Aku berdiri di depan loker menatap kosong ke buku-buku di dalamnya. Aku merasa sangat mual. Sudah tiga hari sejak terakhir aku makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak.
Kebakaran itu terjadi hari Jumat. Setelah sekian lama meringkuk di kamar tidur dengan tubuh yang gemetar, akhirnya aku mendengar tetangga samping rumahku—Pak Budi—berteriak kebakaran sambil memukul-mukul tiang listrik.
Pada saat bantuan datang, tetangga lainnya mengetuk pagar rumahku dan meminta aku sekeluarga untuk keluar, karena takut api akan menyebar. Aku menyaksikan semuanya; saat semua orang saling membantu memadamkan api yang membakar mobil dan, setelah api padam, semuanya sudah terlambat, tetangga depan rumahku—namanya Aldi—ditemukan di dalam mobil dalam keadaan meninggal dunia (kata Pak Budi wujudnya sudah tidak dikenali).
Aku gemetar hebat saat adik laki-lakiku yang berusia tujuh tahun memeluk kakiku, mendengarkan ibuku mengoceh tentang bagaimana kebakaran bisa terjadi sambil memeluk erat adik perempuanku yang berusia empat tahun.
Aku bertanya-tanya; bagaimana jika ibuku tahu aku melihat pelakunya? Apakah dia akan menyerahkan bukti rekaman di ponselku kepada polisi? Dan, bagaimana jika ibuku tahu kalau Adib Bramantyo melihatku saat itu?
Ketakutan yang aku rasakan sejak saat itu tidak pernah hilang, dan entah kenapa aku merasa kalau orang suruhan keluarga Bramantyo akan mendatangiku. Perasaan yang membuat aku tidak bisa tidur dan tidak bisa menelan makanan.
Aku memejamkan mata sejenak, bertanya-tanya bagaimana aku bisa melewati ketakutan ini. Kemudian, setelah tidak merasa lebih baik, aku mengambil buku-buku yang kubutuhkan untuk mata kuliah nanti lalu menutup pintu loker.
Di belakang pintu, tepat di loker sebelahku, bersandar Adib Bramantyo. Sontak aku terkejut dan melangkah mundur sambil meremas erat buku-buku di pelukanku. Aku merasa jantungku akan copot.
Adib tidak bergerak, tidak juga berbicara. Dia hanya berdiri di sana dengan celana jins gelap yang memiliki sobekan di lutut kiri, kaus hitam yang memeluk otot bisepnya, dan penampilannya disempurnakan dengan kedua tangan yang masing-masing dimasukkan ke kantung celana. Dia memiliki rambut hitam sebahu, hidungnya mancung dan matanya yang coklat gelap, seolah-olah bisa menarikku memasuki dimensinya.
Panik membuat asam lambungku naik dan aku ingin muntah. Sedangkan Adib, seolah-olah dia memiliki banyak waktu untuk menyaksikan kesengsaraanku.
Dia pasti tahu aku belum menyerahkannya, kan? Jika aku memberi tahu polisi apa yang aku lihat dan rekam malam itu, setidaknya Adib sudah dipanggil untuk diintrogasi.
"Dimas mengajakku makan malam!"
Aku tersentak kembali, berbalik menghadap sahabatku, Rini, yang baru tiba dan membuka lokernya.
Saat aku kembali menatap ke arah Adib, dia sudah pergi.
Sepertinya kewarasanku mulai terganggu. Aku cukup yakin tadi dia berdiri di sana.
Aku mencoba mendengarkan saat Rini melanjutkan rencana Sabtu malamnya. Aku berusaha terlihat tertarik saat mendengar ceritanya, tapi tetap saja, ‘sesuatu’ di kepalaku membuatku berbeda. Semoga Rini tidak menyadarinya.
Beberapa jam kemudian, aku masih merasa mual dan lebih pendiam dari biasanya. Aku hampir tidak menyentuh Burger King yang aku pesan untuk makan siang. Padahal seharusnya, jika aku akan berurusan dengan keluarga Bramantyo, setidaknya aku harus banyak makan makanan yang enak-enak dulu. Aku juga tidak banyak mengomentari ucapan Rini tentang rencana makan malamnya dengan Dimas. Tapi sepertinya tidak masalah, Rini terlalu bersemangat hingga tidak berhenti bicara. Jadi aku hanya harus menunjukkan ekspresi tertarik.
Aku tidak bisa berhenti memikirkan Adib dan aku merasa seperti sedang diawasi olehnya, seolah-olah dia ada di setiap sudut kampus. Sialnya, nanti ada mata kuliah bahasa Inggris, Adib juga mengikuti mata kuliah itu, jadi, aku berpikir untuk bolos. Namun, jika aku menghindarinya di kampus, aku takut dia akan datang ke rumahku. Aku merasa lebih aman di kampus; ada kamera pengawas di setiap sudut dan keamanan berseliweran di titik-titik strategis. Aku merasa dilindungi fasilitas tempat ini.
Semua ini benar-benar membuatku bingung. Mungkin, seandainya salah satu orang terdekatku mengetahui masalah ini ...
"Kau tahu rumahku hampir terbakar beberapa hari yang lalu, kan?" aku bertanya.
Rini memutar matanya. “Oh ya? Bahkan rumah tetanggamu tidak terbakar, padahal mobil itu berada di te-ras-nya.”
Oke, dia benar.
“Dan kejadian seperti itu tidak akan menimpamu karena kau tidak akan menghidupkan rokok di dalam mobil dengan kayu bakar,” katanya, tanpa simpati.
"Dia manusia modern, Rin. Bukan manusia purba. Manusia modern mengenal korek api.”
“Dia pecandu yang sudah masuk penjara karena narkoba mungkin ... sudah tidak bisa dihitung jari.”
"Dia punya tiga anak."
“Semuanya diasuh orang tuanya. Maaf, aku tidak akan menangisi hilangnya sampah masyarakat."
Aku ingin memberitahunya, tapi tidak bisa. Aku ragu Rini tidak bisa menahan ledakan ... takut? Atau marah? Entah. Rini tipe yang sangat berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Selain itu, aku tidak bisa menyeretnya ke dalam masalahku.
***
Suara kursi yang diseret di lantai mengejutkanku. Kepalaku tersentak, dan berpikir Adib Bramantyo duduk di sampingku, tapi tebakanku salah, itu Riko.
Dia memberiku senyuman manis yang mampu membuatku meleleh seminggu yang lalu, tetapi untuk sekarang, aku sama sekali tidak terpengaruh melihatnya.
"Hei, Na?" Itu dia, suara serak yang membuatku tergoda beberapa hari yang lalu.
Aku tahu dia sedang menggodaku, tapi aku tidak punya energi untuk menanggapinya.
Aku tersenyum kepadanya lalu pandanganku kembali ke buku di atas meja. "Hai," balasku sedikit terlambat, dan aku berharap dia sadar kalau aku sedang tidak baik-baik saja.
“Semalam kau tidak mengangkat teleponku,” katanya.
"Beberapa hari terakhir aku sibuk, Rik," kataku padanya. “Ada kebakaran di depan rumah. Tetanggaku … "
“Oh, sial!” dia berseru dan menurutku sedikit berlebihan. “Kau baik-baik saja? Keluargamu?”
Dan saat aku menatap Riko untuk membalas ucapannya, sekonyong-konyong rasa takut menetes melalui pembuluh darah lalu menggenang di perutku. Adib yang baru datang berdiri tepat di samping Riko.
Riko menduduki kursi itu lebih dulu, tapi dia langsung berdiri ketika melihat Adib sedang memandanginya. “Duduk, Dib,” dia menawarkan dengan suaranya yang bergetar.
Adib yang terlihat sangat santai, menatapku sebelum duduk, lalu dia melempar buku dan pena ke atas meja. Itu adalah hal yang sangat normal untuk dilakukan, tapi entah kenapa rasanya mengancam. Sedangkan Riko? Dia melirikku seperti orang yang tidak pernah mengenalku, lalu pergi tanpa pamit.
Aku segera memutar pandang untuk mencari kursi lain yang kosong, tapi semuanya sudah terisi. Dan saat pikiran untuk bolos dari mata kuliah ini kembali, dosenku—Pak Nasir—sudah memasuki kelas. Sial!
Aku tidak akan fokus jika duduk bersebelahan dengan Adib. Ini seperti mimpi buruk dan seketika, waktu seakan berjalan lebih lambat dari seharusnya.
Setelah menyuruh semua siswa tenang, Pak Nasir berdiri sambil membawa setumpuk kertas lalu membagikan ke setiap baris. Luar biasa! Sempurna sekali! Aku lupa kalau hari ini ada ujian, dan aku duduk bersebelahan dengan pria yang mungkin akan melukaiku.
Aku tidak mungkin bisa fokus mengerjakan ujian hari ini. Jadi aku putuskan ...
... sambil mendorong kursiku ke belakang, aku meraih buku dan pena di atas meja. Lalu aku berjalan ke depan kelas. Pak Nasir berbalik, kaget, karena seharusnya cukup mengangkat tangan kalau ada yang ingin ditanyakan, tapi bukan itu maksudku.
“Aku merasa kurang sehat, Pak," kataku, dan itu sangat meyakinkan karena wajahku pucat dan tampak sangat menyedihkan sekali.
Tiga sampai empat detik Pak Nasir memandang wajahku penuh kekhawatiran—tentu saja. “Baik, kau boleh pergi ke Unit Kesehatan,” katanya, tegas, namun penuh perhatian.
Aku tidak membuang waktu, tidak akan membuang waktu! Aku keluar dari dalam kelas dan berharap tidak akan bertemu Adib Bramantyo lagi, setidaknya hari ini. Selamanya kalau bisa.
Ini hari yang sangat berat dan panjang.Setelah meninggalkan kampus, aku harus menjemput adik-adikku di rumah nenek dan menjaga mereka sampai ibuku pulang bekerja. Tadi padi Ibu bilang akan pulang tengah malam, sebenarnya itu hal yang biasa, ibuku memang sering lembur, tapi hari ini ... ya Tuhan, aku sangat lelah. Aku berharap bisa tidur dengan nyenyak malam ini.Semua aktivitasku dan ... Adib, hah, benar-benar menyiksaku.Sebenarnya aku sempat berpikir tentang; apakah aku harus berbicara dengan Adib dan menyelesaikan masalahku dengannya? Jika aku bisa melakukan itu, hidupku akan kembali normal. Normal adalah kemewahan untukku saat ini. Aku sudah tidak mampu bermain kucing dan tikus dengannya, dan yang paling aku khawatirkan, masalah ini bisa menempatkan keluargaku dalam bahaya. Karena jika Adib dan keluarganya bisa membunuh tetanggaku, tentu saja hal itu bisa juga mereka lakukan kepadaku, atau parahnya, keluargaku. Dan mungki
Pintu berderit terbuka dan cahaya masuk. "Irina, kau tidur?"Aku bergumam palsu, tapi Ibu malah menghidupkan lampu.Aku menatapnya sambil menyipitkan mata. “Ya, baru saja bangun, Bu.”Ibuku wanita bertubuh tinggi dengan ramput yang selalu dia cat warna cokelat. Dia terlihat seperti masih berusia empat puluhan, padahal umurnya lebih dari setengah abad (seandainya dia mewarisi itu kepadaku).Ibu bersender pada kusen lalu menghela napas panjang dengan wajah yang tampak kesal. “Semua laki-laki sama saja: bajingan.”Oh bagus, Ibu ingin curhat.“Ya, aku setuju, tapi bisakah kita membicarakan hal ini besok? Aku baru saja—""Bosok, Ibu harus berangkat kerja pagi-pagi sekali," potongnya sambil menggeleng. “Ibu ingin kau mengantar adik-adikmu ke sekolah.”Ya, itu akan merepotkan. Padahal sekarang ada Grab, tapi Ibu tidak mau adik-adikku berangkat
Untung, rencana ibuku untuk mengajak kami makan malam bersama Om Anton dibatalkan karena Ibu kerja lembur hari ini—tadi pagi setelah atasannya menelpon, Ibu buru-buru keluar rumah dengan wajah kesal. Ya ... sebuah kebetulan yang luar biasa. Jadi aku bisa menuruti permintaan Adib makan malam di rumahku.Aku menyarankan adik-adikku untuk menonton televisi selagi aku memasak makanan, dan Adib yang menjadi pahlawan hari ini, menemaniku di dapur—Ando sangat menyukainya.Kalau saja aku tahu Adib akan membayar semua belanjaanku, semestinya aku ambil juga roti tawar permintaan Ando. Ya ... walau terdengar sedikit tidak tahu malu, toh pada akhirnya aku malu juga tadi.Aku dan ibuku selalu berusaha untuk tidak membicarakan keadaan ekonomi keluarga kami di depan Ando. Entah kenapa dia pintar sekali, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya belum dia mengerti. Suatu hari Ibu pernah membicarakan tentang meminjam uang untuk membiayai kuli
Rencananya aku akan pulang ke rumah setelah semua kelas selesai. Aku tidak ingin bertemu Adib setelah kejadian kemarin, untung saja hari ini tidak ada kelas Bahasa Inggris—satu-satunya mata kuliah yang aku dan dia sekelas. Jadi ketika aku keluar kampus dan melihatnya sedang menunggu di depan kampus, itu adalah hal yang sangat mengejutkan.Dia duduk di dalam sedan merah dengan pandangan yang mengawasi, aku ingin bersembunyi, tapi lebih dulu dia membunyikan klakson.Adib menghidupkan mobil ketika langkahku sudah dekat.“Na,” dia menyapa dan untuk pertama kalinya memanggil namaku—Irina. Entah kenapa aku merasa tersanjung."Hei, Dib," balasku sambil melangkah mendekatinya.“Kau seperti terburu-buru. Ada apa?”Aku berhenti di depan jendela mobil pengemudi, menatapnya beberapa saat, dan bertanya, “Dan kau, ngapain di sini? Kau menungguku dan memanggilku dengan nama. Semua or
Aku mengenakan celana denim biru ketat dan rencananya akan memakai sepatu Converse hitam ber-lis putih, tapi sepertinya aku tidak bisa menemukan atasan yang tepat."Bukan yang itu juga," gumamku, lalu dengan kasar menggeser gantungan plastik di tiang di lemariku.Ada ketukan di pintu depan dan sontak aku terkejut, lalu meraih kemeja putih dan melepas gantungannya. “Biar aku saja yang buka pintu!” aku berteriak, dan berharap ibuku mendengarnya.Aku berhenti sejenak di meja rias untuk bercermin dengan cepat dan keluar dari kamar. Pintu kamar menutup di belakangku tepat saat ibuku membuka pintu depan, padahal aku sudah berusaha menghentikannya.Aku menghela napas, mengangkat tali tas kecil di pundakku dan menuju Adib yang berdiri di luar.“Aku ibunya Irina,” kata ibuku dengan senyum yang sangat antusias.Adib mengangguk, tangan dikeluarkan dari dalam saku lalu diangkat seti
Aku berhasil mengakhiri ‘kencan’ dengan sukses: tidak ada masalah, tidak ada rasa menyesal, dan aku tidak membiarkan Adib menciumku.Dia ingin menciumku, aku bisa melihatnya, tapi aku tidak ingin memberikannya—walau ingin. Itu terlalu beresiko untukku dan ketidakjelasan hubungan kami ... ya, itu juga salah satu alasannya.Aku buru-buru masuk rumah saat mobil yang dikemudikan Adib berhenti, menutup pintu depan dan bersandar, semua berjalan lancar tapi entah kenapa aku tidak merasa senang.Malam ini harusnya menjadi malam yang ‘normal’. Aku sudah beberapa kali makan malam dengan pria, dan tidak ada bedanya dengan malam ini. Namun sesuatu yang ‘lain’ tentang Adib secara tak terduga datang, dan hal itu membuatku ingin mengenalnya lebih dalam bahkan, ada sedikit perasaan bahwa aku menginginkannya. Secara fisik, itu akan sangat logis—aku manusia, dan dia pria yang sangat tampan—tapi aku takut menginginkan dia di level lain.
“Tadi saat sedang menuju kampus, aku melihat pacarmu sedang berbicara dengan cewek lain. Mereka terlihat akrab.”Aku mendongak saat Rini meletakkan piringnya di atas meja kantin. “Maksudnya?”“Maksudku, Adib.” Dia meminum Teh Botol. “Aku melihatnya tadi, ya ... hanya ingin memberitahumu saja,” katanya kemudian.“Cewek lain ... siapa?” tanyaku sambil mengernyit.“Entah, aku tidak mengenalnya. Tapi dia cantik, seperti artis FTV.” Lalu dengan lagak kasihan yang dramatis, dia berkata, “Aku ikut perihatin. Semoga kau lekas mendapatkan pria lain yang bisa kau ajak ke pestaku.”Aku memutar bola mata dan melanjutkan menyantap makananku—mie ayam sepuluh ribu. Rini bicara lagi—dengan sinis yang sudah pasti—dan masih tentang Adib yang dia lihat sedang berbicara dengan cewek yang entah siapa.Lama-lama aku bosan juga mendengar ocehannya. Jadi aku celingak-celinguk menatap kant
Aku sedang dalam perjalan menuju kampus, dan kali ini aku yang melihat Adib sedang bersama Artis FTV. Kulitnya terlihat lebih gelap dari Adib—Jawa? Aku tidak bisa menebaknya dari jarakku sekarang, tetapi aku tahu dia cantik ... dan sedang tertawa sambil memukul pelan tangan Adib. Adib balas tersenyum, lalu mereka berjalan memasuki kampus.Apa yang aku lihat membuat kakiku tidak bisa digerakkan. Pikiranku meminta untuk mengikuti mereka, mendekat, dan pura-pura menyapa. Wanita itu mungkin hanya temannya, dan tidak ada yang aneh, kan, kalau Adib mengajaknya ke kampus untuk memperkenalkannya kepadaku?Tapi tubuhku sepertinya tidak menyukai kemungkinan itu. Kakiku tetap sulit digerakkan, pandanganku menatap gerbang yang baru saja mereka lewati, berdua. Hari ini mungkin aku tidak akan melihat Adib di kampus sampai kelas bahasa Inggris, dan semua itu membuatku merasa tidak nyaman.Aku lega saat Adib memasuki kelas sebelum bel, tetapi