Share

Bab 5 - Bukan Pelarian, Kan?

Suara lift terbuka bahkan suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas di telinga. Terlalu pagi untuk memulai aktivitas hari ini. Seperti biasa Olivia selalu menjadi penghuni pertama yang menginjakkan kaki di lantai ini setelah Muslimin. Arloji ditangan masih berada di angka enam ketika Olivia tiba di kantor.

“Hari ini datang pagi lagi, Mbak,” sapa Muslimin dan langsung dibalas anggukan oleh Olivia.

“Iya, Mas. Kebetulan aku bangun pagi-pagi sekali hari ini. Mas Mus sudah sarapan? Nih, aku ada bubur ayam untuk Mas Mus.”

“Aduh saya jadi tidak enak sama, Mbak. Mbak Olivia perlu saya buatkan kopi atau teh?”

“Kalau ada susu hangat, aku mau itu ya, Mas.”

“Siap laksanakan!”

Muslimin pun berlalu. Begitulah awal hari Olivia setiap harinya. Berbincang-bincang sejenak dengan Muslimin di pagi hari atau sekedar menyapanya saat bertemu di area pantry. Olivia meletakkan tas pundaknya di dalam lemari kemudian mulai berkutat dengan notebook yang telah berubah menjadi Ipad demi mempermudah pekerjaannya. Beberapa tumpukan map yang sempat Lana berikan padanya, Olivia buka dan memberikan sticky notes bagian-bagian mana saja yang membutuhkan tanda tangan Yusa nantinya. Olivia membuka pintu ruangan Yusa perlahan lalu meletakkan map di atas meja hingga sebuah tangan tiba-tiba melingkari pinggangnya yang membuat Olivia memekik karena kaget.

“Yusa ....” kata Olivia kesal.

Yusa menangkupkan tangannya meminta ampun sembari memamerkan sederetan giginya yang putih. Kemudian laki-laki itu menarik Olivia duduk disebelahnya. “Kamu selalu datang sepagi ini?” Yusa lanjut bertanya.

“Tergantung sih. Kenapa?” Olivia balas bertanya.

Yusa menggeleng pelan lalu merebahkan diri dengan menjadikan pangkuan Olivia sebagai bantalan. Tangan Olivia yang bebas tidak luput pula menjadi incarannya. Membuat Olivia menjadi salah tingkah sendiri karena perlakuannya.

“Yusa, ini kantor. Jangan seperti ini,” kata Olivia memperingati.

“Aku habis lembur, Via. Aku butuh charger. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan yang terbengkalai sebelum opening ceremony nanti. Lana benar-benar monster sesungguhnya.”

Olivia tertawa menimpalinya. “Kamu jahat sekali. Mbak Lana itu salah satu staf yang paling loyal sama perusahaanmu tahu,” tukas Olivia membela. “Kamu beruntung punya dia.”

“Salah ....” kata Yusa tidak setuju. “Aku beruntung punya kamu. Andaikan aku bisa seperti ini setiap hari, aku pasti makin giat bekerja,” lanjut Yusa kemudian.

Perlakukan Yusa semakin membuat Olivia mulai merasa tidak nyaman. Apalagi ketika kedua lengan laki-laki itu tiba-tiba mulai berjalan melingkari pinggang—tubuh Olivia memberikan sinyal peringatan. Berduaan saja dengan Yusa di ruang tertutup memang tidak baik. Tangan Yusa suka meraba apa saja yang bisa laki-laki itu raba. Itulah alasan kenapa Olivia berulang kali menahan tangan Yusa agar tidak bertindak lebih jauh.

“Kenapa? Aku bebas melakukan apapun di ruanganku, kan? Lagipula kamu calon istriku.”

“Aku muak berulang kali mengatakan ini, Yusa. Beri aku waktu berpikir.”

“Maka aku pun juga muak dengan alasanmu itu, Via.”

Yusa mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Olivia. Membuat Olivia refleks menahan tubuh Yusa dengan kedua tangannya dengan cepat.

“Yusa ....”

Yusa bergeming—malah semakin merapatkan tubuhnya ke Olivia.

“Yusa ....” ulang Olivia merasa risih.

“Kamu benar-benar membuatku kehabisan kesabaran, Via. Kupikir aku perlu sesuatu untuk mengikatmu,” katanya.

“K-Kamu mau apa?” Olivia mulai terbata.

Yusa berdecak lalu menggeser tubuhnya menjauhi Olivia. Ada sesuatu yang tidak beres yang Olivia rasakan di sini. Yusa, seperti bukan dirinya lagi.

Menjelang makan siang, tiba-tiba saja Yusa kembali menarik pergelangan tangan Olivia agar laki-laki itu mau mengikutinya. Percuma saja Olivia bertanya karena Yusa sama sekali tidak mau mendengarkan celotehannya. Olivia bahkan hanya pasrah saat Yusa telah melarikan mobilnya menjauhi area kantor.

“Kenapa kamu membawaku kemari?” protes Olivia.

Yusa memarkirkan mobilnya di depan salah satu rumah perhiasan di kawasan Rungkut yang tentu saja membuat Olivia kaget seketika.

“Katakan padaku kenapa kamu membawaku kemari, Yusa,” sergah Olivia lagi.

“Kita beli cincin. Kamu bebas memilih. Jangan pedulikan harganya.”

“Aku menolak.”

“Via ....”

“Berhenti memaksaku, Yusa. Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa terburu-buru seperti ini? Kamu bahkan nggak sekalipun mendengarkanku.”

Batas kesabaran Olivia habis sudah. Padahal jika Yusa mau bersabar menunggunya, mungkin saja keajaiban Olivia untuk segera menerima pinangan laki-laki itu bisa saja terjadi.

“Via, tunggu. Aku bisa jelaskan,” cegah Yusa meraih tangan Olivia agar dirinya berhenti dan menatapnya. “Aku mengaku salah. Jadi tolong ma—“

“Tolong beri aku jeda, Yusa. Beri aku satu bulan untuk memikirkan semuanya. Jangan paksa aku atau kesempatan itu tidak akan pernah datang lagi padamu.”

Satu kebodohan yang baru saja Olivia sesali. Sifat Olivia yang tidak menolak terang-terangan membuat segala di depannya menjadi rumit. Yusa bukan laki-laki jahat. Hanya caranya saja yang salah. Dan Olivia masih berusaha mempertaruhkannya.

***

Malam ini Olivia memutuskan menginap di rumah Elok. Tidak hanya Elok yang senang, Lussi pun demikian. Sayangnya ketika ia tiba, Si Kembar sudah terlelap ke alam mimpi. Lalu Yusa datang menyapa, membuat Lussi dan Elok saling bertukar pandangan. Sopannya sikap Yusa membuat Elok seketika jatuh hati. Bahkan setelah tahu status laki-laki itu.

“Calon suami?!?” Suara Lussi yang tiba-tiba meninggi membuat Elok mencubit menantunya.

“Kamu ngigau? Sejak kapan kalian menjalin hubungan? Hei, Yusa aku tahu dari sejak Mapala dulu kamu memang sudah naksir Via, tapi calon suami? Are you kidding me?”

Yusa hanya tertawa menanggapi ucapan Lussi.

“Maaf ya, Lu. Tapi aku nggak bohong. Kamu bisa tanya sendiri ke Via.”

“Sejak kapan? Kok aku sama sekali nggak tahu apa-apa? Kamu paksa Via, kan?”

Perdebatan Lussi versus Yusa pun masih terus terjadi. Sementara Elok malah mendukung hubungannya dengan Yusa agar cepat-cepat berlanjut ke pelaminan. Kata Elok, sesuatu yang baik pamali kalau terlalu lama ditunda. Karena kita tidak pernah tahu cobaan apa yang akan datang di depannya.

“Kalau gitu kamu harus cepat-cepat bilang sama Budemu, Via. Tante yakin Ambar pasti akan senang mendengarnya. Kalian berdua ini ya berita sepenting ini kenapa baru diumumkan sekarang sih. Dasar anak muda zaman sekarang.”

Olivia mengangguk tanpa berniat membantah. Selang tak lama kemudian Yusa pun pamit dengan kembali mencium punggung tangan Elok. Dan tak lupa Yusa mendaratkan kecupan dipipi Olivia sebelum ia melarikan mobil menjauhi kediaman Elok.

Interogasi pun akhirnya dimulai. Sejak dulu Lussi memang tidak pernah menyukai Yusa yang terlampau dekat dengan Olivia. Menurut Lussi, tipe laki-laki seperti Yusa adalah tipe teraneh yang pernah ia temui. Wajar saja jika respon Lussi sungguh luar biasa ketika mendengar kata calon suami dari bibir Yusa.

“Sekarang jujur sama aku, Via. Apa yang membuatmu menerimanya? Kesampingkan kalau aku pernah menganggap dia aneh, tapi kenapa? Dia maksa kamu?” tembak Lussi langsung.

Olivia menggeleng. “Nggak ada unsur paksaan kok. Cuma sedikit terburu-buru. Yusa hampir nggak memberiku waktu buat berpikir.”

“Ya itu sama saja,” timpal Lussi. “Harusnya kamu perlu curiga kenapa dia maunya terburu-buru? Jangan-jangan ada yang dia sembunyikan. Tuh kan! Dugaanku menganggap dia aneh

memang nggak pernah salah.”

Olivia hanya diam sebagai balasan. “Yusa sudah banyak berubah kok, Lu.”

Lussi menghela napasnya. “Berarti kamu sudah mantap dengan pilihanmu itu ya, Via. Suka nggak suka, aku pasti akan mendukung keputusanmu itu. Lagipula kalau bukan aku siapa lagi yang berpihak padamu, kan?

Olivia tertawa menimpali. “Kamu benar. Memang cuma kamu yang aku punya sejak dulu.”

“Glad to hear that. Aku ikut senang mendengarnya. Asal jangan jadikan ini sebagai pelarian. Nggak hanya kamu, kasihan juga Si Yusa.”

Olivia kembali tidak menjawab.

“Lima tahun bukan waktu yang sebentar, Via. Sudah cukup kamu menunggunya mencarimu. Sudah cukup kamu mengharapkannya kembali. Mulai sekarang belajarlah menerima laki-laki di depanmu.”

“Aku tahu, Lu ....”

Benar. Sudah cukup aku menunggunya, batin Olivia.

“Anti Viaaaaa ....”

Olivia dan Lussi menoleh. Kedua anak kembar Lussi itu berlari lalu menghambur ke arahnya sembari membawa dua buah guling dalam pelukan. Olivia terjerembab saat duo kembar itu menabraknya.

“Kalian kok belum tidur?” tanya Olivia pada salah satu putra Lussi. Deliandra menjawabnya dengan sigap.

“Ala dengal suala Anti dali atas. Ya kan, Alo?” Devandro mengangguk cepat.

“Yuk Anti bobok sama Alo,” tambah Devandro yang langsung diberi anggukan kembarannya.

“Iya nanti Anti bobok sama kalian ya. Tapi sekarang Anti mau ngobrol dulu sama Mama. Aro, Ara masuk kamar sekarang ya. Nanti dimarahi Papa loh kalau Papa pulang.”

Kedua bocah kembar itu saling berpandangan lalu berkata. “Siap laksanakan!”

Kekompakan dan kelucuan dari Si Kembar sejenak membuat Olivia lupa. Ia lupa akan hal yang membuatnya gelisah. Ia lupa akan beban dipundaknya. Tapi bukankah itu hal bagus?

“Via ....”

Tatapan Lussi pada Olivia mengandung arti lain. Berbeda dari tatapan sebelumnya.

“Benar bukan pelarian, kan?”

Olivia menggeleng pelan disela-sela senyumnya. “Akan kucoba, Lu,” kata Olivia menyudahi pembicaraannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status