Cup.
Satu kecupan mendarat lembut di pipi kananku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan dia. Ah, rasanya pipiku jadi panas, jantung juga tiba-tiba main bedug nggak beraturan. Saking syok-nya tiba-tiba aku teringat kata-kata mama tadi, supaya ... jangan pingsan.
Ini Rey kesambet atau kenapa sih?
Pingsan nggak ya, pingsan nggak ya?
Pingsan aja deh.
"Key!"
Apa sih, Bambang! Manggilnya biasa aja kali, gak usah pake nada panik segala, dan gak usah nampilin wajah khawatir gitu kali. Aku kan gak pingsan, tepatnya lebih memilih untuk tidak jadi pingsan. Eh, emang pingsan boleh dipilih ya?
Teringat kata-kata ajaib mama tadi, gak boleh pingsan meskipun ada kejadian tak terduga. Ya, seperti tadi, tiba-tiba suami k*m*ret nyium pipi kananku. Tadi pagi nyium dahi, sekarang nyium pipi, menang. banyak dia, lah aku? Kapan bisa nyium dia coba? Eits ... bukan nyium pakai bibir ya, tapi nyium pakai bogeman tanganku yang udah gatel banget pengen nonjok dia.
Oh, iya, aku emang gak pingsan, tapi setelah Rey tadi main nyosor, aku kaget dan tubuhku auto nyender ke sofa yang sedang kududuki di atas pelaminan ini. Di sini Rey terlihat khawatir karena disangka aku mau pingsan, di sana para tamu undangan malah bersorak-sorak kesenengan, bak habis melihat drama romantis ala korea. Dih, di mana sisi romantisnya coba?
Dan aku di sini kesel bin sebel bukan main. Tahu alasannya kenapa? Yap, aku seperti lagi dengerin orang main bedug keras banget di dadaku, tepatnya bagian jantung. Bukan karena habis disosor Rey, tapi karena saking keselnya udah dipermalukan Rey. Belum lagi cacing-cacing di perutku udah dangdutan sedari tadi. Oh, mama, malangnya nasib beta.
"Tenang aja, aku gak pingsan ya, jadi pliss, jangan bikin muka jelek lo itu tambah jelek," ujarku sok cool, sambil kembali duduk tegak seperti sedia kala.
"Kamu pikir saya peduli sama kamu?" tanya Rey yang masih menatapku. "Jangan ge-er ya, saya memang khawatir sama kamu, itu karena saya takut kamu buat malu saya di atas pelaminan ini, bukan karena ...."
"Iya, iya, gue tahu kok," selaku "lagian ya, siapa juga yang kege-eran karena dikhawatirin situ." Aku mencebik.
Ini mah bukan aku yang kege-eran, tapi dia yang kepede-an. Iya, kepede-an karena ngarep aku ge-er, ya gak?
Kembali menormalkan degub jantung, dan mencoba terus menampilkan senyum palsu, meski rasanya aku sangat ... tersiksa.
πππππππππππππππ
"Duh, ribet banget sih ini baju," gerutuku sambil melepas gaun yang kukenakan di acara resepsi tadi.
Sekarang aku tengah berada di salah satu hotel bintang lima di kota ini. Keluarga Rey sengaja menyewakan kamar hotel ini, katanya untuk ... malam pertama.
Aku bergidik ngeri mengingat kata malam pertama itu. Kupastikan saja itu semua tak akan terjadi malam ini dan tentu saja malam-malam selanjutnya. Mahkota yang selama ini kujaga, hanya akan kupersembahkan untuk laki-laki yang kucintai. Mmm--maksudku suamiku setelah Rey nanti.
Mungkin hanya aku saja ya, pengantin di dunia ini, yang langsung memikirkan pengganti suaminya nanti di malam pertama ini. Ah, masa bodoh, toh aku memang tak mengharapkan pernikahan ini.
Setelah berhasil melepas gaun pengantin tadi, aku langsung memakai piyama. Jangan membayangkan kalau aku sedang memakai piyama berbahan satin dan terbuka, atau biasa disebut lingerie. Tentu aku tak akan memakai pakaian yang sangat kekurangan bahan itu. Sebaliknya, aku memakai piyama berbahan katun, bergambar kartun kesayanganku, doraemon. Dan tentunya tertutup, seperti baju tidur sopan pada umumnya.
Aku duduk di depan meja rias, merapikan rambut panjang sebahuku yang berantakan habis dirias tadi. Tak ada acara mandi-mandian, karena aku tak terbiasa mandi malam-malam begini, bisa masuk angin nanti. Lagian, aku udah mandi sebelum berangkat ke gedung resepsi.
Ceklek.
Fokusku terganggu ketika pintu kamar terbuka, dan menampilkan sosok yang sangat tak ingin aku lihat. Baru lihat bayangannya aja, udah enek, apalagi lihat orangnya langsung, beneran pengen muntah dah.
Aku tak menghiraukan kedatangannya, sebaliknya aku terus menyisir rambutku. Dia melangkah masuk, kemudian menutup pintu. Rey berjalan menghampiriku dan berdiri tepat di belakangku, itu terlihat dari pantulan cermin meja rias di hadapanku. Mau apa sih dia?
"Kamu sudah mandi?" tanyanya, sambil terus menatapku lewat cermin.
"Kepo," jawabku cuek.
"Cuma nanya, siapa tahu kamu belum mandi." Waduh, kok tumben amat dia ngomong lembut kayak gini. Kan aku jadi was-was.
"Mau gue udah mandi kek, belum kek, itu urusan gue," ucapku kesal.
"Oh, jadi kamu belum mandi? Pantesan bau."
Kamp*et!
Apa dia bilang? Aku bau?
Spontan aku langsung mengangkat tanganku bergantian dan mencium ketekku, tak lupa juga bagian tubuh lain yang masih bisa kujangkau, kuendus-endus, barangkali benar kata si manusia batu ini.
"Hahaha ...." Rey tertawa keras, melihatku yang berhasil diperdaya olehnya.
Hmm ... awas kau bambang!
"Heh, gue gak bau ya, jadi jangan ngada-ngada!" bentakku tak terima.
Kini aku berdiri sejajar dengannya, sambil berkacak pinggang. Sementara dia masih terus tertawa meskipun wajahku sudah seperti singa yang ingin menerkam mangsanya.
"Bisa diem gak? Gak lucu tau!" Aku membentak sekali lagi. Biar dia tahu, bahwa perempuan yang sudah dia nikahi secara terpaksa ini, bukanlah perempuan yang mudah ia remehkan.
"Kamu lucu," ucapnya singkat. Kini Rey udah berhenti tertawa, dan kembali menatapku, dengan tatapan ... lembut. Ke mana tatapan maut yang dari tadi siang ingin membunuhku? Kenapa sejak resepsi tadi, dia terus menatap lembut seperti ini.
"Emang gue badut?" tanyaku kesal.
"Lucu bukan berarti badut, Key."
Aku memutar bola mata malas, sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Baru tau gue, kalau manusia kaku kayak lo bisa ketawa juga, kirain nggak bisa." Aku masih berdiri, dan sekarang posisi kami berhadapan di samping ranjang.
"Siapa bilang saya kaku?" Rey menaikkan sebelah alisnya.
"Gue! Gue yang bilang." Aku kembali duduk di kursi meja rias, melanjutkan aktivitas menyisir rambut, yang belum tuntas gara-gara manusia rese ini.
Rey hanya mengedikkan bahunya, mungkin malas menanggapi ucapanku. Ia berjalan ke arah sofa, melepas jasnya dan meletakkannya di atas sofa.
"Saya mau mandi dulu," ucap Rey. Aku tahu dia menatapku, dan aku bergeming tak mengindahkan ucapannya.
Lagian mandi ya tinggal mandi, ngapain juga pake bilang dulu padaku. Emangnya aku peduli, dan apa urusannya denganku coba?
"Ehem ... kamu kan belum mandi, Key." Rey mengambil nafas sejenak kemudian menghembuskannya perlahan. "Bagaimana kalau kita mandi bersama?"
What the ...?
Sontak aku melotot mendengar perkataannya barusan. Mandi bersama? Yang benar saja, satu kamar seperti ini saja sebenarnya aku tak sudi, apalagi ... ah sudahlah!
"Kenapa, kamu kaget? Kok melotot gitu matanya?" Rey kembali bertanya sembari menampilkan senyuman smirk-nya, yang dapat aku lihat dari pantulan cermin ini.
Aku menormalkan kembali mataku. "Biasa aja kali," sinisku.
"Oh, biasa, kalau gitu mari kita mandi bersama."
Dasar Rey gila! Mes*m lagi!
Brak!
Aku menggebrak meja rias, kemudian berdiri, dan spontan Rey pun terperanjat. Haha ... kaget kan rasain! Siapa suruh main-main sama seorang Keyla Anastasyia.
"Ngarep banget sih, pengen gue mandi sama lo, lo pikir gue sudi apa? Jadi orang kok mesum banget. Manusia batu yang sok alim kayak lo, ternyata punya pikiran mesum. Ck, ck ... gak nyangka gue," cercaku, sambil melayangkan tatapan tajam ke arah cermin yang menampilkan gambar Rey, yang juga tengah menatap ke arahku. Maksudnya ke arah cermin.
Kalau gini berasa aku lagi marahin cermin kan. Maaf ya cermin, kamu udah aku omelin, habisnya kamu pake nangkep gambar suamiku yang gak ada akhlak itu sih.
Suami?
Ngapain aku nganggep dia suami ya? Tapi kan dia emang udah jadi suamiku. Tapi kan aku gak suka, tapi kan ... ah, apaan sih Key, bikin puyeng aja.
"Kan saya cuma nawarin, lagian kalau saya punya pikiran mesum sama kamu, ya gak papa dong, toh kita sudah menikah, kamu istri saya, apa salahnya? Oh iya, jangan katain saya manusia batu ya, kualat kamu ngatain suami seperti itu, jadi perempuan kok bar-bar banget. Oh ya, jangan sampai meja rias itu rusak ya, karena saya gak mau ganti rugi karena ulah kamu itu." Elah, ni orang bisa nyerocos juga ternyata.
Selesai memberi ceramah, Rey berlalu menuju kamar mandi, dan tak lama kemudian suara air terdengar bergemericik.
ππππππππππππππππ
Aku terdiam memperhatikan ranjang berukuran besar di hadapanku. Mau menaikinya tapi sayang sama bunga-bunga mawar mewar yang bertabur membentuk love di tengah ranjang.
Aroma terapi yang tercium semenjak aku memasuki ruangan ini, masih setia menguar. Tak ada lilin yang turut menghiasi ruangan yang biasanya akan menambah kesan romantis.
Jika saja ini adalah pernikahanku dengan laki-laki yang kucintai, mungkin saja aku akan sangat bahagia berada di kamar hotel ini. Namun, yang kurasakan malah sebaliknya. Miris, ya itu yang tengah kurasa.
"Ngapain kamu berdiri terus di situ?" tanya si manusia batu yang baru keluar dari kamar mandi, sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Untung saja dia sudah berpakaian, kalau tidak? Kalau tidak bakalan kucabik-cabik dengan pisau, kebetulan di kamar ini ada pisau buah.
"Suka-suka gue dong." Aku memutuskan untuk duduk di tepi ranjang sembari memainkan bunga-bunga mawar yang bertebaran di tengah ranjang.
Rey berjalan mendekat ke arahku, eh maksudku ke arah ranjang. Jangan berpikir yang aneh-aneh ya.
Selanjutnya Rey menaiki ranjang dan langsung saja membuang-buang bunga mawar yang bertaburan ini ke lantai. Huh! Dasar gak berperi-kebungaan.
"Ngapain kamu masih duduk di sini, minggir sana, saya mau tidur. Kamu bisa tidur di sofa ataupun di lantai, saya gak peduli," ketus Rey seraya mengibaskan tangannya, mengusirku.
"Di mana-mana yang tidur di sofa atau di lantai itu laki-laki, bukan perempuan. Lo banci ya!" bentakku. Kini aku udah kembali berdiri di samping ranjang, sambil berkacak pinggang.
"Kamar hotel ini orang tua saya yang menyewa, jadi sudah pasti tempat tidur ini menjadi hak saya," ucap Rey. Ia merebahkan tubuhnya ke ranjang.
"Tapi bukan berarti lo bisa semena-mena dong, gue kan juga berhak buat tidur di ranjang. Lagian nih ya, kalau tante Mariska tau, pasti dia bakal marahin lo karena udah tega sama gue." Kali ini suaraku udah naik satu oktaf.
"Kamu pikir saya peduli?"
Aku semakin emosi mendengar pertanyaannya yang bernada mengejek itu. Awas saja nanti, akan kubuktikan siapa Keyla Anastasyia itu.
"Oke, kalau begitu besok akan aku adukan perlakuan lo ke tante Mariska, biar mampus lo."
Aku berjalan ke arah sofa, dan menghempaskan tubuhku di sana, kemudian memaksakan diri ini berbaring. Tapi belum sempat aku memejamkan mata, perutku udah berbunyi. Ah, iya, aku lupa, aku belum makan dari tadi siang. Sungguh pengantin yang malang.
Mengedarkan pandangan, akhirnya aku melihat buah-buahan di atas meja. Aku segera duduk dan mengambil buah yang kebetulan ada di meja sebelah sofa. Tak ada nasi, buah pun jadi. Yang penting perut tak lagi meronta.
Saking khusyuknya makan buah, yang kebanyakan macamnya apel ini, aku sampai tidak menyadari kalau di sebelahku kini sudah duduk si manusia batu yang tak punya hati.
"Boleh saya minta?" Dih! pake tanya segala, biasanya juga seenaknya.
"Ya tinggal ambil, ngapain pake tanya," ujarku cuek.
"Tapi saya mau kamu yang kupasin, dan kamu suapin saya."
"Situ punya tangan kan?" sindirku.
"Tangan saya pegal karena tadi habis menyalami banyak orang." Lah, emangnya dia doang, aku juga kali.
"Emangnya gue peduli," ucapku tak acuh.
Tiba-tiba dia menarik tanganku yang sedang memegang buah yang baru kukupas, lalu dia menyuapkannya ke mulutnya dengan tanganku.
"Rese banget sih lo!" umpatku.
πππππππππππππππ
Setelah dirasa kenyang, akhirnya aku berhenti makan buah. Anehnya sedari tadi Rey masih duduk saja di sampingku.
"Ehem ...." Rey berdehem. "Karena kamu sudah baik mau mengupaskan buah untuk saya, dan mau menyuapi saya, maka saya akan sedikit berbaik hati memberikan tawaran untuk kamu."
Aku masih diam, membiarkan dia mengatakan apa yang dia inginkan. Lagi pula aku masih kesal dengan sikapnya tadi.
"Kamu mau, Key?"
"Tawaran apa?" Akhirnya aku bertanya juga. Penasaran sih.
"Begini." Rey mengubah posisi duduknya, menjadi menghadap ke arahku, sedang aku masih di posisi semula. "Kamu mau tidur di ranjang kan?"
"Jadi lo mau tukeran tempat? Gue tidur di ranjang dan lo tidur di sofa?" tanyaku antusias.
"Bukan begitu."
"Lalu?" Aku mengerutkan dahi, masih belum paham.
"Apa kamu beneran bakal ngelaporin ke bunda, kalau kamu jadi tidur di sofa?"
"Gimana sih, kok malah balik tanya," ujarku kesal.
"Iya atau tidak?" Rey bertanya lagi.
"Iya, gue bakal laporin lo."
"Kalau begitu kamu boleh tidur di ranjang."
"Hah! Serius?" tanyaku memastikan. "Nah, gitu dong, jadi laki-laki tuh harus ngalah sama perempuan."
"Siapa bilang saya mengalah," ucap Rey.
"Ya terus maksudnya gimana?" Lama-kelamaan bikin tambah kesel juga ni orang.
"Kita tidur seranjang."
"...."
Bersambung
Siapa bilang saya mengalah," ucap Rey."Ya terus maksudnya gimana?" Lama-kelamaan bikin tambah kesel juga ni orang."Kita tidur seranjang."ππππππππππππππππSinar matahari menyusup masuk lewat kaca jendela, membuatku terpaksa harus membuka mata. Kuambil ponsel di atas meja depan sofa, untuk melihat sekarang udah pukul berapa. Ternyata baru pukul enam pagi. Siapa sih yang udah buka-buka jendela, bikin gak bisa lanjutin tidur aja. Pasti manusia batu itu deh.Ngomong-ngomong soal manusia batu, kok udah gak kelihatan, ke mana perginya ya? Ah, bodo amat, mau pergi ke kutub utara kek, ke segitiga bermuda kek, aku gak akan peduli. Atau sekalian pergi dari dunia ini juga bagus. Eh, artinya dia mati dong? Dan aku auto jadi janda dong? Gak papa, no problem for me. Justru aku seneng, karena kalau dia mati, aku gak akan bilang innalillah, tapi aku akan nengucap alhamdulillah. Hehe.
Lagi asyik-asyiknya berbalas pesan dengan para saudara, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depan sofa yang tengah kududuki."Key ...," panggil orang di depanku.Spontan aku pun mendongak. Tiba-tiba saja tubuhku menegang. Sama sekali tak pernah terlintas di benakku untuk bertemu lagi dengan dia."Kak Arga." Aku masih menatapnya, kaget sekaligus tak percaya.Laki-laki yang kini berdiri di hadapanku, dengan memakai kaos putih dibalut dengan jaket kulit warna cokelat, dan celana jeans warna biru, tampak tersenyum ke arahku."Kamu masih inget aku kan?" tanyanya dengan senyum yang mengembang.Aku mengangguk. Bagaimana mungkin aku bisa lupa akan sosoknya. Sosok yang dulu selalu bisa membuatku tertawa, tempat aku mencurahkan unek-unek, dan sosok yang mampu membuat hidupku penuh warna.Dia, Arga Mahendra."Syukurlah kalau kamu masih inget." Kak Ar
Setelah duduk di samping kemudi, aku memasang sabuk pengaman. Setelah di rasa siap, mobil pun melaju meninggalkan pelataran hotel.Dalam perjalanan aku tak membuka suara. Sampai akhirnya Rey menanyakan sesuatu yang bingung harus kujawab apa."Key," panggil Rey."Hem.""Arga itu siapa kamu?" Dih, tanya-tanya."Emangnya kenapa?" Aku balik tanya."Ya, saya pengen tahu dia siapanya kamu. Kelihatannya kalian dekat." Kepo ni orang."Kepo," jawabku singkat."Tinggal jawab aja apa susahnya, Key." Dih, sewot."Tadi lo kan udah denger sendiri penjelasan kak Arga, kenapa sekarang tanya-tanya." Aku memandang lurus ke depan."Saya pengen dengar langsung dari mulut kamu." Ni orang kenapa sih sebenarnya, kok tiba-tiba jadi kepo begini."Penting banget ya?" Aku menoleh ke arahnya, dan tanpa d
Kami makan dengan diam, dan aku pun khusyuk menyantap makananku. Lebih tepatnya tak mau ambil peduli sama manusia batu di hadapanku."Rey, kamu kemana aja, sih? Dari kemarin aku nyariin kamu, lho." Tiba-tiba ada seorang wanita datang menghampiri meja kami. Ah, maksudku menghampiri Rey.Aku jadi penasaran siapa dia. Apalagi muka Rey seketika berubah menyadari kehadiran wanita ini.Siapa sebenarnya dia? Kok kayak nggak anggap aku ada di sini, padahal kan aku ada di depan Rey."Ehem." Aku berdehem.Wanita itu menoleh ke arahku, pandangan matanya tampak meremehkanku."Siapa lo?" tanya wanita itu."Menurut lo," jawabku cuek. Aku kembali menyantap makanan di depanku. Sebodo amatlah dia siapanya Rey, aku nggak peduli. Mending ngabisin makanan lezat ini, ya nggak? Sayang kan kalau makanannya dibiarin hanya karena wanita yang penampilannya
Part 11"Eh, Tes." Aku berbisik ke arahnya."Iya, Nya, eh, Key, eh, Mbak Key." Lucu juga ya si Tesa ini."Biasa aja kali." Aku menyenggol lengannya dengan lenganku. "Panggil Key, aja. Jangan pake embel-embel apapun.""Iya, Key." Tesa tersenyum."Kamu tau siapa wanita yang lagi sama Rey di depan nggak?""Ooh, yang lagi godain Pak Rey ya?" Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Tesa."Dia itu ... Nona Sindi, Key.""Sindi?" beoku."Iya, dulu dia pacarnya Pak Rey. Saya udah lama kerja di sini, Key, jadi lumayan tau kalau dulu mereka pacaran. Tapi tenang aja, sekarang mereka udah nggak ada hubungan apa-apa kok, ya meskipun Nona Sindi sering ke sini sih, tapi Pak Rey kayak nggak suka gitu," jawab Tesa panjang tanpa aku minta.Aku menganggu
Part 12Ciiit ....Tiba-tiba saja Rey ngerem mendadak. Ada apa ini?Aku terlonjak kaget. Untung saja sabuk pengaman tak lupa kupakai."Astaghfirulloh. Ampuni hamba Ya Alloh, hamba belum mau mati. Mama ... tolongin Key ...." Kedua tanganku kuletakkan di depan mata. Tak sanggup melihat kenyataan yang mungkin saja terjadi.Jantung kian keras berdetak, takut kalau seandainya nyawa ini ...."Berisik! Jangan lebay bisa? Saya cuma ngerem mendadak, nggak kecelakaan." Nah, biang onar dengan rasa tak bersalahnya ngomong gitu. Dosa nggak sih, membantai suami modelan si manusia batu."Heh, kenapa jadi lo yang marah-marah, harusnya gue yang marah karena lo udah bikin jantung gue hampir mau copot," omelku."Saya kan cuma ngerem, kenapa kamu se
Dari tempatku duduk, terlihat perempuan berusia enam puluhan berjalan menuruni tangga dengan dituntun oleh tante Mariska. Diikuti om Danu di belakangnya. Mungkin beliau yang dimaksud sebagai omanya Rey. Sepertinya waktu acara akad dan resepsi kemarin beliau belum tiba di sini.Sesampainya di bawah, dan berjalan ke arahku, aku lantas berdiri bermaksud menyalaminya. Namun tatapannya terasa sangat tak bersahabat."Oh, jadi seperti ini istrinya Rey." Omanya Rey menelisik penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki.Mendengar perkataan oma tadi, seketika membuat nyaliku ciut.Oma tersenyum sinis. "Kampungan sekali dia, apa mata kamu sudah buram, Ris, hingga mencarikan pengantin pengganti untuk cucuku, harus perempuan seperti ini, sangat jauh berbeda dengan Berlin."Demi apapun, aku kesel banget dikatain kampungan dua kali dalam sehari ini. Tadi pagi oleh wanita gila mantannya Rey, sekarang sam
"Gue emang nggak tau bambang!" umpatku.Rey menjitak keningku dengan jarinya. "Aduh, sakit tau." Aku mengaduh sekaligus tak terima."Kamu bener-bener nggak pinter, kemana kamu waktu pembagian otak dulu?""Lagi jalan-jalan sambil nyari tahu sumedang," ketusku."Yang dipikirin kamu cuma makanan terus," sinis Rey."Biarin, hidup kan butuh makan. Biar kuat menghadap kenyataan. Apalagi sekarang hidup gue dikelilingi makhluk-makhluk menyebalkan sejenis lo itu, jadi butuh banyak asupan makanan.""Banyak makan tapi nggak gede-gede juga, termasuk itunya." Mata Rey mengarah ke bagian depan tubuhku.Refleks aku menyilangkan kedua tanganku untuk menutupi bagian yang Rey maksud. Ya meskipun aku lagi pake hoodie yang jelas pasti sangat menutupi, apalagi hoodie-nya kan longgar alias nggak ketat, jadinya nggak bakalan nyatak. Eh, nyetak apaan emang?