Satu minggu setelah hari pernikahanku.
Aku kuliah kembali, karena aku masih kuliah. Drey, dia seorang dosen di kampusku. Seharusnya Drey mengambil cuti setelah kita menikah, tetapi dia tetap mengajar mahasiswa di kampus.
Aku kecewa. Drey benar-benar berubah. Dia jarang meluangkan waktu untukku. Aku seperti diabaikan begitu saja. Cuti mengajar satu minggu, apakah Drey tidak bisa? Semua orang, ketika baru menikah, mereka pasti libur bekerja. Walaupun hari Ini Drey libur mengajar, aku rasa bukan waktu yang tepat.
Aku mengecutkan bibir kesal. Baru pulang dari kampus, tiba-tiba Mamaku berkata; katanya semua barang-barang milikmu sudah dipindahkan ke rumah baru milik Drey. Apa rumah baru? Jujur, aku benar-benar terkejut.
Sejak kapan Drey memiliki rumah? Dan Drey telah menyiapkan rumah untuk kita? Rumah yang katanya sudah milik Drey.
“Sekarang Drey sudah pergi ke rumah baru," kata Mamaku. "Hm ... kira-kira dua jam yang lalu."
“Serius, Ma? Drey sudah pergi ke rumah baru itu dua jam lalu?” tanyaku menyelidiki, aku belum sepenuhnya mempercayai kata-kata Mamaku.
Aneh. Kenapa Drey tidak mengajaknya pindah ke rumah baru bersama-sama? Atau memberi tahu lebih dahulu?
Mamaku bernama, Katerina. Dia mengangguk. “Kamu sih, ditungguin tidak pulang-pulang. Mama telfon, kenapa tidak diangkat?" tanya Katerina.
Aku mendengus. Aku memang telat pulang ke rumah karena harus mengerjakan tugas banyak bersama kedua sahabatku, Viola dan Jessica. “Auryn harus mengerjakan tugas, Ma. Lupa membuka ponsel. Jadi, aku biarkan ponsel di dalam tasku.”
Mama Katerina beroh ria lalu melanjutkan kalimat, “Drey tadi pindahin barang-barang kamu dibantu sama Kak Anna.”
Jantungku langsung berdetak keras mendengar nama Kak Anna. “Lho, Ma?” Aku berusaha biasa saja dan tidak terkejut.
"Kenapa?"
"Kak Anna tadi mau daftar menjadi dosen baru di kampusku, Ma. Kenapa dia pulang cepet ke rumah?"
Mama Katerina menghampiriku. “Hanya mendaftar menjadi dosen, sayang. Proses tidak lama. Jadi, pulang lebih awal dan membantu Drey memindahkan barang kamu. Barang-barang milik Drey di tante Elma juga udah diboyong seminggu lalu ke rumah baru.”
“Tapi kenapa harus Kak Anna yang membantu Drey pindah ke rumah baru, sih, Ma?” gerutuku dalam hati setengah dongkol dan cemburu.
Ya. Aku harus jujur, aku cemburu.
Perasaanku menjadi terbang kemana-mana. Pikiran negatif terkoyak di otakku, terbanting-banting oleh perasaan gundah dan gelisah. Setelah mendengar pengakuan Drey, Drey mencintai kakakku. Aku menjadi orang cemburuan dan was-was.
“Lalu sekarang dimana Kak Anna, Ma?” tanyaku. Aku sudah menjamin bagaimana ekspresi wajahku, gelisah dan berkeringat dingin di pelipis. Aku mengigit kukuku sebelum Mama Katerina menjawab pertanyaan, aku sudah mengharapkan jawaban mama Katerina tidak sesuai dengan dugaanku.
“Anna belum pulang pulang ke rumah.” Mama Katerina melihat jam dinding. “Sudah jam setengah delapan. Mama ingat, barang-barang kamu yang dipindahkan ke rumah baru tidak banyak. Seharusnya Anna pulang cepat."
"Apa, Ma? Belum pulang ke rumah?"
Mama Katerina mengangguk. "Iya, sayang. Mungkin Anna sedang ada urusan."
Ya Tuhan! Siapapun tolong ... tolong bantu aku untuk berpikir positif! Aku harap, perkataan mama Katerina benar. Kak Anna mungkin sedang pergi ke rumah sahabat lamanya karena sudah lama berpisah.
Mama Katerina menyipitkan mata, sadar dengan perubahan diriku karena tiba-tiba aku terdiam cukup lama. "Ada apa, sayang? Kenapa muka kamu menjadi gelisah."
Aku langsung menggeleng kepala."Umm ...." Apakah aku harus mengatakan kepada Mama tentang kegelisahaan hatiku? "Ma—"
"Sayang, kamu sekarang ke rumah baru Drey, ya? Suami kamu sudah menunggu kamu," ujar Katerina, dia memotong perkataanku.
Aku menatap Mama Katerina dengan sorot mata teduh. “Mama tidak sayang sama aku?” tanyaku dengan manja seperti anak kecil.
"Lho, kenapa kamu berbicara seperti itu?"
Aku memajukan bibir beberapa senti, bermata puppy eyes. “Masa, anak sendiri diusir dari rumah, sih!" Aku memeluk erat pinggang Mamaku. Aku tidak ingin berpisah dengan mama, aku masih ingin tinggal di rumah mama Katerina.
“Bukan mengusir kamu, sayang.” Mama Katerina menyentuh rambutku dan dibelai dengan kasih sayang. “Kamu, 'kan sudah menjadi suami Drey. Dulu, kamu pernah bilang kepada mama."
"Bilang apa, Ma?" Aku lupa. Sungguh, aku seperti orang sudah tua dan pikun.
"Dulu kamu ingin mempunyai suami, bukan? Jadi menikah muda. Pasti Drey menunggu kamu, sekarang sudah malam. Seorang istri harus membuat makan malam untuk suami tercinta,” jelas Mama Katerina menggodaku.
Pipiku bersemu merah karena malu, kemudian menatap mama Katerina. “Mama, sudah tau aku tidak bisa memasak. Jadi, nanti Drey membeli makanan di restaurant saja. Lebih gampang dan simpel.”
Mama Katerina mendorong lembut tubuhku, memandang wajah paras cantikku. “Hustt! Kamu jangan menjadi istri pemalas. Kalau tidak bisa memasak, kamu belajar masak dong, sayang. Tidak mungkin kamu makan setiap hari membeli di restaurant. Dengarkan! Itu namanya pemborosan." Mama Katerina menasehatiku.
Aku sedikit tidak setuju dengan ucapan mama Katerina.
"Mengerti?"
Akhirnya aku hanya mengangguk saja. Takut menjadi anak durhaka jika membantah perkataan orang tua. "Okay, Ma. Aku akan berusaha memasak membuat makanan spesial untuk Drey.”
Mama Katerina mengacungkan dua jempolnya.
"Auryn pamit dulu, ya."
“Iya, sayang. Jaga diri baik-baik dan hati-hati di jalan.”
"Siap!" Aku melangkah keluar, namun kakiku berhenti sadar akan sesuatu. Aku menolehkan kepala ke mama, “Tapi, Ma. Aku tidak tau alamat rumah baru Drey. Hehe.” Aku nyengir tanpa dosa dan memasang wajah idiot.
Mama Katerina menggeleng-geleng kepala.
“Kenapa Drey, tidak memberi tahuku lebih dahulu? Kenapa, Drey?" batinku.
****
Itu mobil milik Drey.
Kenapa Drey menyembunyikan ini semua? Kenapa Drey tanpa sepatah kata memberi tahuku atau bercerita tentang perihal rumah?
Aku sudah membayangkan, hubunganku dengan Drey tidak akan baik-baik saja setelah aku mengetahui bahwa Drey mencintai kakak kandungku, Anna.
Kenapa menjadi rumit!!!! Ya Tuhan!!!!
Aku melangkah tidak sabar sampai di dalam rumah Drey, dress coklat selutut dengan setia bergerak mengikuti langkahku.
Aku mengetuk pintu dan memanggil nama Drey.
“Drey?”
Aku memutar kenop pintu dan ternyata tak terkunci. Aku langsung masuk ke dalam dan mencari suamiku. “Apakah Drey tidak ada di dalam?"
Aku menjadi takut salah masuk ke rumah orang lain. Itu tidak mungkin, karena tadi aku melihat mobil milik Drey di halaman.
Sedang memikirkan opsi panjang logis di mana Drey berada, mendengar suara membuat aku tersenyum. Itu suara Drey dari arah kamar paling dekat dengan ruang tamu.
Aku tidak berpikir negatif. “Drey?” panggilku. Tanganku memutar gagang pintu dan membuka. Klik, pintu terdorong.
“Drey apa kamu di dalam kamar—”
Suara aku semakin lirih, tidak melanjutkan kalimat. Aku membekap mulut dan ingin memekik keras. Tubuhku berdiri kaku di tempat. Mataku tidak berkedip dan dipenuhi euforia yang tercipta imajinasi. Detik-detik itu semakin terlalu, aku menyadari posisiku sedang berada dalam hal yang menggelikan sedunia.
Apakah ini yang dinamakan halusinasi? Kenapa kedua bola mataku melihat ada bayangan suaminya sedang memeluk mesra dan mencium tubuh seorang wanita? Wanita itu, kak Anna. Oh, tidak. Mungkin minusku bertambah sejak membaca novel online di ponsel. Aku mengucek mata dan memperjelas penglihatanku. Tapi, bayangan itu tidak berubah melainkan semakin jelas.
“Auryn?” panggil Drey. Drey langsung mendorong tubuh Anna. "Kenapa kamu datang ke sini?” tanya Drey dengan ekspresi terkejut bukan main, benar-benar terkejut.
“Kamu bertanya kepadaku, kenapa kamu datang ke sini? Drey. Aku istrimu, bukan orang lain. Dan kamu bertanya mengapa aku di sini? Ya, aku datang ke sini karena kamu suamiku. Apakah aku salah?!" Aku semakin berteriak, meninggikan nada suaraku.
Aku emosi! Tetapi aku juga kecewa dan sedih.
"Kenapa kamu tidak memberi tahuku lebih dahulu? Aku bisa menjemputmu, Ryn." Drey mencari pembelaan diri sendiri. "Bukankah kamu tidak tahu alamat rumah baruku?"
Aku hanya menyeringai mendengar perkataan Drey. Aku berusaha menahan emosi, menarik napas dalam-dalam. "Apa yang tadi kalian lakukan?!" tanyaku sakartis.
"Ryn ...." Kak Anna memanggilku. "Apa yang kamu lihat salah. Aku bisa menjelaskan semuanya tentang kejadian tadi."
Aku semakin muak.
Suara Kak Anna menelusup cepat telingaku. Jelas sudah. Seperdetik aku sadar akan bayangan itu nyata bukan semata halusinasi. Itu semua nyata!
“Berengsek kalian!”
"Brengsek kalian!"Akukeluar dari kamar dan dengan sengaja membanting pintu dengan keras. Drey dan Anna tersentak kaget. Mereka berpikir, mungkin aku akan semarah ini kepada mereka. Sejujurnya pikiranku kacau dan hatiku remuk berkeping-keping.Aku tidak tahu bagaimana cara meluapkan emosi. Apakah aku harus menampar pipi Drey dan menjambak rambut Anna? Aku tidak segila itu. Aku masih bisa mengontrol emosiku, tetapi rasanya sakit.Ya Tuhan, sesakit inikah aku melihat Drey dan Anna berciuman mesra di depan mataku sendiri?! Sesakit inikah ketika suamiku mencintai wanita lain, lebih sakit wanita yang dicintai Drey adalah kakak kandungku.Kenapa? Kenapa ini semua terjadi begitu saja. Kenapa setelah pernikahanku dengan Drey tidak berjalan mulus, semulus pantat bayi?Semua sudah jelas, aku tidak mungkin salah meliat. Semua nyata terjadi. Tapi aku tidak menyangka jika Kak Anna berciuman dengan Dre
Jam 6 pagi aku terbangun, tanganku meraba ke badan di sampingku. Aku merasa Drey sudah bangun dari tidurnya, dugaanku benar. Aku mengeryit dahi ketika tidak ada Drey, hanya ada satu lembar kertas putih bertulis pesan entah apa.Aku mulai membaca kertas itu, mataku menyipit khas orang bangun tidur. "Maaf, Ryn. Aku berangkat ke kampus sangat pagi. Ada sesuatu yang membuatku harus berangkat pagi. Anna memintaku untuk bertemu di kampus. Aku hanya membantu Anna karena dia sekarang menjadi dosen baru."Sepagi ini Drey berangkat ke kampus hanya untuk membantu Anna?Aku merobek-robek kertas itu menjadi kepingan kertas yang tidak terbentuk. "Huh." Aku menghela napas kasar dengan bibir cemberut.Anna lagi dan L A G I.Kenapa, sih! Drey sekarang berubah, lebih mementingkan Anna daripada aku. Haruskah aku mencoba untuk lebih sabar lagi?Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi, aku masih memikirkan Drey dengan Anna. Drey semakin menjauh dari
Aku melamun, menompangkan daguku. Aku sadar sejak tadi sahabatku, Viola dan Jessica memandang punggungku dari jauh dengan ekspresi penuh curiga.Bagaimana tidak curiga? Yang biasanya di kampus selalu bersikap calm down tiba-tiba aku berubah menjadi Auryn suka melamun dan sering diam di kelas. Satu kelas saja menyadari perubahanku, mereka selalu bertanya kepadaku."Ada apa?""Apa kamu baik-baik saja?""Kamu punya masalah?""Ayo katakanlah, jangan dipendam sendiri, Ryn."Aku menjawab hanya gelengan kepala dan senyuman palsu dari bibir pucatku. Aku dulu ramah senyum, sekarang menjadi cuek dengan orang sekitar. Aku kemarin sengaja bolos mata kuliah, moodku buruk!Viola mendengar kabar dari mahasiswa lain, bahwa aku datang ke ruangan dosen Drey tapi setelah itu wajahku tampak sendu berjalan keluar kampus. Viola Dan Jessica tahu, hubunganku dengan Drey sangat dekat hingga menikah, tapi siapa sangka semua berubah semenjak menikah.
[ Author POV ]Selesai memberi materi kepada mahasiswa. Drey kembali ke ruangannya dan duduk di kursi, merebahkan badannya untuk mengambil waktu istirahat. Perut kosong karena sejak tadi pagi belum mengisi perutnya. Rasanya tidak napsu untuk sarapan. Sekarang cacing di perut mulai berdemo. Jadi, Drey tidak perlu menunggu perut sakit baru makan. Rasa lelah dan lapar, dia hempasan jauh dari perasaan bayang-bayang Anna mulai mengusik pikirannya. Drey akui, dia masih memikirkan wanita itu. Wanita yang menjadi cinta pertamanya dan dulu berjanji akan menikah.Anna memilih menempuh pendidikannya di Inggris dan terpaksa meninggalkan Drey, sementara Drey kuliah di Jakarta.Beribu pertanyaan membentuk gundukan piramid yang tidak berujung. Hingga sebuah pertanyaan, kenapa memilih menikah dengan Auryn bukan Anna? Setiap kali Drey melihat Auryn, dia teringat dengan seseorang, namun Drey sudah berusaha melupakan Anna. Tetapi cintanya bersemi kembali kala ke
Aku merasa Drey tidak akan mengakhiri pernikahan kita, pernikahan baru berjalan satu minggu. Tidak mungkin Drey meminta cerai secepatnya. Sementara Drey dan Aku tidak ingin menyakiti ibuku dan ibunya. Bila kita berpisah, bukan hanya aku yang tersakiti, namun Ibu Drey.Ngomong-ngomong, umurku masih 20 tahun, sedangkan Drey 25 tahun. Drey lebih tua dariku. Sekarang, aku kuliah jurusan psikologi dan Drey menjadi dosen departemen ekonomi.“Drey ..." panggilku. "Kamu sudah pulang?” Mataku sudah berkaca-kaca melihat Drey pulang ke rumah.Aku menyambut kedatangan Drey yang baru saja masuk ke kamar dan meletakan tas punggung. Wajahnya terasa lelah dan letih itu menoleh ke arahku.Dheg. Aku tercengang melihat sorot mata Drey. Tatapannya sangat berbeda dan lebih dingin. Aku terpaksa menarik sudut bibir membentuk senyuman.
“Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, ya, Ryn!” pesan Drey kepadaku saat kita sudah berdiri di halaman kampus. “Hari ini aku nggak ada jadwal mengajar di kampus kok, Ryn. Jadi, sedikit banyak waktu luang.”Aku mengangguk paham. Rumah tangga kita adem ayem. Aku pikir, Drey sebisa mungkin memperhatikan dan peduli denganku. Mungkin satu alasan, aku istrinya. Sudah sepantasnya menjadi tanggung jawab suami."Oke, deh. Aku ke kelas dulu, ya."Drey mengecup keningku lalu. “Jangan kebanyakan melamun, kuliah dengan serius supaya cepet wisuda,” nasihat Drey Dan menyentil dahiku dengan jarinya."Aw ..., Sakit," ringisku sembari mengelus keningku."Sudah sana, kamu ke kelas," usir Drey.Aku mengangguk dan meninggalkan Drey di sana. Baru saja berjalan lima langkah, ada seseorang yang memanggil namaku. Aku hapal siapa gerangan pemilik suara yang memanggilku.“Kenapa Drey?” tanyaku bingung. Drey menghampiriku. Berdiri dihadapanku.Drey menyo
Lima belas menit berlalu .... Belum ada tanda-tanda Profesor psikolog Pak Raffa tak kunjung datang. Hingga menit ke dua puluh, ada seseorang masuk ke kelas. Sontak seluruh mahasiswa yang berada di kelas seketika menghentikan kegiatan mereka.“Selamat pagi semua!”Selamat pagi? Tumben sekali Profesor Raffa mengucapkan selamat pagi, biasanya datang selalu menyapa dengan, apakah kalian sudah siap dengan materi hari ini? Eh bentar, suara Profesor Raffa berubah menjadi lembut? Jangan-jangan yang datang seorang bidadari? Eh ralat, maksudnya seorang wanita.Tapi siapa?Jessica menyenggol lenganku. “Angkat kepala, Ryn. Liat di depan siapa yang masuk ke kelas kita,” bisik Jessica.Aku menurut, sesaat badanku kaku melihat wanita di depan sana. Kak Anna, kenapa dia masuk ke kelas ini? Kenapa harus bertemu di saat aku berusaha menyembuhkan luka hatiku dan belajar menjadi istri yang baik. Rasanya seperti ada busur panah menusuk hatiku, wanita yang aku sengaja menjau
Kelas sudah selesai lima menit lalu. Aku mengingat perkataan Drey, dia bilang kepadaku jika kelas selesai menghubunginya. Baiklah, aku akan meminta Drey pulang bersama.“Sayang, kamu dimana? Jadi pulang bersama?” tanyaku ketika sambungan telepon tersambung. Dia berdiri di tepi halaman fakultas psikolog. “Kelasku sudah selesai nih," tambahku.Drey menjawab sangat lama, aku tetap menunggu jawaban darinya. Detik ke sepuluh, Drey menjawab, “Maaf, Ryn. Tiba-tiba aku ada urusan di luar jam kuliah, nggak bisa pulang bersama. Nanti aku pesenin go car aja, ya?”Kakiku mendadak berdiri lemas seakan tidak kuat menompang tubuhku. Urusan mendadak? Umm... Aku menjadi penasaran.“Urusan apa, Drey?” tanyaku kepo. Sejujurnya, aku ingin pulang bersama dengan Drey. Tapi ... Ah sudahlah, tidak apa.“Pokoknya ada urusan. Aku pesankan go car sekarang, ya,” jawab Drey cepat.Aku mendengar jelas suaranya seperti sedang teramat buru-buru dan ingin memutuskan panggil