Share

6. Bad Day

Pagi ini Hana berjalan menyusuri koridor dengan riangnya. Di sapanya setiap siswa-siswi yang melewatinya. Ketika ada yang memanggil namanya ia pun berhenti dan berbalik. 

"Hana, tugas dari Bu Ratna udah gue teliti. Tinggal di serahin aja ke Bu Ratnanya. Nih, lo aja yang serahin yah soalnya gue ada tugas ngambil bagian di upacara." Gisel teman sekelas Hana menyerahkan beberapa lembar kertas yang telah dijilid rapi.

"Baiklah, kalo gitu gue taruh tas dulu baru ke ruang guru yah." Hana baru saja akan melangkah namun kembali di hadang oleh Gisel.

"Elo ke ruang guru aja sekarang Na, soalnya nanti keburu upacara. Itukan harus di setor sebelum upacara." Anjur Gisel yang terlihat seperti sedang terburu-buru.

"Oh gitu yah? Oke gue ke ruang guru dulu deh. Bye." Hana melangkah meninggalkan Gisel menuju ke ruang guru. Sedangkan Gisel berlari menuju ke lapangan.

Hana berjalan di koridor sekolah sembari menatap beberapa kerumunan siswi yang tak jauh dari tempatnya kini.

‘Tak biasanya depan ruang tata usaha ramai? Oh, palingan ada anak baru.’ Batin Hana.

Lalu samar-samar ia mendengar siswi-siswi yang berbisik bahwa ada anak baru di sekolahnya yang katanya kece abis. 

‘Nah, kan? Bener ada anak baru.’ Batin Hana bangga karena yang dipikirkannya benar.

Hana lalu menepis rasa penasarannya, karena ia harus segera menyerahkan tugas di tangannya. 

Hana mengetuk pintu ruangan Bu Ratna, setelah di persilahkan untuk masuk Hana langsung mengutarakan maksud kedatangannya. "Permisi Bu, saya mau menyerahkan tugas dari kelompok saya."

Bu Ratna yang sedang berdiri mencari sesuatu di rak melirik Hana sekejab lalu menganggukkan kepala. "Letakkan saja itu di atas meja saya." Tunjuk Bu Ratna pada meja yang ada di belakangnya.

"Baik Bu." bersamaan dengan Hana yang meletakkan tugas tersebut, bel sekolah tanda upacara pun berbunyi. Hana bergegas pamit pada Bu Ratna lalu berlari ke kelas untuk menaruh tasnya sebelum menuju ke lapangan upacara. Namun...

Bruukk!

"Awww!" Hana terjatuh. Bokongnya terasa sakit akibat terbanting keras di lantai yang dingin. Ia pun meringis dan mengusap-usap bagian yang terasa sakit itu.

Hana sadar jika orang yang di tabraknya tadi hanya berdiri tidak ada niat untuk menolongnya. Hana langsung bergegas untuk berdiri walaupun hal itu menimbulkan nyeri di pinggulnya. Di tatapnya seseorang yang di tabraknya tadi. Dia ganteng, itulah hal pertama yang ada di pikiran Hana ketika melihat cowok di depannya. Dia memiliki bola mata yang hitam pekat dan Hana seperti dejavu melihat bola mata hitam itu. Hampir saja Hana luluh di buatnya.

"Sudah puas mengagumi saya?"

Hana tersentak lalu membelalakkan mata. Oh Tuhan. Hana menarik semua tentang apa yang di kaguminya dari cowok itu. Hana tidak menyukai orang yang angkuh seperti itu.

"Lo nggak mau minta maaf?" ucap laki-laki tersebut lagi sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana.

Hana berpikir jika laki-laki di hadapannya ini sudah menunjukkan wajah aslinya. Baru saja dia mengucapkan kata 'Saya' lalu detik berikutnya dia mengucapkan kata 'Lo'. Lagi pula Hana juga merasa di rugikan di sini. Dalam artian tidak sepenuhnya ia yang salah. Jadi cowok itu juga harus minta maaf.

 "Lo nggak punya perasaan atau gimana?" Hana menunjuk cowok tersebut dengan jari telunjuknya. "Di sini gue nggak sepenuhnya salah yah. Lo juga harus minta maaf. Lagipula gue cewek dan lo sama sekali nggak berinisiatif buat nolongin gue tadi." Dengusnya.

"Karena menurut gue lo nggak penting." ucap laki-lakii tersebut sambil berlalu pergi. Meninggalkan Hana yang kini melongo akibat ucapannya.

"Apa. Nggak penting kata lo. Cihh emang lo penting buat gue." teriak Hana dengan kekesalan yang menggebu-gebu. Cowok itu benar-benar keterlaluan. Hana merasa heran, apa sedingin itu ia memperlakukan cewek.

***

Upacara telah usai dan kini semua siswa-siswi berbondong-bondong masuk ke kelas masing-masing. Begitupun juga dengan Hana dan Syafa yang kini berjalan di koridor untuk menuju kelas mereka.

Syafa menyikut lengan Hana untuk mendapat perhatian sahabatnya itu. "Lo kenapa? Dari tadi muka lo di tekuk mulu."

"Gue lagi badmood Fa." lagi-lagi Hana menarik nafas untuk yang kesekian kalinya.

"Lah tumben amat lo badmood di hari senin. Biasanya juga hari senin lo ceria mulu." Cibir Syafa.

"Gue lagi kesel Fa." Hana kini menghentak-hentakkan kakinya.

"Iya. Lo kesel kenapa coba?" kini mereka telah sampai di kelas dan duduk di bangku masing-masing.

"Tadi tuh yah..." perkataan Hana terpotong ketika ada yang menggebrak mejanya. Ia pun mendongakkan kepala untuk melihat si pelaku. Dan orang itu adalah Ashila.

"Apa-apaan lo!" kini Syafa berdiri dari kursinya dengan ekspresi yang errrgghhh terlihat garang itu, sangat menakutkan bagi Hana. Syafa itu orangnya cantik, tapi jika sedang marah jangan pernah coba-coba untuk mendekatinya. Karena kalian bisa menjadi sasaran kemarahannya. Hana merasa penasaran, bagaimana Abangnya dulu bisa menghadapi sikap Syafa yang satu itu.

"Lo kenapa nggak bilang kalo Gibran bakal pindah ke Jakarta dan sekolah di sini." kini Ashila melipat kedua tangannya sambil menatap sengit Syafa.

Syafa pun melakukan hal yang sama lantas tertawa hambar. "Emang lo siapa?! Oh gue tau, lo yang suka ngedata penduduk yang sedang pindah ke Jakarta. Cihhh gue baru tau kerjaan lo."

Ashila memutar bola matanya jengah. "Gue pacarnya Gibran, dan lo tau itu." kini Ashila menunjuk-nunjuk Syafa.

"Oh yah? Pacar? Gue rasa lo itu cuman ngaku-ngaku deh. Soalnya mana ada pacar yang nggak tau kalo pacarnya bakalan pindah." tatapan menantang masih terpatri jelas di wajah Syafa. Sedangkan Hana yang duduk di tengah-tengah mereka menatap salut pada Syafa. Syafa orang yang begitu hebat, apalagi dalam hal bertahan. Ia akan selalu berusaha untuk menang dan menjadikan kekalahannya sebagai semangat juang untuk kembali mendapat kemenangan. Tapi, mengapa dengan Azka, Syafa sangat begitu mudah menyerah?

Mendengar hal itu, Ashila bungkam. Dan Syafa pun tertawa menyeringai. "Atau jangan-jangan lo udah putus ama Gibran. Wahh kalo gitu selamat yah, gue sekarang merasa menjadi orang yang paling bahagia saat ini. Sekedar info buat lo, gue rasa Gibran udah nggak sayang ama lo atau dia memang nggak pernah sayang sama lo." Syafa merasa kemenangan ada padanya saat ini.

Ashila tercekat. Akhir-akhir ini Gibran memang jarang menghubunginya. Tapi, bukan berarti Gibran tidak sayang padanya. Tidak terasa pandangan Ashila pun mengabur karena air mata. Tidak. Dia tidak boleh menangis di sini. Dia tidak boleh membuat Syafa merasa menang akan dirinya. Beruntung guru masuk ke kelas, jadi Ashila bisa kembali ke bangkunya sebelum Syafa melihatnya hampir menangis. 

Namun yang tidak disadari Ashila, jika Hana melihat semua itu. Kini Hana berpikir jika Ashila benar-benar mencintai Gibran, sepupu dari sahabatnya.

Bu Ratna masuk kelas dan memberitahukan jika kelas mereka  kedatangan siswa pindahan. Otomatis hampir seluruh kelas berbisik-bisik tentang siapa siswa pindahan itu terkecuali Syafa, Hana dan Ashila. Melihat Syafa yang biasanya akan antusias pada siswa pindahan namun kali ini tidak. Jadi Hana berpikir jika siswa itu adalah sepupu Syafa.

Seseorang pun masuk dengan langkah yang ringan, namun mampu membuat kelas hening seketika. Seseorang itu tidak sendirian melainkan bersama Sean yang menyusul di belakangnya.

Hana merasa kini emosinya sedang berada di ubun-ubun. Laki-laki itu adalah laki-laki angkuh yang menabraknya tadi. Ralat. Lebih tepatnya di tabraknya tadi.

Setelah Sean memberi tahu Bu Ratna ia dari mana. Sean kini kembali ke bangkunya untuk duduk. Hana tau Sean dari ruang OSIS untuk mengurus pemilihan ketua OSIS yang sebentar lagi akan diadakan untuk menggantikannya sebagai ketua.

"Baiklah Gibran, silahkan perkenalkan dirimu." Bu Ratna kini mempersilahkan laki-laki itu memperkenalkan diri.

"Hai. Nama saya Gibran Abimanyu Regar. Saya pindahan dari SMA Harapan Bandung." Ucapnya dengan wajah datar yang dilihat Hana tadi.

"Hai Gibran." hampir seluruh penghuni kelas mengucapkannya, terutama para siswi yang kagum seperti sedang melihat dewa yunani.

Hana memutar bola matanya jengah melihat semua ini. Laki-laki itu berusaha sopan untuk pencitraan. Huh Ya Tuhan. Jangan sampai ia berurusan lagi dengan laki-laki yang semacam itu.

"Baiklah kalau begitu Gibran, kamu bisa duduk bersama Sean." Bu Ratna menunjuk ke arah bangku paling belakang yang berada di ujung.

Gibran mengangguk menanggapi perkataan Bu Ratna lalu berjalan menuju bangku yang ditunjuk. 

"Kalau  kalian ingin tahu lebih banyak tentang Gibran, nanti setelah jam pelajaran usai. Mengerti." Pungkas Bu Ratna.

Siswa-siswi pun menjawab dengan serentak. "Mengerti Bu."

"Sekarang kita akan bahas tugas yang telah kalian buat." Bu Ratna mengambil spidol di mejanya dan mulai menuliskan materi pembelajaran pagi ini.

Sedangkan Hana telah membunyikan alarm peringatan untuk menghindari masalah yang saat ini duduk tepat di belakangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status