Prosesi tiga jam yang membuat jantung Devon seolah berhenti berdetak itu akhirnya selesai juga. Aneh sekali, sejak semalam dia sampai tak bisa tidur memikirkan hari ini tiba. Keringat dingin, jantung berdegup kencang, tapi dia tak merasakan sakit kepala sama sekali. Tak seperti dulu ketika dia berada pada kondisi tertekan. Kepalanya akan selalu terasa sakit.
Dia mengucapkan ijab kabul dengan sangat lancar, membuat mata Rea berkaca-kaca. Begitupun Pak Hanggono dan Bu Renata, serta sang Paman yang menjadi walinya hari ini. Padahal ini bukan pernikahan pertama untuk Rea.
Ada hal yang sangat disayangkan Devon, bahwa ibundanya tetap belum bisa menerima Rea.
"Pelan-pelan saja, Sayang. Kita tidak bisa mengubah perasaan orang untuk langsung menyukai kita. Aku akan berusaha keras agar mamamu bisa menyukaiku," kata Rea beberapa hari yang lalu saat dia utarakan kesedihannya karena ibunya.
"Terima kasih, Rea.
Ada yang menggelitik hati Rea saat sedang menuangkan air panas ke dalam cangkir kopi yang dia buat untuk suaminya sore itu. Ponsel yang ditinggalkan suaminya di meja makan bergetar terus-terusan membuatnya penasaran ingin melihat siapa yang menelpon.Digesernya tubuh mendekati meja makan usai menutup kotak tempat gula. Dicondongkannya tubuh dan dipicingkannya matanya melirik layar ponsel yang sedang menyala.Sandra??? Nama itu terpampang jelas di layar ponsel. Apa itu Sandra Mariska sahabatnya? Mendadak rasa penasaran yang menggelayuti Rea tadi berubah menjadi perasaan sedikit curiga. Dia mengelap tangan kanannya ke bagian depan apron bermaksud mengangkat panggilan itu. Tapi belum sempat dia pencet tombol answer, panggilan telepon itu sudah diputus.Masih ada nama Sandra tertera di layar ponsel. Rea membuka kunci layar dengan hati-hati. Dilihatnya deretan angka yang ada di kontak itu. Itu m
Seminggu berlalu sejak Rea menemukan banyak log panggilan Sandra di ponsel suaminya. Dan ternyata kecurigaannya itu tidak berlangsung lama. Dia segera lupa dengan kejadian itu karena dia merasa hubungannya dan suami serta sahabatnya masih baik-baik saja. Tidak ada lagi hal aneh yang terjadi setelah itu."Halo .... Kenapa,Beb?" Rea menjepit ponsel diantara kepala dan bahunya sambil membenarkan ikatan tali jubah mandi.Sialan nih anak, mengganggu ritual mandi sore orang aja,batinnya. Dia pikir tadi Anggit, suaminya yang menelpon, hingga dia belain pasang kaki seribu melompat dari bak mandi."Nggak papa .... kangen aja sama kamu, Rea Sayang." Suara cekikikan Sandra langsung membuat Rea darah tinggi."Hmm Dasar Kutu!! Nelpon aku jam segini cuma buat kangen-kangenan doang? Aku lagi mandi tau nggak sih?" umpat wanita bertubuh mungil itu pura-pura kesal.
"Aku heran deh sama kamu, Git." Sandra membuka percakapan saat mobil Anggit mulai melaju meninggalkan cafe."Heran kenapa, Sayang?" sahut lelaki bertubuh atletis itu dengan genit."Kok bisa ya kamu sampe nikah sama si Rea?" Sandra melirik Anggit dengan senyum genitnya."Kenapa emangnya?" Anggit tersenyum nakal, dia merasa senang karena berpikir wanita disampingnya itu sudah mulai menaruh cemburu pada istrinya."Ya nggak papa sih, cuma aneh aja. Soalnya kalau aku lihat kamu bukan tipe orang yang mudah berkomitmen.""That's right." Anggit menyahut cepat sedangkan Sandra justru mengernyitkan dahi.
Devon memarkir mobilnya pelan di pelataran parkir mall. Dia baru turun dari mobilnya saat taksi online yang menurunkan wanita bertubuh mungil itu melaju meninggalkan jalan di area parkir. Lelaki bertinggi lebih dari 180 cm itu berjalan mengikuti langkah santai si wanita dari jarak yang agak jauh. Rea sebenarnya cuma berniat membeli beberapa pakaian dalam siang itu. Dia merasa beberapa bagian tubuhnya sudah mulai agak melar hingga beberapa pakaian dalamnya tak lagi nyaman dipakai.Dia melangkah pasti menujustan underwearsaat mendadak matanya tertumbuk pada etalase pakaian bayi dengan model yang mencuri perhatiannya. Sejenak dia mengelus perutnya yang masih belum kelihatan buncit, hanya terasa sedikit berisi. Bibirnya tersenyum kala kakinya memutuskan untuk melangkah menuju jajaran baju-baju bayi yang menurutnya sangat lucu itu. Dia berharap anak pertamanya dengan Anggit nanti berjenis kelamin la
[Devon: Aku sudah di depan. Bisakah kita sambil makan siang?]Rea membaca pesan itu lalu melongok sebentar lewat jendela kamar tamunya. Sebuah mobilMercedes Benz C Classwarna hitam terparkir disana. Rea tidak bisa melihat orang yang ada di dalamnya, tapi itu sudah pasti Devon.[Rea: Iya baiklah. Tunggu sebentar aku telpon suamiku untuk pamit dulu ya?]Devon mengumpat membaca balasan pesan dari Rea. Jadi wanita model kayak gini yang tega dicurangi lelaki tak punya otak itu?Devon membukakan pintu mobil saat Rea keluar dari rumah dan menghampiri tempat dia parkir.
Sandra duduk dengan gelisah di pojok ruangan. Beberapa saat yang lalu Anggit menelpon dari kantornya dan bilang ingin mengatakan hal penting. Wanita itu penasaran tentang apa, tapi dia yakin pasti ada hubungannya dengan mereka berdua.Anggit datang tergesa lima menit kemudian, seperti biasa mereka selalu berciuman sebentar. Sangat menjijikkan jika saja ada orang yang tahu bahwa keduanya bukan pasangan suami istri."Ada apa?" tanya Sandra saat Anggit sudah terlihat duduk dengan tenang disofa cafetempat favorit mereka bertemu."Pacar kamu ... ngajak Rea keluar makan siang tadi.""Apa?? Devon? Kamu serius?""Rea menelponku bilang pamit mau keluar sama pacarmu.""Tapi itu nggak mungkin, Git. Mereka berdua nggak deket. Setau
Suaraalarmdari ponsel mengagetkan Rea. Dia sengaja menyetel alarmnya pagi itu, berniat mengajak Anggit jalan-jalan di sekitar kompleks.Matanya mengerjap mengumpulkan segenap kesadarannya, lalu bangkit dari tidurnya. Rea baru sadar Anggit ternyata sudah tak ada di tempat tidur. Rea mengedarkan pandangan ke seluruh kamar tidur dan mendapati suaminya sedang mengacak-acak isi lemari."Lagi ngapain?" tanya Rea manja memeluk suaminya dari belakang. "Wangi sekali? udah mandi ya? Mau kemana sih?"Anggit tersenyum sebentar ke arah Rea sebelum menurunkan koper kecil dari atas lemari."Kamu mau pergi, Sayang?" Rea meletakkan kedua tangan di pinggang.Dia bertanya lagi karena suaminya tidak menjawab."Iya, Re. Boss nyuruh aku ke kantor cabang Bandung. Ada masalah disana yang harus diselesaikan.""Tapi iniweekend, Gi
"Rea, kamu nggak papa?" Tadinya Devon mengira reaksi wanita itu akan menjerit histeris atau menangis melihat foto-foto mesra suami dan sahabatnya. Tapi justru sebaliknya, Rea hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan suara keras ponsel Devon yang terjatuh dari tangan mungilnya ke lantai pun sepertinya tidak mengganggunya."Jangan mendekat!" Rea beringsut mundur saat Devon mendekatinya."Rea, kamu baik-baik saja kan?" tanya Devon sedikit cemas."Kamu dapat foto-foto itu dari mana?" tanya Rea ketus saat tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Devon duduk dengan hati hati di dekat Rea, tapi Rea langsung menggeser tubuhnya sampai ke pojok sofa."Aku akan jelaskan, tapi bisakah kamu tidak usah bersikap seperti ini padaku, Re?" Devon sangat tidak nyaman Rea duduk menjauhinya seperti orang yang sangat jijik padanya. "Aku bukan orang jahat," lanjutnya."Kenapa kamu tunju