Share

2. Kehidupan Baru

8 tahun kemudian, Jakarta.

"Hana tungguin." Syafa berlari sambil memegang ranselnya.

Hana yang mendengar namanya dipanggil langsung berhenti dan berbalik untuk melihat sahabatnya Syafa yang sedang lari terburu-buru. Akhirnya dengan nafas yang sedikit tidak teratur akibat berlari Syafa bisa sampai di dekat Hana.

"Sialan lo. Lo budek apa gimana sih. Dari tadi di panggilin Lo nya nggak respon." Syafa menarik nafas dan menghembuskannya.

"Sori loh Fa. Gue bener-bener nggak denger tadi." Hana mengacungkan 2 jari tanda peace lalu tersenyum lebar. Ia sama sekali tidak mengetahui jika sedari tadi Syafa sudah memanggil namanya.

Syafa kemudian memutar bola matanya jengah. "Udah yok ke mading. Mau liat, Gue di mutasi ke mana." Syafa menggandeng tangan Hana untuk berjalan ke arah mading.

"Ckk. Gaya lo mutasi segala. Yang ada juga lo mah imitasi." Hana tertawa dengan ucapannya sendiri.

"Wah sekate-kate lo ngomong kayak gitu. Sahabat tersayang lo nih." ucap Syafa. Sahabatnya ini asli Bandung, namun logat Betawi sangat cocok dengannya.

"Iya-iya. Gue mah sayang Syafa." Hana mengiyakan pernyataan Syafa.

"Gue kok geli yah denger lo ngomong kayak gitu Na." Sean tiba-tiba datang dan langsung merangkul bahu Hana. Mereka bertiga kembali melanjutkan perjalanan menyusuri koridor.

"Kirain siapa, ternyata elo kunyuk. Bilang aja kalo lo cemburukan Hana lebih sayang ama gue ketimbang situ?" Syafa mencegat jalan mereka dan mengarahkan jari telunjuknya pada Sean. "Hayo loh ngaku!"

Sean jadi salah tingkah di depan Hana dengan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Ehhh lo pada udah liat kelas baru. Ke mading nyok." ajak Sean.

"Yaelahh Sean mah gitu, suka mengalihkan perhatian mulu." ejek Syafa.

"Idih biarin. Emang urusan situ. Sono gih lo ke planet mana kek. Jangan halangin jalan gue ama tuan putri. Hush jauh-jauh sono." Sean menggerakkan tangannya tanda mengusir sedangkan yang satu lagi masih bertengger manis dibahu Hana.

"Udah-udah. Ih lo berdua, masih pagi juga udah buat keributan. Ributnya make toa lagi." Hana kini menarik lengan Syafa untuk kembali berjalan.

"Lo salah Na. Yang di bawa Syafa mah bukan toa tapi." ucapan Sean tergantung karena Syafa langsung memotong.

"Tapi apa hayo! Lo mau berantem ama gue. Panggil noh pasukan teman-teman basket lo, gue tunggu di lapangan." Syafa kini kembali emosi.

"Oke. Ayo berantem. Gue bakal bawa banyak pasukan hahahaha." Tawa Sean kini terdengar aneh di pendengaran Hana.

"Bawa aja. Bawa pasukan lo sebanyak-banyaknya. Gue nggak bakal dateng kok. Lo tenang aja."

Seketika tawa Hana pecah. Ia memang memiliki sahabat-sahabat yang absurd nya nggak ketulungan.

"Liat tu Fa. Hana makin cantikkan kalo lagi ketawa." Sean menatap Hana sambil tersenyum.

Hana yang di tatap seperti itu langsung salah tingkah.

"Lo apaan sih."

"Raja ngegombalnya mah muncul lagi Na." kembali Syafa mengejek Sean

"Udaah. Noh madingnya udah ada di depan." Hana berjalan duluan meninggalkan Syafa dan Sean menuju mading.

"Gue harap bisa sekelas ama dia." Sean berucap penuh harap.

"Au ah gelap. Kayak kulit lo." saut Syafa. Mereka memang tidak pernah lelah untuk berdebat setiap hari.

"Wah parah, mata lo perlu di periksain ke dokter deh Fa. Kulit gue putih gini lo bilang gelap." Sean sama sekali tidak terima dengan perkataan Syafa.

"Emang. Udah yok gue cape debat. Mending nyusul Hana." Syafa berjalan duluan meninggalkan Sean. Menyerah lebih awal karena ini masih terlalu pagi untuk menguras emosi.

"Woii tungguin gue nyet!" 

"Gue bukan monyet!" teriak Syafa. Lihatlah, Sean kembali memulainya. Syafa pun melanjutkan jalannya mendekati Hana.

Mading kini di penuhi dengan siswa-siswi yang ingin melihat di mana kelas baru mereka berada. Sean, Hana dan Syafa bersahabat semenjak kelas sepuluh karena mereka juga satu kelas. Saat naik kelas sebelas Sean pisah, sedangkan Hana dan Syafa masih tetap satu kelas. Kini mereka memasuki awal tahun di kelas dua belas.

"Kenapa?" Syafa mendekat dan bertanya pada Hana yang hanya berdiri menatap siswa-siswi yang berdesakan di depan mading.

"Banyak orang." Hana menjawab. "Malas berdesakan gitu. Tunggu mereka pergi aja." lanjutnya.

"Udah biar gue aja yang liat." Bukan Syafa namanya jika tidak bisa menerobos kerumunan siswa-siswi. Mengingat badannya yang ramping dan memiliki tinggi yang ideal.

Syafa keluar dari kerumunan siswa-siswi tersebut. "Gila! Di sana sesak banget. Harusnya tuh antri, nggak perlu desak-desakan kayak gitu kali." Syafa mengibas-ngibaskan tangannya. Berharap angin buatannya dapat menyejukkan dirinya.

"Lo kira beli tiket, antri." kini Sean mendengus menanggapi.

"Ya kali aja. Indonesia itu seharusnya lebih mengetatkan budaya antri. Biar orang-orang Indonesia itu makin disiplin." Syafa melipat kedua tangan dan mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dengan perkataannya sendiri.

"Wiihh. Sean gawat nih, jiwa patriotismenya Syafa kumat." Hana menyikut lengan Sean.

"He eh." Sean menanggapi. "Nah, sekarang gue mau nanya. Kita di kelas mana?" lanjutnya.

Syafa tersenyum-senyum sendiri menggesekkan kaki kanannya di lantai, kedua tangannya ia bawa ke belakang punggung dan menaik turunkan kedua alisnya secara bersamaan.

Sean yang melihat tingkah laku Syafa langsung merinding. Pikirnya Syafa kini kerasukan kucing betina yang minta kawin. Ia pun langsung bersembunyi di belakang Hana.

"Na. Syafa kenapa noh. Kesambet yah? Ampun sana gih tolong suruh dia nyebut. Kalo nggak berhasil kita tinggalin aja Na. Gue merinding nih." Sean yang masih berada di belakang Hana terus saja menunduk sambil menggenggam erat ransel Hana.

"Fa. Lo sehat." Hana mendekat dan menyentuhkan punggung tangannya pada jidat Syafa.

Syafa mengangguk dengan semangat. "Gue sehat walafiat kok Na."

"Lah trus kenapa situ senyum-senyum." Hana melepaskan tangannya dari jidat Syafa dan menoleh menatap Sean. Sean hanya membalas tatapan Hana dengan gelengan.

Seketika tawa Syafa pecah. "Gilak ekspresi lo berdua lucu kalau tegang gitu."

Sean yang langsung mengerti tentang situasi apa yang saat ini terjadi langsung kembali ke samping Hana. "Lo. Wah parah lo Fa. Asli, kalo lo akting kayak gitu lo udah kayak kesambet beneran."

"Lagian juga siapa suruh lo takut sama yang berbau mistis, jadinyakan gue gampang ngerjainnya." kembali Syafa tertawa sambil memegang perutnya.

Hana hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya.

"Gue nggak takut tapi phobia." Sean mendengus.

"Sama aja Sean." Syafa kini berjalan ke samping Hana dan mengedipkan mata pada Hana.

"Beda. Kalo takut kesannya gue nggak cool, kalo phobia mah semacam kelainan."

"Terserah lo dah mau ngedefenisiinnya kayak gimana. Yok Hana kita ke kelas." Syafa mengamit tangan Hana dan mulai berjalan terlebih dahulu.

"Woii kok gue ditinggalin lagi sih. Kelas gue dimana Fa?! Na, lo kok ikutan niggalin gue!" teriak Sean.

"Kita bertiga sekelas Sean. Kelas dua belas IPA 2!" balas teriak Syafa.

Sean berjalan menyusul kedua sahabatnya. "Wah. Serius lo Fa!" ucapnya dengan girang, dan mensejajarkan langkahnya dengan Hana dan Syafa.

"He eh." Syafa menanggapi.

Hana kembali dibuat geleng-geleng kepala oleh tingkah sahabat-sahabatnya. Merekalah yang membuat hari-hari Hana di sekolah lebih berwarna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status