Share

4 Sepasang Sepatu

"Mah udjan yaa? Lambut Ilen bacah,” ucapnya cadel. Ceria tersadar, dia segera menghapus airmatanya. 

“Oh iya tadi gerimis sedikit sayang,” ucap Ceria asal. 

“Nda mahu kena udjan Mah,” Iren mengeratkan pelukannya, Ceria mengusap-usap kepala putri kecilnya. 

“Iya, ujannya udahan kho,” Ceria menenangkan Iren. 

“Mba udah sampai,” pengemudi ojek online memberitahu ketika pada aplikasi sudah menunjukkan sampai di lokasi. 

“Baik, Makasih Om,” Ceria memberikan uang cash pada pengemudi ojek onlinenya. 

Ceria langsung menggendong Iren. Dia memijit bell rumah berpagar tinggi tersebut. Orang tua Bagja bukan termasuk orang yang kaya, namun tidak juga termasuk golongan yang sederhana. Rumahnya besar, bertingkat dan berpagar tinggi. Tidak lama menunggu, ibu mertuanya membuka pintu dan wanita paruh baya itu berhambur memeluknya. 

“Wah Iren, sini sama Nenek,” dia mengambil Iren dari gendongan Ceria. Gadis kecil itu memang cukup dekat dengan keluarga Bagja yang memang masih tinggal satu daerah. Beda halnya kalau ketemu dengan keluarga Ceria yang sekarang tinggalnya di Majalengka, susah untuk langsung bisa berbaur karena jarang ketemu. 

“Ayah ngajar Bu?” Ceria berbasa-basi, sebetulnya dia tahu kalau mertuanya masih kerja, dalam usianya yang sudah sepuh lelaki itu masih aktif ngajar dan menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota itu. 

“Iya Ri, ayo masuk, Mamah udah masak, kita makan bareng, tadi Bagja ada ngehubungi Mamah, katanya kamu mau kesini,” ucap Bu Marta, ibunya bagja. 

“Iya Mah,” Ceria langsung mengikuti langkah Bu Marta yang menggendong Iren. 

Mereka mengobrol cukup lama mengenai playgroup untuk Iren. Ceria juga menceritakan keinginannya untuk kerja lagi. Mertuanya cukup netral dan tidak memihak, dia menyerahkan keputusan untuk kerja seluruhnya kepada Ceria dan Bagja. Mereka yang membina rumah tangga, maka segala keputusannya harus disepakati berdua. Sementara Bu Marta sangat tidak keberatan jika Iren akan lebih banyak tinggal disana, idenya Ceria untuk merekrut satu baby sister untuk menjaga Iren seketika ditolaknya. 

“Biar mamah yang antar jemput Iren ke sekolah, dan nemenin Iren main disini, mamah seneng malah, rumah jadi ga bakal sepi lagi, anaknya Mba Mita kan udah besar sekarang, sekalinya main juga udah punya dunia sendiri, nanti mamah bantu bilang bagja biar Iren sekolah disini, masalah kerjaan itu kalian urus saja berdua,” ucap Bu Marta.

Ceria merasa lega karena mertuanya terlihat betul-betul menyayangi Iren. Sekarang hanya tinggal bagaimana caranya dia meyakinkan Bagja agar mengijinkannya kerja kembali. Setelah mengobrol, Ceria diantar mertuanya melihat play group yang letaknya tidak jauh darisana, tempatnya bersih dan nyaman. Ceria langsung yakin untuk menjatuhkan pilihannya. Seharian Ceria memperhatikan Iren yang terlihat gembira bermain bersama Maura, kucing peliharaan Nenek Marta. Kucing yang berbulu putih, tebal dan gemuk itu tidak lepas digendongnya kesana kemari. Hingga menjelang sore, Iren berkeras tidak mau pulang. 

“Bagja, anakmu mau main sama Maura, jadi mama minta Iren nginep disini ya, nanti kamu pulang kesini aja,” Bu Marta menelpon Bagja didepan Ceria. 

“Ok,” Wanita paruh baya itu menutup sambungan telepon setelah mendapat persetujuan dari Bagja. 

“Ri, suami kamu udah ngijinin kalian nginep disini, biar besok aja pulangnya, dia udah mamah suruh nyusul pulang kerja,” ujar Bu Marta. 

“Iya mah, tapi aku harus mengambil baju ganti Iren dulu ya mah, sekalian aku ganti baju,” ucap Ceria. Bu Marta hanya mengangguk tanda setuju. 

Ceria membantu memasak, membereskan rumah dan apapun yang dia bisa kerjakan hingga dia terlupa jika akan pulang dulu. Akhirnya dia memesan ojek online pada pukul setengah enam sore. Tak berapa lama, ojek itu berhenti didepan rumahnya, namun Ceria mendapati sepeda motor suaminya terparkir didepan rumah. Dia melangkah mendekati pintu, namun ada sepasang sepatu dengan hill tinggi tergeletak disana. 

DEG 

Perasaan tidak enak sudah menyeruak kedalam dadanya. Perlahan dia memutar gagang pintu yang tidak terkunci. Terlihat suaminya yang duduk berdempetan di sofa dengan seorang wanita muda, mereka memang masih mengenakan seragam kerja, namun apa itu duduk mereka nyaris tanpa cela dengan memegang selembar kertas yang sama. Terlihat begitu dekat, dan intim obrolan mereka. 

“Ri, k kamu pulang?” Bagja terlihat kaget dan langsung menjauhkan badannya yang menempel dengan wanita itu. 

“Iya Mas,” Ceria masih berdiri menatap wanita yang hanya melongo menatapnya. 

“Sisy, ini kenalkan istri saya, Ceria,” Ucap Bagja.

“Ri, ini Sisy bagian admin yang support kerjaan aku di kantor,” ucap Bagja lagi sambil menghampiri Ceria. Tangannya meraih lengan Ceria namun wanita itu menepisnya. 

“Permisi, aku ga lama kho Mas, lanjutin aja, aku Cuma mau ambil baju ganti Iren, sejak siang dia main terus sama Maura soalnya,” Ceria pergi meninggalkan mereka. Dia langsung ke kamar dan menjatuhkan diri pada dipan. Dadanya terasa sesak tapi tidak tahu apa yang harus dia perbuat. Pantas saja suaminya betah di kantor, setiap hari ditemani dengan gadis muda, cantik, seksi sementara dirinya sendiri bahkan malu ketika menatap pantulan dirinya di cermin. 

Tapi airmata itu tak bisa tertahan. Ceria menangis dengan menungkup wajahnya dengan bantal. Pikirannya langsung melayang jauh, seperti apa kedekatan mereka selama ini. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa, Bagja selalu mengatasnamakan pekerjaan dan mencari nafkah untuk keluarga. Hatinya sakit, benar-benar merasa teriris.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status