Share

Bab 2 - Pak Bos Ganteng

Olivia melesatkan mobilnya menuju ke sebuah hotel di kawasan Jalan Ahmad Yani setelah mendapatkan pesan singkat dari Yusa. Setelah memarkirkan mobil dengan sempurna, Olivia disambut dengan senyum dan sapaan ramah seorang bellboy di depan pintu masuk. Olivia melenggang penuh percaya diri menuju meja resepsionis—berharap ia tidak membuat Yusa menunggu lama.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” kata petugas resepsionis ramah.

“Selamat pagi. Bisa tolong dengan Bapak Yusa?”

“Maaf dengan Ibu siapa dan keperluannya apa?” tanya petugas resepsionis itu lagi.

“Dengan Olivia Zukerna. Saya sekretarisnya Bapak Yusa.”

“Baik. Ditunggu sebentar.”

Olivia mengangguk pelan sembari melayangkan pandangannya ke sekitaran interior hotel.

“Silahkan menunggu di lobby Ibu.”

“Terima kasih ....”

Olivia menyandarkan tubuhnya dan berlama-lama dipunggung sofa. Arloji ditangannya telah menunjukkan pukul 09.30 pagi—waktu yang terlalu telat untuk ke kantor. Olivia mengambil ponsel miliknya dari dalam tas. Mengecek beberapa postingan terbaru diinstagram hampir menjadi rutinitasnya setiap pagi. Tidak perlu waktu lama untuk membuat Olivia terlarut di dalamnya. Berbagai postingan menggemaskan Lussi bersama dengan kedua jagoannya tentu tidak luput dari mata Olivia. Foto terbaru dari Si Kembar adalah bersepeda bersama Reihan. Entah sejak kapan kehadiran Si Kembar menempati satu ruang dihati Olivia seperti anaknya sendiri. Bahkan memori ponsel Olivia pun hampir seluruhnya didominasi oleh foto-foto lucu Si Kembar. Apakah ini adalah bentuk dari dirinya yang menginginkan hadirnya anak? Entah. Olivia bahkan belum tahu akan melepas masa lajangnya kapan.

“Via ....”

Yusa tiba-tiba menampakkan sosoknya tepat di depan Olivia. Membuat Olivia sedikit kaget sekaligus menganga dibuatnya.

Ya Tuhan, ini orang atau bukan? Batin Olivia.

Ini bukan pertama kalinya Olivia melihat Yusa mengenakan setelan kantor serapi ini. Ini juga bukan pertama kalinya Olivia dibuat terkesan karena penampilan atasannya itu. Penampilan Yusa tidak pernah ada yang salah. Hanya saja setelah hampir satu minggu tidak bertatapan langsung di kantor entah kenapa ketampanan Yusa semakin bertambah. Olivia bahkan tidak bisa membayangkan reaksi mereka yang berada di kantor setelah melihat ini. Benar-benar berbahaya.

“Apa aku terlihat aneh?” tanya Yusa berusaha mengambil alih obrolan.

“Oh ... Ah ... Iya, Pak? Maksud saya tidak.”

Duh, kenapa juga aku jadi ikut-ikutan gugup? Batin Olivia.

Yusa tertawa. “Kamu kenapa? Mau sarapan dulu di sini?”

Olivia menggeleng cepat. “Bisa kita ke kantor sekarang, Pak?”

Dahi Yusa berkerut. “Masih senyaman itu menggunakan bahasa formal denganku, Via?”

Ditanya seperti itu tentu saja Olivia tidak bisa menjawab. “Bahkan cuma kita berdua saja?” lanjut Yusa kemudian. Olivia masih tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sebagai pengganti jawaban. Seperti yang pernah Olivia jelaskan pada Yusa sebelumnya, ia jauh merasa nyaman menggunakan bahasa formal ketimbang mengikuti rekan-rekannya di kantor.

Yusa mengambil tas yang tengah dijinjing Olivia kemudian meraih punggung tangan Olivia dan menenggelamkannya ke dalam genggaman tangannya sendiri.

“Pak?” tanya Olivia sedikit protes.

“Nanti saja protesnya. Sekarang ayo kita berangkat ke kantor.”

Dan Olivia hanya bisa menurut pasrah mengikuti Yusa.

***

“Sumpah demi apa itu orang apa bukan?”

“Ya Tuhan, aku rela datang subuh kalau pemandangannya setiap hari begini.”

“Aduuh, Si Bos bikin tambah deg-deg ser.”

See? Belum ada satu jam Olivia dan Yusa menginjakkan kaki di kantor, tapi tingkah teman-temannya sudah seperti orang kehabisan oksigen. Lana, Adel, dan Listya atau lebih terkenal dengan sebutan tiga dara menor adalah geng rumpi yang paling berpengaruh dan terupdate seantero kantor. Tidak ada berita yang luput dari penglihatan mereka bertiga. Status? Tentu saja mereka masih sama-sama lajang. Karir? Tentunya mereka ahli dalam bidangnya masing-masing. Cantik? Pastinya. Rumpi? Jelas tidak perlu ditanya. Lana adalah kepala bagian dari divisi keuangan yang membawahi Listya sebagai asistennya. Sedangkan Adel ada di bagian divisi pemasaran yang berperan sebagai ujung tombak penjualan. Jika bukan mereka siapa lagi, kan? Mereka bersama-sama memegang peranan penting untuk kemajuan kemakmuran hidup semua staf. Jika hasil penjualan bagus otomatis keuntungan yang didapat perusahaan akan meningkat drastis yang berpengaruh pada stabilnya cash flow perusahaan. Gaji para staf pun akan terealisasikan tepat waktu. Bahkan bonus pun tidak hanya sekedar wacana saja. Sekarang kenapa mereka bertiga harus merasa tidak aman dengan posisinya di kantor? Menginterogasi pula.

“Kalian kok bisa datang barengan sih, Via? Bukannya Mas Yusa baru balik dari Semarang itu lusa ya?” tanya Lana memulai pertanyaan.

“Iya. Kok jadi kamu enak sih nempel terus ke mana-mana sama Si Ganteng,” sambung Adel.

“Eh tapi, kamu sebenarnya ada rasa sama Mas Yusa nggak sih, Via?” tambah Listya

“Aduduuh, satu-satu dong kalau bertanya, Mbak. Aku sampai bingung harus menjawab yang mana dulu,” kata Olivia sengaja menjeda mereka kemudian menegak habis segelas air putih yang ada di atas meja Lana.

“Lagipula kenapa sih Mbak-Mbak kok bisa suka ya sama atasan sendiri? Laki-laki tampan di kantor kita juga masih banyak loh, Mbak,” tukas Olivia.

“Tapi yang high quality single di kantor ini cuma dia, Via. Lagipula perempuan mana sih yang nggak naksir sama Mas Yusa? Dia itu sudah anak orang kaya, tampan, baik, pintar lagi. Aduh ... almost perfect pokoknya dia itu. Sepertinya cuma kamu deh yang nggak merasa gitu.”

Perkataan Lana yang menggebu-gebu langsung diberi anggukan mantap oleh Listya dan Adel bersamaan.

“Jadi kamu tuh sebenarnya enak loh, Via. Kamu bisa kerja sekaligus pendekatan sama Mas Yusa. Aku lihat dia juga responnya bagus ke kamu,” tambah Listya.

Olivia tertawa. “Begini deh Mbak Lana, Mbak Tya dan Mbak Adel. Kalau aku boleh jujur aku tuh agak capek ya diinterogasi terus kayak gini. Mbak-Mbak tahu tugas sekretaris itu apa saja, ke mana saja, dan harus bisa menjaga rahasia juga. Kalau Mbak penasaran kenapa kami bisa datang berdua karena Pak Yusa yang meminta aku menjemputnya. Nggak ada hal yang patut kami sembunyikan kok dari kalian atau semua staf. Karena memang cuma sebatas itu. Mbak-Mbak tolong mengerti juga dong posisiku.”

“Jadi maksud kamu kami ini menyebalkan, gitu?” sambung Adel karena merasa tersinggung.

“Itu Mbak Adel yang bilang loh ya bukan aku. Sudah ya, Mbak-Mbak ngobrolnya disambung nanti. Ada meeting penting setelah ini. Mari Mbak Lana.”

Olivia meninggalkan bilik kaca Lana dan bergegas kembali menuju mejanya. Perasaan lega merayap dalam dadanya. Seharusnya sudah dari dulu Olivia ingin berkata demikian, tapi ia masih menghormati mengingat mereka jauh lebih senior daripada dirinya. Olivia bergabung dengan perusahaan ini dua tahun lalu dan tahun ini adalah tahun ketiganya. Masih banyak sekali yang harus Olivia pelajari di sini, terutama dari Lana. Di antara Listya dan Adel, Lana adalah salah satu staf paling senior bahkan sebelum perusahaan milik Yusa dikenal banyak orang. Dahulu perusahaan berbasis IT masih tergolong aneh dan tidak menjanjikan. Dengan kepiawaian serta kecakapan dari seorang Yusa Jayadiningrat, perusahaan ini melejit hanya dalam kurun waktu dua tahun saja bertepatan saat Olivia awal mula bergabung. Segalanya seperti dipermudah. Hanya sekali klik dan segala macam bentuk transaksi bahkan laporan keuangan sekalipun dapat terselesaikan dengan waktu sepersekian menit. Bahkan Yusa juga mulai melebarkan sayapnya ke negara tetangga. See? Jadi pikirkan saja sehebat apa laki-laki yang bernama Yusa itu dimata para staf? Olivia mendadak mengerti kenapa atasannya itu bisa diperebutkan oleh kebanyakan perempuan di kantornya.

“Sudah selesai fotocopy-nya?”

Kemunculan Yusa secara tiba-tiba di ruangan fotocopy membuat Olivia kaget seketika. “Are you, ok?” tanya Yusa lagi. Kali ini bahkan wajah Yusa juga mendadak ikut-ikutan berubah aneh. “Aku nggak yakin kamu bisa membawakan meeting kali ini. Akan kuminta Lana untuk menggantikanmu,” cetus Yusa melanjutkan.

“Saya hanya kaget karena Bapak tiba-tiba muncul di sana. Bapak tidak perlu meminta Mbak Lana untuk menggantikan saya,” jawab Olivia cepat.

“Kamu yakin?” Yusa balas bertanya sembari menaikkan sebelah alisnya. “Maafkan aku, tapi entah kenapa aku merasa nggak yakin kamu bisa memandu presentasi kali ini. Ada baiknya kamu istirahat saja. Next time bisa ikut lagi.”

“Tapi, Pak?” Olivia menyela merasa tidak terima.

“Olivia ....” panggil Yusa penuh penekanan. “Sejak tadi aku memang sudah merasa ada yang aneh denganmu. Kamu nggak seperti biasanya. Istirahat, ok?”

Yusa berlalu meninggalkan Olivia yang masih bungkam menatap kepergiannya.

Kenapa hari ini semuanya berantakan? Batin Olivia.

Saran dari Yusa langsung Olivia laksanakan. Disaat semua rekan kerjanya ambil andil dalam meeting, Olivia hanya duduk bersandar dibelakang meja kerjanya. Sebetulnya pikiran Olivia sedikit terusik dengan perkataan Lussi semalam. Tanpa disadari ia kembali memikirkannya.

Ah, nanti juga hilang sendiri, batin Olivia.

Sekarang Olivia hanya berharap resume yang telah dipersiapkan olehnya tidak mempersulit Lana di dalam sana. Ya, itu saja.

Nggak usah mikir yang nggak perlu, Via, batin Olivia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status