Devon memarkir mobilnya pelan di pelataran parkir mall. Dia baru turun dari mobilnya saat taksi online yang menurunkan wanita bertubuh mungil itu melaju meninggalkan jalan di area parkir. Lelaki bertinggi lebih dari 180 cm itu berjalan mengikuti langkah santai si wanita dari jarak yang agak jauh.
Rea sebenarnya cuma berniat membeli beberapa pakaian dalam siang itu. Dia merasa beberapa bagian tubuhnya sudah mulai agak melar hingga beberapa pakaian dalamnya tak lagi nyaman dipakai.
Dia melangkah pasti menuju stan underwear saat mendadak matanya tertumbuk pada etalase pakaian bayi dengan model yang mencuri perhatiannya. Sejenak dia mengelus perutnya yang masih belum kelihatan buncit, hanya terasa sedikit berisi. Bibirnya tersenyum kala kakinya memutuskan untuk melangkah menuju jajaran baju-baju bayi yang menurutnya sangat lucu itu. Dia berharap anak pertamanya dengan Anggit nanti berjenis kelamin laki-laki karena wanita itu sangat senang dengan bayi laki-laki.
Beberapa menit berikutnya dia habiskan waktu hanya untuk berputar-putar di stan baby & kid. Jiwa keibuannya menyembul dengan sempurna saat berada di tempat itu. Tanpa diperintah pikirannya mulai memilih-milih memutuskan mana saja yang kelak akan dia beli untuk calon bayinya.
Devon memperhatikannya dari jauh. Sekilas memang tak ada yang menarik dari wanita itu. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan badannya juga tidak bisa dibilang seksi. Sangat jauh dibandingkan kemolekan tubuh Sandra. Mungkinkah itu penyebab suami hidung belangnya tega mengkhianatinya? Menyeleweng bahkan di saat istrinya sedang hamil? Atau apakah semua lelaki yang sudah menikah memang seperti itu? Selalu akan melihat wanita lain lebih mempesona? Apakah menikah itu begitu membosankan? Akankah dia juga akan berbuat hal yang sama seperti lelaki bejat itu jika kelak dia menikah? Tiba-tiba pikiran Devon melayang kemana-mana.
☆☆☆
"Apa rencanamu sekarang, Bro?" Teddy meraih kaleng minuman dari meja di depan sofa yang mereka duduki di apartemen Devon.
Satu jam yang lalu, sahabat sekaligus salah satu orang kepercayaannya itu datang untuk membawakan informasi tentang lelaki brengsek yang telah mencuri kekasihnya. Dari informasi yang didapat Teddy, dia hanya seorang manager di sebuah cabang perusahaan server installation. Dan harusnya sangat mudah bagi Devon untuk menghancurkannya.
Lelaki berwajah campuran Indo Belanda itu menghembuskan nafas panjangnya sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sahabatnya.
"Belum kupikirkan, Ted," jawabnya ikutan menyesap minuman dingin yang sedari tadi digenggamnya.
"Katakan saja padaku kapan aku harus menemui bossnya, dan kupastikan dia dipecat hari itu juga," ucap Teddy pasti, seperti biasa. Lelaki bertubuh jangkung itu memang tak pernah gagal menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan Devon selama ini padanya. Dia orang yang sangat bisa diandalkan.
"Jangan dulu! belum saatnya. Masih ada sesuatu yang perlu kulakukan," jelas Devon.
"Yang benar saja. Ini nggak bisa dibiarkan terlalu lama, Bro. Mereka sudah menginjak-injak harga diri Lo."
"Sepertinya istrinya hamil," katanya tiba-tiba seolah menjelaskan. Teddy memicingkan mata berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan sahabatnya itu.
"Maksud lo? Lo nggak akan membalasnya hanya karena istrinya lagi hamil? Begitukah?"
Sumpah, yang Teddy tahu selama ini Devon bukan orang yang terlalu peduli dengan nasib orang lain yang tidak dia kenal, apalagi jika orang itu telah menyakitinya. Dia sangat bisa menjadi manusia paling tidak punya belas kasihan dalam kondisi seperti itu.
"Sebenarnya itu memang bukan urusanku, aku cuma berpikir mungkin bisa memanfaatkan situasinya."
"Oooh ... Ok, I see. Lo mau bikin perhitungan dengan memanfaatkan istrinya yang lagi hamil?"
"Mungkin," Devon mengangguk tak yakin. Memanfaatkan orang lemah bukan karakternya, tapi bisa jadi dia akan melakukan dengan caranya yang barangkali lebih manusiawi. "Nanti kukabari kalau sudah kuputuskan," lanjutnya.
"Ok! Lalu Sandra? Harus kuapakan jalang itu?"
"Sandra biar kuurus sendiri."
"Oke kalo gitu."
"Oya, sudah dapat laporan pembukaan cabang baru yang di Medan?"
"Sudah. Tadi pagi sudah dikirim sama David. Nanti aku forward filenya ke email Lo."
"Oke, sippp." Lalu keduanya larut dalam pikiran masing-masing.
Devon tahu biasanya dia bukan orang yang bisa mentolerir kecurangan. Bukan hanya saat bawahan-bawahan atau rekan-rekan bisnisnya yang melakukan kesalahan selalu dia hukum dengan caranya sendiri, bahkan orang-orang terdekatnya pun akan mengalami nasib yang sama jika mereka melakukan sesuatu yang menurut Devon salah.
Sandra? Devon masih tidak habis pikir bagaimana mungkin wanita cantik yang begitu dipuja itu begitu berani mengkhianatinya? Mungkin dia belum sepenuhnya mengenal Devon. Jika tidak, dia takkan berani berbuat senekat itu.
Atau mungkin Devon terlalu memanjakannya selama ini hingga tidak sempat mengenalkan sosok lain yang ada di dalam dirinya pada wanitanya itu. Sosok dingin, kejam, dan bengis yang setiap saat bisa muncul kala dia merasa tersakiti. Tapi dari awal Devon memang sudah merasa kalau Sandra tidak seperti gadis-gadisnya sebelumnya. Dia lebih agresif, nakal dan sulit dikendalikan.
☆☆☆
Perginya Teddy satu jam kemudian memaksa Devon untuk berpikir keras dengan apa yang harus dilakukannya dengan manusia-manusia kurang ajar itu. Sandra dan lelaki itu memang harus hancur di tangannya, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Devon. Apa yang akan dilakukannya pada wanita hamil itu?
Kepalanya terasa berdenyut-denyut lagi, sangat sakit. Ini hal yang biasa dia alami saat sedang marah atau berpikir sangat keras.
Setelah memilin pelipisnya sebentar mencoba menghilangkan sedikit rasa sakitnya, lelaki itu memungut ponsel yang sedari tadi dibiarkannya tergeletak di atas king size bednya. Dia berpikir untuk menemui wanita malang itu, mungkin mengajaknya ngobrol bisa membuatnya lebih nyaman memutuskan apa yang akan dia lakukan setelah itu.
Menghidupkan layar ponsel pribadinya, matanya terpaku pada banyak sekali pesan belum terbaca dan panggilan tak terjawab. Dan semua itu dari Sandra. Devon menyeringai, sungguh dia wanita pemberani, bahkan dia belum menyadari akibat yang akan dia terima setelah apa yang dilakukannya pada kekasihnya.
Devon menghapus semua pesan tanpa membacanya, lalu beralih ke daftar kontak untuk menelpon seseorang.
"Halo?" Suara lembut diseberang sana terdengar. Lelaki itu sedikit ragu untuk menjawab.
"Rea? Ini Devon."
"Iya, aku tahu. Aku sudah save nomer kamu kok, Von. Ada apa?" ucapnya dengan nada ceria.
Tentu saja dia harus ceria seperti itu, dia wanita bahagia yang sebentar lagi akan memiliki bayi. Tapi bagaimana ceritanya jika dia tahu suaminya menyelingkuhinya dengan sahabatnya sendiri? Akankah dia masih bisa seceria itu?
"Mmm ... apa kamu sibuk? Maaf kalau aku mengganggu."
"Kurasa tidak ada pengangguran yang sibuk di dunia ini." Terdengar suara cekikikan dari seberang. Tanpa sadar Devon ikut tertawa.
"Ooh ... kamu tidak bekerja?"
"Ternyata topik mengenai diriku tidak begitu menarik ya untuk dibahas saat kamu dan Sandra lagi berduaan?" Wanita itu tertawa lepas. "Aku kan pengangguran, Von, jika kamu belum tau." Dia tertawa lagi.
"Baiklah, dan maaf aku benar-benar tidak tau, Rea. Sandra tidak pernah menceritakannya padaku."
"Ya .. ya ... tidak apa-apa, Pak Direktur, bisa kumengerti," katanya. Devon tertawa kecil mendengar kalimat itu. Selera humornya lumayan, pikirnya.
"Apa boleh aku menemuimu?"
"Sekarang?"
"Iya, kalau kamu tidak sibuk."
"Tentu saja. Silahkan datang, Pak. Pengangguran selalu punya waktu untuk menerima tamu," katanya sambil terkikik lagi.
"Oke, setengah jam lagi aku sampai, See you."
[Devon: Aku sudah di depan. Bisakah kita sambil makan siang?]Rea membaca pesan itu lalu melongok sebentar lewat jendela kamar tamunya. Sebuah mobilMercedes Benz C Classwarna hitam terparkir disana. Rea tidak bisa melihat orang yang ada di dalamnya, tapi itu sudah pasti Devon.[Rea: Iya baiklah. Tunggu sebentar aku telpon suamiku untuk pamit dulu ya?]Devon mengumpat membaca balasan pesan dari Rea. Jadi wanita model kayak gini yang tega dicurangi lelaki tak punya otak itu?Devon membukakan pintu mobil saat Rea keluar dari rumah dan menghampiri tempat dia parkir.
Sandra duduk dengan gelisah di pojok ruangan. Beberapa saat yang lalu Anggit menelpon dari kantornya dan bilang ingin mengatakan hal penting. Wanita itu penasaran tentang apa, tapi dia yakin pasti ada hubungannya dengan mereka berdua.Anggit datang tergesa lima menit kemudian, seperti biasa mereka selalu berciuman sebentar. Sangat menjijikkan jika saja ada orang yang tahu bahwa keduanya bukan pasangan suami istri."Ada apa?" tanya Sandra saat Anggit sudah terlihat duduk dengan tenang disofa cafetempat favorit mereka bertemu."Pacar kamu ... ngajak Rea keluar makan siang tadi.""Apa?? Devon? Kamu serius?""Rea menelponku bilang pamit mau keluar sama pacarmu.""Tapi itu nggak mungkin, Git. Mereka berdua nggak deket. Setau
Suaraalarmdari ponsel mengagetkan Rea. Dia sengaja menyetel alarmnya pagi itu, berniat mengajak Anggit jalan-jalan di sekitar kompleks.Matanya mengerjap mengumpulkan segenap kesadarannya, lalu bangkit dari tidurnya. Rea baru sadar Anggit ternyata sudah tak ada di tempat tidur. Rea mengedarkan pandangan ke seluruh kamar tidur dan mendapati suaminya sedang mengacak-acak isi lemari."Lagi ngapain?" tanya Rea manja memeluk suaminya dari belakang. "Wangi sekali? udah mandi ya? Mau kemana sih?"Anggit tersenyum sebentar ke arah Rea sebelum menurunkan koper kecil dari atas lemari."Kamu mau pergi, Sayang?" Rea meletakkan kedua tangan di pinggang.Dia bertanya lagi karena suaminya tidak menjawab."Iya, Re. Boss nyuruh aku ke kantor cabang Bandung. Ada masalah disana yang harus diselesaikan.""Tapi iniweekend, Gi
"Rea, kamu nggak papa?" Tadinya Devon mengira reaksi wanita itu akan menjerit histeris atau menangis melihat foto-foto mesra suami dan sahabatnya. Tapi justru sebaliknya, Rea hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan suara keras ponsel Devon yang terjatuh dari tangan mungilnya ke lantai pun sepertinya tidak mengganggunya."Jangan mendekat!" Rea beringsut mundur saat Devon mendekatinya."Rea, kamu baik-baik saja kan?" tanya Devon sedikit cemas."Kamu dapat foto-foto itu dari mana?" tanya Rea ketus saat tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Devon duduk dengan hati hati di dekat Rea, tapi Rea langsung menggeser tubuhnya sampai ke pojok sofa."Aku akan jelaskan, tapi bisakah kamu tidak usah bersikap seperti ini padaku, Re?" Devon sangat tidak nyaman Rea duduk menjauhinya seperti orang yang sangat jijik padanya. "Aku bukan orang jahat," lanjutnya."Kenapa kamu tunju
Rea berjalan keluar dari kamar mewah itu dengan langkah pelan. Pulas sekali dia tidur sampai tidak terasa hari sudah hampir siang. Diliriknya arloji mungil silvernya di pergelangan tangan kirinya, hampir jam 12. Dia tak pernah bangun sesiang ini sebelumnya.Sampai di luar kamar, dia tak melihat sosok Devon. Kemana lelaki itu? Rea celingukan, kamar tamu, dapur, semua dilihatnya dan tetap tak ditemukannya Devon. Hingga saat dia bermaksud melangkah lagi, terdengar suara seseorang dari balkon."Ted, Kamu kirim dokumen yang perlu kutanda tangani ke apartemenku ya. Hari ini aku nggak akan ke kantor, Okay? Kabari dulu kalau mau kesini. See you." Lelaki itu memutus sambungan teleponnya, menghela nafas sebentar lalu bermaksud menekan keyboard ponselnya lagi namun diurungkannya niatnya saat dia menoleh dan melihat Rea sudah berdiri di ambang pintu balkon."Hei!" sapanya saat melihat sen
"Yakin nggak mau aku antar masuk?" tanya Devon pelan di depan pagar rumah. Rea menggeleng."Biar kuselesaikan masalah ini sendiri saja," kata Rea. Devon mengangguk tidak yakin."Baik, masuklah! Aku tunggu disini.""Pulanglah, Von. Aku tidak apa-apa. Aku bisa mengatasi ini sendiri." Rea merasa konyol diperlakukan seperti anak kecil yang harus ditunggui ayahnya karena takut. Namun belum sempat dia protes, dilihatnya Anggit keluar dari rumah dengan langkah tergesa. Tak ingin terjadi pertikaian karena Rea tahu betapa Devon pasti juga sangat ingin sekali menghajar suaminya itu, Rea segera berlalu meninggalkan Devon masuk ke pagar rumah."Dari mana kamu, Rea?" tanya Anggit menata
Teddy membuka layar ponselnya saat tiba di parkiran kantor. Dibukanya satu pesan dari Devon.[Cari tau kabar Rea, dia tidak merespon chat dan panggilanku dari semalam. Aku agak khawatir. Secepatnya ya?]Lelaki bertubuh jangkung itu mengunci layar ponselnya dengan cepat dan segera bergegas menuju mobil sport warna silver yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Hanya satu tujuannya, yaitu rumah Rea, wanita yang sepertinya beberapa hari belakangan telah membuat sahabatnya susah konsentrasi.☆☆☆Rea duduk di sofa ruang tengah diapit kedua orang tuanya. Tangis sesenggukannya sejak dia sampai di rumah itu belum juga mereda. Bu Renata, ibu Rea, memeluk bahu anaknya dengan perasaan teriris. Dia benar-benar tidak menyangka putri kesayangannya itu mengalami nasib buruk dalam pernikahannya yang baru seumur jagung.Sementara Pak Hanggono, ayah Rea, terdiam
Orang kaya itu memang terkadang tingkahnya aneh dan susah dipahami, begitu pun dengan Devon. Sepulang dari rumah orang tua Rea, dia langsung menghubungi Teddy, meminta sahabatnya itu mengambil alih semua pekerjaannya di perusahaan start-up yang menjadi kebanggaannya itu.Lalu dia mengabarkan berita gembira pada pamannya bahwa dia berubah pikiran. Minggu ini dia akan mulai memimpin perusahaan peninggalan mendiang papanya. Entah apa yang ada di dalam otak lelaki blasteran berusia 27 tahun itu.Pertemuannya dengan Rea hari ini tak disangka menjadi mood booster untuk Devon. Semangatnya seolah menjadi sepuluh kali lipat dari hari-hari biasanya. Dia ingin sekali membawa wanita itu kembali ke Jakarta secepatnya dan menemani setiap hari-harinya.Melangkah memasuki lift menuju apartemennya di lantai 30, Devon berjalan bagai tak berpijak, ringan sekali seolah tak ada beban apapun yang mengganggu pik