Lagi asyik-asyiknya berbalas pesan dengan para saudara, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depan sofa yang tengah kududuki.
"Key ...," panggil orang di depanku.
Spontan aku pun mendongak. Tiba-tiba saja tubuhku menegang. Sama sekali tak pernah terlintas di benakku untuk bertemu lagi dengan dia.
"Kak Arga." Aku masih menatapnya, kaget sekaligus tak percaya.
Laki-laki yang kini berdiri di hadapanku, dengan memakai kaos putih dibalut dengan jaket kulit warna cokelat, dan celana jeans warna biru, tampak tersenyum ke arahku.
"Kamu masih inget aku kan?" tanyanya dengan senyum yang mengembang.
Aku mengangguk. Bagaimana mungkin aku bisa lupa akan sosoknya. Sosok yang dulu selalu bisa membuatku tertawa, tempat aku mencurahkan unek-unek, dan sosok yang mampu membuat hidupku penuh warna.
Dia, Arga Mahendra.
"Syukurlah kalau kamu masih inget." Kak Arga duduk di sofa sampingku sebelah kiri, sedangkan Rey duduk di sebelah kananku. Aku kok jadi diapit dua cowok begini ya. Yang satu cowok batu yang super duper nyebelin plus nggak punya hati, yang satunya lagi cowok yang selalu bikin hatiku meleleh dengan segala perbuatannya.
"Oh iya, by the way, kamu lagi apa di sini?" tanya kak Arga.
"E---." Aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, bingung mau kasih jawaban apa.
"Ehem ... perkenalkan saya Rey, suaminya Keyla." Rey mengulurkan tangan kanannya, bermaksud untuk berjabat tangan dengan kak Arga. "Kami di sini baru saja selesai bulan madu."
What? Kurang asem bener nih si manusia batu. Ngapain dia ngaku-ngaku jadi suamiku? Eh, tapi kan dia emang udah jadi suamiku. Tapi bukan berarti dia harus bilang ke kak Arga dong. Duh, jadi ketahuan statusku sekarang, padahal kan aku pengen merahasiakan pernikahan gila ini dari temen-temenku.
Sekilas kak Arga tampak kaget dengan pengakuan Rey. "Oh, kamu suaminya Rey, kenalkan saya Arga, dulu saya temennya Keyla sekaligus dulu kami bertetangga sebelum Key pindah rumah."
Kak Arga menerima uluran tangan Rey, dan mereka pun berjabat tangan.
"Oh, begitu," ujar Rey sambil mengangguk-panggilan kepalanya. Kini jabatan tangan mereka telah terlepas.
"Eh, iya, kalian menikah kok gak ngabarin, kamu gak pengen ngundang aku gitu, Key?" tanya kak Arga.
Boro-boro ngundang orang, terpikirkan buat nikah secepat ini aja kagak, terlebih nikahnya sama manusia batu. Mungkin kalau nikah sama lelaki idaman, bakalan aku ngundang banyak, mulai dari semua temen kuliah, temen SMA sampai mantan-mantanku semua bakal kuundang, biar mereka tahu, kalau seorang Keyla anastasyia bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari pada mereka. Bahkan kalau perlu, aku undang bapak presiden beserta jajaran menterinya.
Tapi sayangnya, yang terjadi bukanlah pernikahan yang aku impikan, Sebaliknya ini adalah mimpi buruk yang sama sekali tak aku harapkan.
"Iya, Key gak bilang ke saya kalau mau ngundang anda pak Arga," ujar Rey.
Ih, apaan sih! Pake fitnah segala.
"Iya kan, Sayang?" Sayang-sayang palamu peyang! Nih apa-apaan sih pake pegang-pegang tanganku dan pake natap-natap segala lagi. Pengen dicolok matanya ya?
"Eh, iya, Kak Arga. Key lupa ngundang kak Arga, habisnya sebelum pernikahan kan sibuk banget tuh, jadi kelupaan deh, hehe." Bagus Key, bohong teruuus ngikutin laki yang kayak manusia batu. Lagaknya sekarang aku seperti pengantin wanita yang semangat banget ngadain pesta pernikahan. Padahal kenyataannya, jauh panggang dari api.
"Oh, gitu ya, ya ya kakak maklumi." Kak Arga menganggukkan kepala, meski kutahu sorot matanya masih menampilkan rasa kebingungan atau mungkin ... heran.
"Maaf ya kak, bukannya Key udah lupain kakak." Aku menelungkupkan kedua tangan, sebagai tanda permohonan maaf, meski sebenarnya itu sama seperti bukan salahku.
"No problem, Key. Tapi sebagai gantinya kalian harus datang ke pernikahanku besok."
"Apa! Kak Arga nikah?" Aku terkejut bukan main. Mataku melotot dan suaraku juga hampir membuat semua orang di lobi ini jadi menumpukan pandangannya ke arahku. Sontak aku kembali menelungkupkan kedua tanganku kepada mereka yang melihat ke arahku, tak lupa kuberikan cengiran.
Kak Arga terkekeh pelan melihat keterkejutanku. "Iya, Key, tepatnya dua minggu lagi, jangan lupa kalian datang ya."
Demi apa, aku harus mendengar berita mengerikan seperti ini? Baru aja kemarin aku harus memulai hidup dengan penuh kengerian dengan manusia batu, sekarang aku harus mendengar berita ini. Kenapa hidupku penuh kengerian seperti ini.
Siapa saja tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini.
"Oh, baiklah, di mana tempatnya? Kalau sempat dan ada waktu pasti kami datang kok. Maklum kami kan pengantin baru, jadi jarang ada waktu, he ...."
What? Tahu siapa yang bilang itu? Si manusia batu. Dasar nggak ada akhlak, bisa-bisanya ngomong kayak gitu. Kalau kak Arga sampai mikir yang nggak-nggak, mau ditaruh mana mukaku?
"Oh, iya, aku paham kok." Kak Arga tertawa pelan. Duh, kalau liat dia begini jadi tambah meleleh deh ini hati. Jadi pengen khilaf deh.
Eh, astaghfirulloh ... kok bisa sih aku mikir kayak gitu, aku kan udah punya suami. Tapi nggak papa deh, kalau suaminya berhati batu seperti orang di samping kananku ini yang udah natap tajam ke arahku, sejak aku menggeleng-gelengkan kepala mengenyahkan pikiran yang iya-iya.
"Terus ini kalian mau pulang atau gimana? Kok bawa koper segala?" Kak Arga menoleh ke arah koper di depan Rey.
"Iya kak, kita mau pulang, tapi karena hujan, jadinya ditunda dulu deh," jawabku "kakak sendiri ngapain di sini?"
"Ini lagi ngecek perkembangan hotel."
Hah?
"Maksud kak Arga, ini hotel milik kakak?" tanyaku.
Sekilas aku merasa tak percaya kalau hotel ini milik kak Arga. Bukan aku merendahkan apalagi meremehkan dia, bukan, tapi aku nggak nyangka aja kalau dia udah sehebat ini setelah beberapa tahun tak bertemu.
Orang tua kak Arga adalah pengusaha tekstil terbesar di kotanya, jadi aku agak kaget kalau kak Arga memilih berbisnis perhotelan seperti ini, kukira dia bakal meneruskan usaha orang tuanya itu.
"Iya, alhamdulillah, Key."
Wah, bener-bener paket komplit. Udah ganteng, murah senyum, baik hati, sekarang udah punya bisnis sendiri, tanpa berpangku tangan sama orang tua. Tipe-tipe lelaki idaman banget kan? Beda sama si manusia batu itu. Ya, meskipun dia juga punya bisnis kafe sendiri, tapi menurutku masih kurang hebat dibanding kak Arga. Apalagi sifatnya itu, beh ... kalah telak deh kalau mau banding-bandingin.
"Wah, selamat ya, Kak, semoga sukses selalu," ucapku antusias.
"Iya, terima kasih, Key." Duh, senyum lagi kan dia. Pagi-pagi gini udah disenyumin dia berapa kali coba, mungkin kalau aku es batu, pasti udah meleleh deh dari tadi.
"Ehem ... hujannya sudah reda, saya sama Key, mau pamit dulu, Pak Arga."
Apaan sih ni orang, ganggu orang lagi asyik ngobrol aja deh.
"Ayo, Key." Eh, apa-apaan lagi ini, pake narik tangan segala.
"Oh, udah mau pulang ya? Bagaimana kalau kita sarapan bersama dulu di restoran hotel ini, saya traktir," tawar kak Arga.
"Terima kasih atas tawarannya Pak Arga, tapi kami harus segera pulang, dan ada urusan juga. Mungkin lain kali saja." Dih! ini orang kenapa nolak sih. Padahal kan aku pengen banget sarapan bareng kak Arga. Kalau dia nggak mau kan bisa pulang sendiri.
"Oh, begitu." Kak Arga kembali menganggukkan kepalanya. "Tapi lain, kali bisa kan? Sekalian nginep lagi di sini, nanti saya gratiskan kamar yang paling bagus dan nyaman untuk pengantin baru seperti kalian, sebagai hadiah pernikahan untuk kalian."
Ya ampun, kak Arga hatinya terbuat dari apa sih, kok baik banget. Sayang, udah mau ada yang punya.
"Wah, sekali lagi terima kasih banyak Pak Arga. Nanti kita akan sering-sering mampir ke sini, iya kan sayang?" Dan sekali lagi si manusia batu Rey ini kembali bersandiwara. Mau tidak mau, aku pun harus mengimbangi bakat sandiwara Rey ini. Dalam hati kubertekad akan memaki-maki dia nanti, karena udah berani-beraninya manggil aku dengan sebutan ... sayang.
Setelah sedikit berbasa-basi lagi, aku dan Rey pun pamit. Dan di sinilah kami sekarang, di parkiran mobil.
"Eh, ngapain kamu buka pintu belakang?" tanya Rey ketus, ketika aku mau membuka pintu mobil bagian belakang.
"Ya mau naiklah, mau ngapain lagi," jawabku tak kalah ketus.
"Siapa suruh kamu naik di belakang, kamu kira saya supir kamu?"
"Suka-suka gue mau naik di mana, yang penting sampai rumah kan."
"Pokoknya kamu mau naik di depan, saya bukan supir kamu," perintah Rey tegas.
Dengan ogah-ogahan, akhirnya aku menuruti perintah si manusia batu itu. Rasanya aku udah malas berdebat lagi sama dia. Kepala pusing, mata masih ngantuk, belum lagi perut udah teriak-teriak keroncongan. Dari kemarin kan belum makan, cuma makan kue sama buah doang. Ya, semboyannya orang ples enam dua kan gitu, belum makan nasi, berarti belum makan.
Setelah duduk di samping kemudi, aku memasang sabuk pengaman. Setelah di rasa siap, mobil pun melaju meninggalkan pelataran hotel.
Dalam perjalanan aku tak membuka suara. Sampai akhirnya Rey menanyakan sesuatu yang bingung harus kujawab apa.
"Key," panggil Rey.
"Hem."
"Arga itu siapa kamu?"
Bersambung
Setelah duduk di samping kemudi, aku memasang sabuk pengaman. Setelah di rasa siap, mobil pun melaju meninggalkan pelataran hotel.Dalam perjalanan aku tak membuka suara. Sampai akhirnya Rey menanyakan sesuatu yang bingung harus kujawab apa."Key," panggil Rey."Hem.""Arga itu siapa kamu?" Dih, tanya-tanya."Emangnya kenapa?" Aku balik tanya."Ya, saya pengen tahu dia siapanya kamu. Kelihatannya kalian dekat." Kepo ni orang."Kepo," jawabku singkat."Tinggal jawab aja apa susahnya, Key." Dih, sewot."Tadi lo kan udah denger sendiri penjelasan kak Arga, kenapa sekarang tanya-tanya." Aku memandang lurus ke depan."Saya pengen dengar langsung dari mulut kamu." Ni orang kenapa sih sebenarnya, kok tiba-tiba jadi kepo begini."Penting banget ya?" Aku menoleh ke arahnya, dan tanpa d
Kami makan dengan diam, dan aku pun khusyuk menyantap makananku. Lebih tepatnya tak mau ambil peduli sama manusia batu di hadapanku."Rey, kamu kemana aja, sih? Dari kemarin aku nyariin kamu, lho." Tiba-tiba ada seorang wanita datang menghampiri meja kami. Ah, maksudku menghampiri Rey.Aku jadi penasaran siapa dia. Apalagi muka Rey seketika berubah menyadari kehadiran wanita ini.Siapa sebenarnya dia? Kok kayak nggak anggap aku ada di sini, padahal kan aku ada di depan Rey."Ehem." Aku berdehem.Wanita itu menoleh ke arahku, pandangan matanya tampak meremehkanku."Siapa lo?" tanya wanita itu."Menurut lo," jawabku cuek. Aku kembali menyantap makanan di depanku. Sebodo amatlah dia siapanya Rey, aku nggak peduli. Mending ngabisin makanan lezat ini, ya nggak? Sayang kan kalau makanannya dibiarin hanya karena wanita yang penampilannya
Part 11"Eh, Tes." Aku berbisik ke arahnya."Iya, Nya, eh, Key, eh, Mbak Key." Lucu juga ya si Tesa ini."Biasa aja kali." Aku menyenggol lengannya dengan lenganku. "Panggil Key, aja. Jangan pake embel-embel apapun.""Iya, Key." Tesa tersenyum."Kamu tau siapa wanita yang lagi sama Rey di depan nggak?""Ooh, yang lagi godain Pak Rey ya?" Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Tesa."Dia itu ... Nona Sindi, Key.""Sindi?" beoku."Iya, dulu dia pacarnya Pak Rey. Saya udah lama kerja di sini, Key, jadi lumayan tau kalau dulu mereka pacaran. Tapi tenang aja, sekarang mereka udah nggak ada hubungan apa-apa kok, ya meskipun Nona Sindi sering ke sini sih, tapi Pak Rey kayak nggak suka gitu," jawab Tesa panjang tanpa aku minta.Aku menganggu
Part 12Ciiit ....Tiba-tiba saja Rey ngerem mendadak. Ada apa ini?Aku terlonjak kaget. Untung saja sabuk pengaman tak lupa kupakai."Astaghfirulloh. Ampuni hamba Ya Alloh, hamba belum mau mati. Mama ... tolongin Key ...." Kedua tanganku kuletakkan di depan mata. Tak sanggup melihat kenyataan yang mungkin saja terjadi.Jantung kian keras berdetak, takut kalau seandainya nyawa ini ...."Berisik! Jangan lebay bisa? Saya cuma ngerem mendadak, nggak kecelakaan." Nah, biang onar dengan rasa tak bersalahnya ngomong gitu. Dosa nggak sih, membantai suami modelan si manusia batu."Heh, kenapa jadi lo yang marah-marah, harusnya gue yang marah karena lo udah bikin jantung gue hampir mau copot," omelku."Saya kan cuma ngerem, kenapa kamu se
Dari tempatku duduk, terlihat perempuan berusia enam puluhan berjalan menuruni tangga dengan dituntun oleh tante Mariska. Diikuti om Danu di belakangnya. Mungkin beliau yang dimaksud sebagai omanya Rey. Sepertinya waktu acara akad dan resepsi kemarin beliau belum tiba di sini.Sesampainya di bawah, dan berjalan ke arahku, aku lantas berdiri bermaksud menyalaminya. Namun tatapannya terasa sangat tak bersahabat."Oh, jadi seperti ini istrinya Rey." Omanya Rey menelisik penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki.Mendengar perkataan oma tadi, seketika membuat nyaliku ciut.Oma tersenyum sinis. "Kampungan sekali dia, apa mata kamu sudah buram, Ris, hingga mencarikan pengantin pengganti untuk cucuku, harus perempuan seperti ini, sangat jauh berbeda dengan Berlin."Demi apapun, aku kesel banget dikatain kampungan dua kali dalam sehari ini. Tadi pagi oleh wanita gila mantannya Rey, sekarang sam
"Gue emang nggak tau bambang!" umpatku.Rey menjitak keningku dengan jarinya. "Aduh, sakit tau." Aku mengaduh sekaligus tak terima."Kamu bener-bener nggak pinter, kemana kamu waktu pembagian otak dulu?""Lagi jalan-jalan sambil nyari tahu sumedang," ketusku."Yang dipikirin kamu cuma makanan terus," sinis Rey."Biarin, hidup kan butuh makan. Biar kuat menghadap kenyataan. Apalagi sekarang hidup gue dikelilingi makhluk-makhluk menyebalkan sejenis lo itu, jadi butuh banyak asupan makanan.""Banyak makan tapi nggak gede-gede juga, termasuk itunya." Mata Rey mengarah ke bagian depan tubuhku.Refleks aku menyilangkan kedua tanganku untuk menutupi bagian yang Rey maksud. Ya meskipun aku lagi pake hoodie yang jelas pasti sangat menutupi, apalagi hoodie-nya kan longgar alias nggak ketat, jadinya nggak bakalan nyatak. Eh, nyetak apaan emang?
"Rey ... kamu itu, kenapa harus bersikap seperti itu, Key itu sekarang istri kamu, tanggung jawab kamu. Bunda nggak pernah ngajarin ya, kalau kamu kayak gitu, kasihan Key." Bunda berbicara sambil menjewer telinga kiri Rey. Dan Rey pun mengaduh kesakitan. Haha ... kasihan deh lu bambang!Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan aksi bunda memarahi Rey. Sungguh pemandangan langka."E-eh, apa yang kamu lakukan sama cucuku Mariska?"Semua yang ada di dapur pun serentak menoleh ke arah si empunya suara, termasuk aku.Tahu siapa yang tadi ngomong? Ya jelas si oma ompong lah, siapa lagi di rumah ini yang bisa ngomong ketus selain Rey dan omanya itu."Eng-enggak kok, Ma." Bunda melepaskan jeweran tangannya dari telinga Rey. Yah, padahal lagi pertunjukan seru, malah digangguin. Jarang banget kan kalau aku lihat Rey ketakutan sama bunda tadi, biasanya kan dia gayanya sok banget gitu lah, e
Part 15bSetelah selesai makan malam bersama, aku membantu bunda membereskan piring-piring kotor, dan membawanya ke wastafel. Kalau untuk urusan ini sih kecil, aku sering di suruh mama di rumah untuk eksekusi peralatan setelah makan. Nasib jadi perempuan. Mungkin kalau udah ompong kayak oma, baru deh berhenti dari pekerjaan domestik kek gini.Entah ada angin apa, si manusia batu dengan suka relanya mau turun tangan membantu mencucikan piring. Hmmm ... tahu diri juga ternyata. Bagus deh, kan aku jadi ngirit tenaga. Sekalian ngerjain dia juga mumpung oma ompong udah ke depan nonton tv sama om Danu. Jadi nggak bakalan lihat kalau cucu kesayangannya ini lagi cuci-cuci."Udah Bunda, sini biar Key aja yang nerusin. Bunda istirahat aja." Aku menghentikan sekaligus merebut kain lap yang sedang bunda gunakan untuk mengelap meja makan. Kasihan juga kan, pasti tadi bunda masak sendirian."Eeh nggak usah Key, udah b