hati di jalan.”
Dahi Olivia berkerut. Bukan kali ini saja atasannya itu bersikap seperti ini. Sejujurnya tidak semua orang seberuntung Olivia. Atasan Olivia adalah tipe atasan santai dan berwibawa yang memberikan kebebasan pada semua stafnya untuk berani mengemukakan pendapat—apapun. Selagi tidak memberi dampak buruk dan merugikan untuk perusahaan, segala saran dan ide pasti akan dipertimbangkan dengan matang oleh atasannya itu. Tapi ya sudahlah. Yang terpenting sekarang ia bisa pulang cepat dan bertemu keponakan-keponakannya.
“Tumben kamu sudah pulang jam segini?” sapa Elok heran ketika melihatnya menampakkan diri dari balik pintu belakang. Rumah Elok adalah rumah kedua bagi Olivia untuk ia kunjungi.
Setelah bercipika-cipiki dengan Elok, Olivia mencomot bakwan jagung yang baru matang di atas meja dan melahapnya sekaligus. “Tante Elok gimana kabarnya? Sehat, kan?” kata Olivia dengan mulut penuh bakwan jagung. Elok adalah Mama dari teman semasa kecilnya Reihan yang telah Olivia anggap layaknya Mama kandungnya sendiri. Mama yang tidak pernah ada dalam setiap helaan napasnya. Bahkan wajahnya pun Olivia tidak tahu. Hanya sekedar nama yang Olivia tahu.
“Aduuh anak ini. Kelakuannya masih saja kayak anak kecil. Cuci tangan dulu kan bisa,” tegur Elok pelan masih dengan celemek berwarna biru yang melekat di tubuhnya yang sudah tidak muda lagi itu. “Iya Tante sehat, Sayang.”
Olivia meringis menahan malu lalu beralih mencuci tangan serta mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi dan tertahan beberapa waktu di sana.
“Kamu ke mana saja enam bulan ini? Tante khawatir sekali. Kamu makan teratur juga, kan?” tanya Elok masih dengan kesibukannya menggoreng tanpa berniat meninggalkannya.
“Olivia sehat kok, Tante,” timpal Olivia sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. “Yah, lumayan agak sibuk sih akhir-akhir ini. Maklumin ya Tante namanya juga sekretaris.”
“Kamu perlu ingat kalau tifus bisa kambuh kapan saja. Sibuk sih boleh, tapi tetap harus bisa jaga kesehatan. Tante nggak mau kamu harus masuk rumah sakit lagi karena kecapekan.”
Olivia mengangguk lalu kembali menyuapkan nasi ke mulutnya dalam diam sembari sesekali mengecek pesan W******p dari ponsel miliknya.
From : Pak Bos
Sorry mengganggu waktunya.
Bisa tolong kirimkan draft dan materi untuk presentasi besok?
To : Pak Bos
Saya kirim sekarang, Pak.
From : Pak Bos
Ok. I’m waiting.
Olivia menyalakan notebooknya sejenak kemudian memindahkan semua file dalam bentuk winrar dan mengirimkan secepat kilat. Pesan W******p pun kembali hadir di ponsel Olivia.
From : Pak Bos
Sudah kuterima.
Besok tolong dibantu seperti biasanya ya.
To : Pak Bos
Tentu saja, Pak.
Dengan senang hati akan saya bantu.
Kembali Olivia tersenyum puas dengan hasil kerjanya sambil menutup layar notebook tanpa mematikannya terlebih dulu. Ah ... sungguh beruntung dirinya mendapatkan atasan seperti atasannya sekarang. Selang beberapa menit kemudian pesan W******p kembali datang.
From : Pak Bos
Untuk seterusnya aku tidak keberatan kita bicara menggunakan bahasa non-formal.
Olivia mematung sejenak, lalu kembali memainkan jari-jarinya.
To : Pak Bos
Saya tidak mengerti maksud Bapak.
From : Pak Bos
Mulai sekarang kamu bisa memanggil saya Yusa atau Mas Yusa seperti lainnya.
Memang benar kebanyakan staf-staf lain di kantor lebih memilih memanggil atasannya itu dengan sebutan Mas Yusa dan itu sah-sah saja menurut Olivia. Salah satu alasannya karena Yusa ingin lebih mengakrabkan diri satu sama lain dengan para staf. Tapi apakah salah kalau Olivia tidak melakukannya? Olivia hanya ingin melindungi dirinya dari gunjingan para fans fanatik Yusa—mengingat posisi Olivia saat ini adalah sebagai seorang sekretaris pribadi.
Tidak berhenti hanya disitu saja. Apalagi dengan status masih lajang yang melekat pada diri Yusa seakan-akan memberikan pertanda bahwa posisi sekretaris adalah posisi teratas yang paling diinginkan dan berpeluang besar dilirik oleh Yusa yang notabene memang terbilang masih sendiri. Bahkan tidak jarang pula ada yang membuat rumor jika posisi yang ditempati Olivia saat ini hanya karena dirinya yang berparaskan cantik dan berpostur tubuh semampai layaknya seorang model papan atas. See? Bisa dibayangkan betapa besar pengaruh posisi seorang sekretaris dimata para staf perempuan di kantor ini, kan? Dan sekarang Yusa malah memicu perlakuan seolah anggapan orang selama ini terhadap Olivia adalah benar.
Tanpa berniat menanggapi pesan atasannya lagi, Olivia langsung memasukkan ponselnya itu ke dalam tas dan menghabiskan sisa makanannya yang sempat tertunda. Namun sepertinya Olivia harus kembali menundanya karena ponselnya yang tiba-tiba saja berdering.
“Halo ...” sapa Olivia sopan ketika tahu siapa yang menelpon. “Halo, Pak,” ulang Olivia lagi.
“Aku menunggu balasanmu, Via,” potong Yusa cepat.
“Bapak keberatan ya kalau saya panggil seperti biasanya? Jujur saja kalau saya lebih nyaman bicara seperti ini dengan Bapak.”
“Kenapa?” Yusa balas bertanya. “Pasti ada alasannya, kan?”
Olivia tidak menjawab. Sejujurnya ia takut salah bicara.
“Baiklah kita kesampingkan masalah itu dulu. Lusa apa kamu bisa memberiku tumpangan ke kantor?”
“Tentu saja, Pak. Di mana saya harus menjemput Bapak? Di apartemen biasanya?”
“Apartemenku sedang direnovasi sementara waktu. Akan kuberitahu nanti aku menginap di mana.”
Panggilan telepon pun berakhir begitu saja dengan meninggalkan Olivia yang masih bingung akan maksud dari apa yang mereka berdua perdebatkan beberapa menit yang lalu. Sungguh aneh, kan? Apa sih yang diinginkan atasannya itu darinya?Tepukan pelan dipundaknya membuat Olivia memalingkan wajah. Elok menatapnya dengan tatapan sedikit berbeda dari tatapannya tadi siang. Ibu dari teman kecilnya itu tiba-tiba saja mengusap pelan pucuk kepalanya lembut. Membuat Olivia terhanyut untuk sesaat.
“Malam ini menginap saja ya. Daripada di apartemen sendirian. Si Kembar pasti senang ada kamu. Sudah lama juga kan kamu nggak ketemu sama Si Kembar?”
Sejak diterima bekerja di perusahaan tempat Yusa, Olivia memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemen yang disewanya. Dan terakhir kali Olivia bertemu dengan putra kembar Lussi dan Reihan itu adalah tahun lalu saat ia dinas ke Malang. Selebihnya bahkan ketika mereka berempat berkunjung kemari pun Olivia tidak bisa ikut menemani karena bertepatan acara syukuran kantor.
“Nggak merepotkan, Tante?” tanya Olivia sebagai jawaban. “Via mau-mau saja sih. Sekalian temu kangen sama Reihan juga.”
“Nggak dong, Sayang. Sampai kapan pun kamu tetap anak Tante. Jadi kapan saja kamu mau tidur di sini, Tante selalu sedia satu kamar kosong untukmu.”
Olivia tertawa kemudian mengangguk. “Terima kasih, Tante.”
Olivia keluar ruangannya pagi-pagi sekali. Bukan karena ia terbiasa bangun pagi, melainkan karena semalam Olivia memang tidak bisa tidur. Tidak tahu kenapa Olivia mendadak susah tidur akibat terkena sindrom terlalu senang akan bertemu dengan Si Kembar. Setelah mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian Lussi, Olivia bergabung bersama dengan Elok di balkon belakang di mana Lussi telah duduk manis sambil menikmati brownies dengan teh rosella sebagai pelengkapnya. “Akhirnya bangun juga, Anti Via,” sahut Lussi saat melihat Olivia turun dari tangga. “Nggak disangka-sangka baju lamaku masih
Olivia melesatkan mobilnya menuju ke sebuah hotel di kawasan Jalan Ahmad Yani setelah mendapatkan pesan singkat dari Yusa. Setelah memarkirkan mobil dengan sempurna, Olivia disambut dengan senyum dan sapaan ramah seorang bellboy di depan pintu masuk. Olivia melenggang penuh percaya diri menuju meja resepsionis—berharap ia tidak membuat Yusa menunggu lama. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” kata petugas resepsionis ramah.“Selamat pagi. Bisa tolong dengan Bapak Yusa?”
“Sudah siap?” Olivia dan Lana saling bertukar pandangan satu sama lain. Yusa menghampiri meja Olivia beberapa saat setelah meeting selesai—membuat Lana juga ikut ternganga tidak percaya. “Kenapa kalian berdua malah bengong?” tanya Yusa heran ke arah Olivia dan Lana.
Muslimin tengah bersenandung di area pantry ketika Olivia masuk ke ruang kerjanya. “Pagi, Mbak Via ....” sapa laki-laki yang berusia tidak jauh dari Olivia itu. Muslimin membawakan segelas air putih dan meletakkannya di atas meja Olivia. “Hari ini bahkan jauh lebih pagi dari hari biasanya ya, Mbak,” sahut Muslimin membuka obrolan sambil sesekali mengelap meja kerja Olivia. “Iya nih. Kerjaanku sedang banyak.” Olivia mengeluarkan notebook dari dalam tas miliknya, dan memulai pekerjaan yang sempat ia tunda kemarin. “Ruanganku biar nanti aku bersihkan sendiri saja, Mas Mus,” ta
Suara lift terbuka bahkan suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas di telinga. Terlalu pagi untuk memulai aktivitas hari ini. Seperti biasa Olivia selalu menjadi penghuni pertama yang menginjakkan kaki di lantai ini setelah Muslimin. Arloji ditangan masih berada di angka enam ketika Olivia tiba di kantor. “Hari ini datang pagi lagi, Mbak,” sapa Muslimin dan langsung dibalas anggukan oleh Olivia.
Benar apa yang menjadi ketakutan Olivia kemarin. Beberapa pasang mata menatapnya dari segala penjuru. Terutama area pantry, di mana semua gosip apapun akan bisa kalian dengar di sana. Mata semua staf perempuan pagi ini berubah seperti mesin scanner yang bersiap melihatnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sungguh menakutkan sekali penggemar dari seorang Yusa. Dan sekarang di sinilah Olivia berada. Di sebuah cafe yang telah menjadi langganan hampir semua staf di kantornya sambil memerhatikan segala gerak gerik perempuan di depannya. Listya yang tengah sibuk dengan buku planner miliknya
Dante termenung dengan selembar foto ditangannya. Olivia—perempuan yang memporak-porandakan perasaan seseorang dalam hitungan detik entah kenapa sulit sekali untuk Dante lupakan. Senyum hangat nan manja perempuan itu seolah mencuri segalanya. Tidak hanya hati Dante, bahkan jiwanya pun juga ikut tercuri sampai saat ini. Hampir lima tahun berlalu, namun betapa sulit bagi Dante menghilangkan jejak Olivia dihatinya. Olivia secara tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Ke mana pun Dante berusaha mencari sosoknya, kabar Olivia seolah tidak pernah ada di dunia ini. Hidup Dante seakan kosong ketika tahu Olivia memilih untuk pergi meninggalkannya. Tiba-tiba rahang Dante mengeras—masih setia memandangi foto ditangannya. Ada perasaan kesal tercampur rindu saat ia melihat foto ditangannya. Tidak hanya senyum
Lussi melebarkan matanya ketika Olivia muncul kembali di rumah mertuanya dengan wajah kalut yang bahkan Lussi yakin Olivia sendiri pasti tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang. Olivia menangkap sinyal keterkejutan dari diri Lussi. Apalagi Olivia datang dengan kucuran airmata yang sudah jatuh tanpa permisi dipipi tirusnya.“Kamu kenapa?” Lussi bertanya heran sembari mengusap punggung lembut Olivia. “Kenapa, Via? Bilang sama aku,” kata Lussi lagi mencoba menenangkan.“Dia datang, Lu.”