Suasana seketika menjadi panas. Gerah lebih tepatnya. Pening juga kurasakan sekarang. Yang bisa kulakukan saat ini adalah mencoba mengelak dan berontak dari dua orang yang sejak tadi berusaha untuk mengubah diriku. Dua orang itu adalah perias yang disewa oleh Tante Mariska.
Ya, saat ini aku berada di kamar yang dikhususkan untuk rias pengantin. Tadi saat aku diseret oleh Tante Mariska, dan dipaksa untuk mengikutinya, ternyata aku dibawa ke sini, dan berakhir lah aku dengan kedua perias ini.
Sebelum Tante Mariska pergi meninggalkanku dengan dua perias lucknut ini, ia sempat memohon kepadaku agar aku mau menjadi pengantin perempuan dari anaknya--Rey.
Jelas aku terkejut dengan permintaan Tante Mariska tersebut. Bagaimana mungkin aku menuruti itu, sedang diriku saja terlalu membenci Rey, seseorang yang sejak dulu kuanggap sebagai musuh bebuyutan. Mungkin jika Tante Mariska menyuruhku untuk membuang anaknya itu ke sungai Amazon, maka dengan segera akan kusanggupi. Biar Si Rey dimakan ikan piranha sekalian. Kan jadi tenang hidupku jika tak ada makhluk menyebalkan itu.
"Tante mohon Key, agar kamu mau jadi pengantinnya Rey, yah," pinta Tante Mariska.
"Nggak Tan, nggak mau, Key nggak mau."
"Key, tante mohon ...." Tante Mariska menggenggam kedua tanganku sembari memohon.
"Tante kenapa tiba-tiba kayak gini sih? Calonnya Rey kan udah ada, kenapa sekarang Tante malah minta aku buat jadi pendampingnya Rey?" Ah, akhirnya aku bisa juga melontarkan pertanyaan yang sedari tadi berputar-putar di otakku.
"Key, tadi Rey dapat telefon dari keluarga Berlin, katanya Berlin sedang mencoba bunuh diri karena tidak mau dinikahkan dengan Rey." Tante Mariska menghembuskan nafas kasar sebelum ia kembali melanjutkan ucapannya "sebenarnya pernikahan ini adalah keinginan dari ayahnya Rey, dan papanya Berlin. Mungkin Berlin kehabisan cara untuk menolak keinginan papanya itu, jadi ia memutuskan untuk bunuh diri. Tapi untungnya Berlin masih bisa diselamatkan, dan akhirnya keluarga mereka sepakat untuk membatalkan pernikahan ini."
Aku hanya bergeming mendengarkan penjelasan Tante Mariska tentang calonnya Rey itu. Tidak tahu harus menjawab apa. Sekarang aku jadi tahu alasan mengapa calonnya Rey itu menginginkan agar akad nikahnya dilaksanakan di sini. Mungkin agar ia bisa melancarkan rencananya itu.
"Jadi tante mohon ya Key, kamu bersedia buat menggantikan posisi Berlin." Tante Mariska kembali memohon. Dan aku masih diam.
"Undangan udah disebar, semua orang udah tahu, bahkan udah ada yang datang untuk menyaksikan akad, acara udah ada di depan mata, tidak mungkin kan kalau tiba-tiba dibatalkan begitu saja." Terasa semakin erat genggaman tangan Tante Mariska ini.
"Ayolah Key, tante mohon ... cuma kamu harapan tante satu-satunya." Kini tangan kanan tante Mariska menyentuh dan mengusap lembut pipiku, terlihat netranya berkaca-kaca.
Ah, kalau sudah begini aku jadi tak tega. Apalagi selama ini ia selalu memperlakukanku dengan baik, berbanding terbalik dengan anaknya.
"Baiklah, karena kamu diam saja, maka tante anggap kalau kamu menyetujuinya." Loh, loh, loh, teori dari mana itu? Aku diam bukan berarti aku bersedia Tante Marimaaaas ... eh maksudku Tante Mariska.
Aku hendak kembali menolak, namun belum sempat aku berucap, Tante Mariska sudah menyeretku ke depan meja rias, dan memasrahkan pada perias untuk menyulap wajahku.
"Arggghh ...." Aku berteriak mengingat pembicaraanku dengan Tante Mariska tadi. Sontak dua perias yang sedari tadi terus mencoba meriasku pun terlonjak kaget.
"Aduh Neng, kenapa teriak-teriak atuh? Nggak baik calon pengantin teriak-teriak gitu," ucap salah seorang perias yang kutaksir umurnya sepantaran dengan mama.
"Udah nurut aja dirias neng," sahut perias yang satunya. Sepertinya ia seumuran denganku.
Aha! Aku dapat ide.
"Ehem, kalau boleh tahu mbak namanya siapa?" tanyaku pada perias yang kukira umurnya tak beda jauh denganku.
"Saya Lela, Neng."
"Oke, Mbak Lela, boleh aku minta tolong?" Aku menatap perias yang mengaku sebagai Lela itu.
"Minta tolong apa Neng?" Lela mengernyitkan dahinya.
"Kamu mau nggak menggantikan posisi saya jadi mempelai wanita? Enak lho, bisa jadi istrinya Rey, dia itu kaya, punya mobil mewah, punya bisnis restoran sendiri lagi, nanti kalau Mbak Lela jadi istrinya, Mbak nggak perlu kerja lagi."
Kedua perias itu pun reflek saling berpandangan, lima detik kemudian mereka saling melempar senyum penuh arti.
"Neng ini ada-ada saja. Saya nggak mau ah," ucap Lela sambil tetap berusaha memegangi lenganku yang terus berontak.
"Lah kenapa? Dapat tawaran enak kok nggak mau," ujarku sinis.
"Si Lela ini sudah punya suami atuh Neng, udah punya anak tiga malah," sahut perias yang satunya.
Aku melongo mendengarnya. Aku kira Si Lela ini belum menikah, eh ternyata udah berbuntut tiga.
"Iya Neng, saya ini udah bersuami dan sudah beranak, jadi jelas tawarannya Eneng, saya tolak. Lagian kenapa Eneng menolak, kan Enengnya jomblo."
S-i-a-l-a-n! Dia mengataiku jomblo.
Sekarang aku bingung mau bagaimana lagi menolak semua ini. Sedang kini wajahku sudah mulai diolesi foundation.
"Ahhhh ... mama ... tolong Key, Ma ...." Aku berteriak lagi, kini volume suaraku sudah memenuhi ruangan ini, dan bisa dipastikan sampai ke luar ruangan. Masa bodo dengan tanggapan orang-orang, yang kupikirkan sekarang adalah terus menolak permintaan gilanya Tante Mariska.
Dua perias itu pun gelagapan menghadapi tingkahku yang terus-terusan meronta. Hingga tak lama kemudian Mama datang bersama dua orang wanita paruh baya yang kuketahui sebagai tetanggaku.
"Ada apa sih, Key?" Mama menghampiriku dan mengusap pelan pundakku. Dua perias itu sedikit menyingkir, memberi ruang untuk Mama.
"Ma, tolongin Key, Ma. Key nggak mau jadi istrinya Rey." Aku memohon pada mama dengan raut wajah yang kubuat semenyedihkan mungkin. Semoga saja mama luluh.
"Udahlah Key, kamu nurut aja, lagian nggak ada ruginya kamu jadi istrinya Rey." Mama mengusap pelan rambutku.
"Mama apa-apaan sih, kenapa Mama nggak belain Key, terus dari tadi mama ke mana saat Key diseret sama Tante Mariska, harusnya Mama bantuin Key dong," cercaku.
Oh Mama aku nggak bermaksud buat jadi anak durhaka.
"Key, mama setuju dengan Tante Mariska, papa juga udah setuju, jadi kamu nurut aja ya sayang." Mama terus membelai rambut panjangku. Kini seperti ada embun yang akan jatuh dari kelopak matanya.
Oh Mama ... jika keberatan mengapa malah menyetujuinya? Apa karena tak enak jika menolak permintaan Tante Mariska?
Lalu apa tadi, nurut? No, no, no.
"Pokoknya Key nggak mauuuu ... titik!" ucapku tegas.
"Key, nggak boleh gitu ah, ini di rumah orang, nggak sopan!" tegur Mama.
"Bodo." Aku merajuk. Sebenarnya aku tidak suka memperlihatkan sisi manjaku pada orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, perdebatanku dengan Mama sudah sedari tadi menjadi tontonan oleh beberapa orang di kamar ini.
"Nggak ada penolakan!" Tegas Mama.
Entah mengapa mendengar pernyataan mama membuatku tiba-tiba diserang pusing. Hingga akhirnya tubuhku luruh ke lantai, dan seketika aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐
Aroma freshcare dan minyak kayu putih tercium hidungku yang mancung ke dalam. Perlahan kucoba membuka mata, sambil mengingat apa yang terjadi.
Setelah mataku terbuka penuh, kulihat Mama sedang duduk di tepi ranjang yang sedang kutempati ini, dengan terus mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidungku. Sedang di sebelah mama ada Tante Mariska yang juga tengah memegang botol freshcare dan mengusapkannya di dahiku.
"Key, kamu sudah sadar?" tanya Tante Mariska, dan aku hanya mengangguk pelan.
"Akhirnya kamu mengakhiri drama ini, Key," sahut Mama. Aku mendengkus mendengarnya.
Mama kira aku hanya pura-pura apa, sampai dikira drama. Ya kali berdrama pura-pura pingsan.
"Ish! Mama kok gitu sih," rajukku.
"Ya bisa aja kan kamu cuma pura-pura." Mama mencebikkan bibirnya.
"Ngapain Key pura-pura pingsan, unfaedah tahu." Aku bangkit dari posisi berbaring, kemudian duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Udah, udah, Tante percaya kalau Key pingsan kok." Nah kan, Tante Mariska aja percaya kalau aku pingsan. Sebenarnya aku anak siapa sih?
Dua perias itu tampak duduk di sofa yang ada di kamar ini, sepertinya mereka menungguiku siuman, setelah itu mereka akan kembali meriasku, begitu juga dengan Tante Mariska dan Mama, pasti mereka akan memaksaku kembali agar mau menikah dengan Rey. Ah memikirkan itu membuatku kembali pusing.
"Nih, kamu minum dulu, Key." Mama menyodorkan gelas berisi air putih padaku. Aku pun menerimanya dan segala menandaskannya. Maklum, tenggorokan ini terasa sangat kering.
Segar rasanya setelah satu gelas air putih kuhabiskan, kini aku siap untuk berdebat lagi, menolak rencana konyol mereka yang ingin menjadikanku pengganti calonnya Rey.
"Nah, kayaknya kamu udah mendingan, Key, mau ya kamu dirias? Tante mohon, Key ...." Sebenarnya aku ingin sekali menolak lagi seperti tadi sebelum pingsan, tapi melihat Tante Mariska yang terus memohon dan hendak meneteskan air mata, rasanya aku jadi tak tega.
Aku menoleh ke arah Mama, sepertinya mama juga tengah menunggu jawabannya seperti halnya Tante Mariska. Kuselami netra indah mama yang juga sedang menatap ke arahku, mencoba mencari kesungguhan apakah mama rela jika aku menggantikan posisi calon istri Rey.
Tak ada keraguan di mata mama, mungkin mama memang benar-benar mengharapkanku agar mau menerima tawaran ini.
Belum sempat aku menjawab, Tante Mariska kembali berucap "Key, apa tante harus bersujud di kakimu agar kamu menerima tawaran tante?"
Aku terbelalak mendengar pertanyaan tante Mariska, sungguh bukan begitu keinginanku.
"Eng--enggak, Tan, mana mungkin Key tega." Aku mencoba mengambil nafas yang sebenarnya terasa sesak di dada.
"Baiklah, Key mau menikah dengan Rey," ucapku pasrah.
Seketika wajah tante Mariska yang tadinya memelas, kini berubah berbinar, begitu juga dengan mama. Apa mereka sangat bahagia dengan keputusanku ini? Baiklah jika itu bisa membuat mama senang, maka akan kulakukan, meski berat rasanya.
"Makasih ya, Key." Tante Mariska memelukku erat, mungkin saking bahagianya. Dan kulihat mama tersenyum melihat ini.
Setelah bercakap-cakap sebentar denganku dan mama, tante Mariska kembali memerintahkan kedua perias itu untuk mendandaniku.
๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐
Aku menunggu dengan gelisah di kamar ini. Duduk di tepi ranjang ditemani mama dan dua perias tadi. Diluar sedang diadakan akad nikahku dengan Rey. Kata mama, papa yang menikahkanku langsung, tidak menyerahkan perwaliannya kepada penghulu.
Sesekali perias merapikan riasanku. Ya, kini aku sudah dirias seperti pengantin pada umumnya, dan mengenakan baju pengantin adat jawa. Keluarga tante Mariska memang orang jawa, jadi mungkin sudah direncanakan dari dulu jika Rey menikah akan menggunakan pakaian adat jawa. Aku tak mempermasalahkannya, toh ini bukan keinginanku.
Pintu kamar terbuka, terlihat tante Mariska datang bersama seorang perempuan paruh baya, yang tak kuketahui siapa namanya. Tante Mariska berjalan ke arahku seraya tersenyum manis, kemudian mengusap kepalaku lembut.
"Key, selamat kamu udah sah jadi istrinya Rey," ujar Tante Mariska.
Kepalaku mendadak kembali pusing mendengar kabar dari tante Mariska. Meski sudah kutahu begitu, tapi tetap,saja aku syok. Benar-benar seperti mimpi.
Rasanya tubuhku akan tumbang, tapi dengan sigap mama menahan bahuku dengan tangannya.
"Key, jangan pingsan lagi dong, ini hari bahagiamu," tutur Mama.
"Iya Key, jangan pingsan, sekarang kita keluar yuk, Rey sudah menunggu di depan."
Aku tak memperdulikan ucapan mama maupun tante Mariska, karena tubuhku sekarang rasanya ingin limbung saja. Dan tak lama semuanya kembali terasa gelap.
Bersambung
"Key, jangan pingsan lagi dong, ini hari bahagiamu," tutur Mama."Iya Key, jangan pingsan, sekarang kita keluar yuk, Rey sudah menunggu di depan."Aku tak memperdulikan ucapan mama maupun tante Mariska, karena tubuhku sekarang rasanya ingin limbung saja. Dan tak lama semuanya kembali terasa gelap.๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐"Key, ya ampun ... bangun dong sayang.""Key, sayang, ayo bangun, ini hari bahagia kamu."Sayup-sayup kudengar suara mama dan tante Mariska bersahut-sahutan menyebut namaku. Apa yang sebenarnya terjadi?Perlahan kubuka kedua mataku. Hal yang pertama kulihat adalah mama dan tante Mariska yang tengah berusaha untuk membuatku siuman, seperti pada waktu aku pingsan pertama tadi. Entah berapa lama aku hilang kesadaran hingga ada beberapa wanita paruh baya berada di kamar ini. Mungkin akan kutanyakan nanti pada mama.
Aku mendudukkan diri di salah satu kursi di dekat jamuan kue. Nah, kebetulan aku laper, jadi langsung aja kusikat kue-kue yang sudah bikin liurku hampir menetes.Hmmm ... yummy ... enak banget kuenya.Sebenarnya dari tadi ada beberapa pasang mata yang memandang heran ke arahku. Masa bodoh lah, yang penting perutku terisi dan nggak menjerit-jerit lagi. Perut kenyang, hati pun senang. Dalam hati aku menyorakkan jargon ala Ehsan di film Upin Ipin.Tiba-tiba. "Heh!""Dih!, apaan sih Lo." Aku melotot ke arah Difi. Bayangin aja, lagi enak-enak makan malah dikagetin. Eh, tapi mungkin itu karma buatku juga kali ya, karena tadi aku juga ngagetin Difi pas lagi makan kue kayak gini. Ini pasti Difi balas dendam nih. Dasar temen nggak ada akhlak.Difi hanya terkekeh mendengar gerutuanku, kemudian ia ikut duduk tepat di sampingku."Pengantin kok makannya di sini sih, sendi
Perjalanan menuju kamar tadi, sebenarnya banyak pasang mata yang memperhatikanku, keluarga dan kerabat Rey, tentu saja. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang menyapaku, semenjak aku sah jadi istrinya Rey. Mereka hanya memandang dan menilai penampilanku, terlihat dari raut wajah mereka. Mengucapkan selamat pun hanya beberapa, dan itu pun hanya pada Rey, aku seolah-olah tak dianggap dan tak terlihat oleh mereka. Hmmm ... apa mungkin mereka tak menyukaiku? Atau bahkan membenciku?Terserahlah mau bagaimana sikap mereka padaku, aku tak peduli. Toh pernikahanku dan Rey juga bukan kemauanku, mungkin Rey juga terpaksa menerima aku sebagai pengantinnya menggantikan calon istrinya yang mencoba bunuh diri itu. Dan mungkin saja Rey menerimaku karena desakan dari tante Mariska juga kan?Ngomong-ngomong soal tante Mariska, aku jadi berpikir kenapa dia memilihku untuk menjadi pengantin penggantinya? Kenapa bukan perempuan muda dari pihak kerabatnya at
Cup.Satu kecupan mendarat lembut di pipi kananku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan dia. Ah, rasanya pipiku jadi panas, jantung juga tiba-tiba main bedug nggak beraturan. Saking syok-nya tiba-tiba aku teringat kata-kata mama tadi, supaya ... jangan pingsan.Ini Rey kesambet atau kenapa sih?Pingsan nggak ya, pingsan nggak ya?Pingsan aja deh."Key!"Apa sih, Bambang! Manggilnya biasa aja kali, gak usah pake nada panik segala, dan gak usah nampilin wajah khawatir gitu kali. Aku kan gak pingsan, tepatnya lebih memilih untuk tidak jadi pingsan. Eh, emang pingsan boleh dipilih ya?Teringat kata-kata ajaib mama tadi, gak boleh pingsan meskipun ada kejadian tak terduga. Ya, seperti tadi, tiba-tiba suami k*m*ret nyium pipi kananku. Tadi pagi nyium dahi, sekarang nyium pipi, menang. banyak dia, lah aku? Kapan bisa nyium dia coba? Eits ... bukan nyium
Siapa bilang saya mengalah," ucap Rey."Ya terus maksudnya gimana?" Lama-kelamaan bikin tambah kesel juga ni orang."Kita tidur seranjang."๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐Sinar matahari menyusup masuk lewat kaca jendela, membuatku terpaksa harus membuka mata. Kuambil ponsel di atas meja depan sofa, untuk melihat sekarang udah pukul berapa. Ternyata baru pukul enam pagi. Siapa sih yang udah buka-buka jendela, bikin gak bisa lanjutin tidur aja. Pasti manusia batu itu deh.Ngomong-ngomong soal manusia batu, kok udah gak kelihatan, ke mana perginya ya? Ah, bodo amat, mau pergi ke kutub utara kek, ke segitiga bermuda kek, aku gak akan peduli. Atau sekalian pergi dari dunia ini juga bagus. Eh, artinya dia mati dong? Dan aku auto jadi janda dong? Gak papa, no problem for me. Justru aku seneng, karena kalau dia mati, aku gak akan bilang innalillah, tapi aku akan nengucap alhamdulillah. Hehe.
Lagi asyik-asyiknya berbalas pesan dengan para saudara, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depan sofa yang tengah kududuki."Key ...," panggil orang di depanku.Spontan aku pun mendongak. Tiba-tiba saja tubuhku menegang. Sama sekali tak pernah terlintas di benakku untuk bertemu lagi dengan dia."Kak Arga." Aku masih menatapnya, kaget sekaligus tak percaya.Laki-laki yang kini berdiri di hadapanku, dengan memakai kaos putih dibalut dengan jaket kulit warna cokelat, dan celana jeans warna biru, tampak tersenyum ke arahku."Kamu masih inget aku kan?" tanyanya dengan senyum yang mengembang.Aku mengangguk. Bagaimana mungkin aku bisa lupa akan sosoknya. Sosok yang dulu selalu bisa membuatku tertawa, tempat aku mencurahkan unek-unek, dan sosok yang mampu membuat hidupku penuh warna.Dia, Arga Mahendra."Syukurlah kalau kamu masih inget." Kak Ar
Setelah duduk di samping kemudi, aku memasang sabuk pengaman. Setelah di rasa siap, mobil pun melaju meninggalkan pelataran hotel.Dalam perjalanan aku tak membuka suara. Sampai akhirnya Rey menanyakan sesuatu yang bingung harus kujawab apa."Key," panggil Rey."Hem.""Arga itu siapa kamu?" Dih, tanya-tanya."Emangnya kenapa?" Aku balik tanya."Ya, saya pengen tahu dia siapanya kamu. Kelihatannya kalian dekat." Kepo ni orang."Kepo," jawabku singkat."Tinggal jawab aja apa susahnya, Key." Dih, sewot."Tadi lo kan udah denger sendiri penjelasan kak Arga, kenapa sekarang tanya-tanya." Aku memandang lurus ke depan."Saya pengen dengar langsung dari mulut kamu." Ni orang kenapa sih sebenarnya, kok tiba-tiba jadi kepo begini."Penting banget ya?" Aku menoleh ke arahnya, dan tanpa d
Kami makan dengan diam, dan aku pun khusyuk menyantap makananku. Lebih tepatnya tak mau ambil peduli sama manusia batu di hadapanku."Rey, kamu kemana aja, sih? Dari kemarin aku nyariin kamu, lho." Tiba-tiba ada seorang wanita datang menghampiri meja kami. Ah, maksudku menghampiri Rey.Aku jadi penasaran siapa dia. Apalagi muka Rey seketika berubah menyadari kehadiran wanita ini.Siapa sebenarnya dia? Kok kayak nggak anggap aku ada di sini, padahal kan aku ada di depan Rey."Ehem." Aku berdehem.Wanita itu menoleh ke arahku, pandangan matanya tampak meremehkanku."Siapa lo?" tanya wanita itu."Menurut lo," jawabku cuek. Aku kembali menyantap makanan di depanku. Sebodo amatlah dia siapanya Rey, aku nggak peduli. Mending ngabisin makanan lezat ini, ya nggak? Sayang kan kalau makanannya dibiarin hanya karena wanita yang penampilannya