Bab 2 Kota Cirebon
Perjalanan menuju Cirebon terasa sangat menyedihkan saat ini. Meskipun sejak tadi banyak orang berlalu lalang, tapi hatiku rasanya sedang berada di tempat lain. Berharap kalau pelarianku saat ini hanya mimpi dan sekadar angan-angan burukku.
Tapi lamunanku buyar saat mendapat pesan dari pria yang paling kubenci saat ini. Pria yang akhirnya mau melepasku sebagai istrinya. Lagipula mengapa aku harus sudi mendampinginya jika di hari pernikahan kami, ia justru bercumbu dengan wanita lain? Aku harus menahan kesabaranku berapa lama lagi untuk bersama dengannya dengan kebencianku ini? Jujur aku sudah tak sanggup.
Reino : [Kamu pergi ke mana? Jangan tinggalin aku, Bee. Please. Ini semua kesalahpahaman.]
Kesalahpahaman? Aku berdecak kesal membaca pesan dari Reino. Dasar laki-laki brengsek. Aku sudah bertanya langsung pada wanita sialan itu jika memang ia menggoda Reino untuk menggodanya, tapi Reino membalas ciumannya. Mereka itu sama saja, satu kesatuan epidemi yang harusnya dihancurkan. Tidak, lebih baik kutinggalkan saja.
Kepalaku tiba-tiba merasa pening saat harus memikirkan masalahku yang berlarut, seolah tidak ada akhirnya.
Untungnya beberapa saat kemudian staf kereta api menjajakan jajanannya. Aku membeli nasi ayam geprek dan air mineral. Setelah membayar, ia pun kembali menjajakan jualannya.
Setelah membuka kotak wadah terbuat dari kertas tebal khusus makanan, aku pun berbasa-basi pada orang yang duduk di sebelahku. "Mari makan, Mas," kataku kepada laki-laki muda yang usianya seperti lebih muda dariku.
Laki-laki itu tersenyum tipis sambil mengangguk lalu kembali bermain dengan ponsel canggihnya. Memang jika kuperhatikan sejak tadi, teman seperjalananku ini mengabaikanku dengan menggunakan headset di telinga.
Aku melanjutkan sesi makan dengan sangat lahap. Entah mengapa nafsu makanku naik saat ini? Padahal biasanya aku sangat rewel soal makan karena kebanyakan pikiran, depresi karena tinggal bersama dengan orang yang kubenci tapi tidak pernah sedikit pun merasa bersalah. Reino pernah minta maaf. Tidak sekali, tapi berkali-kali. Tapi hatiku mengatakan aku tidak bisa memaafkannya. Hatiku terluka begitu dalam karena ulahnya.
Bayangan indah setelah menikah langsung hancur di hari pertama pernikahan kami. Setelah bertahun-tahun berpacaran, mengapa ia harus menyakitiku di hari spesial dalam hidupku? Mengapa tidak sebelumnya. Hingga aku tidak perlu seterluka ini.
Setelah meminum air mineral langsung dari botolnya, aku mendapat pesan Whatsapp dari orang yang sudah berbaik hati menawarkan dirinya untuk kurepotkan.
Bella Farasya.
Bella : [Udah sampai mana? Aku udah nunggu di Stasiun Cirebon.]
Kok Stasiun Cirebon sih? Aku bingung dan segera mengambil tiketku lagi dan melihat dengan jelas bahwa pemberhentian kereta di Stasiun Cirebon Prujakan.
Aku pun segera membalas pesan Bella.
[Aku turun di Stasiun Cirebon Prujakan, Bel. Bukan di Stasiun Cirebon. Atau stasiunnya ini sama?]
Aku jadi bingung sendiri.
Setelahnya Bella kembali membalas.
Bella : [Beda, Oon. Kalau gini gue salah stasiun namanya. Lo ada di mana sekarang?]
Aku melihat sekitarku, pepohonan mangga yang berhektar-hektar kemudian berubah menjadi pesawahan yang luas. Sejauh mata memandang tentu saja tidak ada yang berbeda. Beberapa saat kemudian suara dari soundsistem terdengar.
"Mohon perhatian. Kereta Tirta Arum akan segera tiba di Stasiun Jatibarang...."
Setelah mendengar nama stasiun, aku kembali membalas pesan dari Bella. Beruntung sekali saat bingung, kereta melakukan pemberhentian.
[Aku ada di Stasiun Jatibarang sekarang. Kira2 masih lama gak ya?]
Sebagai orang yang jarang naik kereta, aku sebenarnya agak asing dengan kereta. Aku memiliki saudara di Cirebon, tepatnya paman dari ayah. Aku biasa memanggilnya Mang Surya. Ia tinggal di Cirebon. Terakhir keluargaku main ke rumah Mang Surya saat itu usiaku 8 tahun.
Rencana kepindahanku sendiri ke Cirebon selain karena Reino, tentu saja karena hal lain. Aku memilih pindah ke sana karena sudah lolos tes administrasi ujian CPNS dan akan melakukan tes SKD di sana.
Belum lagi awal Januari ini, aku memutuskan pindah karena di Ibukota sudah merebak isu wabah Covid19 yang sudah merebak ke beberapa negara. Menurut artikel di media sosial, sudah ada kasus yang masuk di Indonesia. Meskipun begitu, masih simpang siur apakah itu kebenaran atau hoax. Tapi kupikir itu benar karena beberapa negara sudah terkena dampaknya, mulai dari China, Jepang, Korea Selatan, bahkan sudah menyebar ke Italia. Bukankah mungkin jika wabah Covid19 juga sudah berada di Indonesia namun belum teridentifikasi?
Sesampainya di Stasiun Cirebon Prujakan, aku pun turun dari gerbong kereta bersama beberapa penumpang yang lain, yang harus mengakhiri perjalanan kami.
Aku mengembuskan napasku kuat-kuat lalu berjalan menuju pintu ke luar kepulangan. Sambil berjalan aku menelepon Bella namun belum sampai sambungan terhubung, kulihat Bella berdiri tidak jauh dari tempatku berdiri.
Kuputuskan sambungan telepon dan menyimpan kembali ponsel ke dalam saku jaket yang kupakai.
"Bella," sapaku lalu memeluknya.
Bella membalas pelukanku kemudian kami saling melepaskan diri. "Kamu gendutan ya, Tit."
Mendengar komentar pertama Bella setelah sekian lama baru kembali bertemu membuatku kesal. "Nanyain kabar dulu napa? Baru ketemu udah ngejek."
Bella tertawa mendengar nada protesku. "Cie penganten baru...."
"Penganten apaan," balasku kesal. "Langsung pulang aja yuk. Aku capek, mau tidur."
"Kasihan. Ya udah sini aku bawain tas kamu."
Aku tersenyum saat Bella menawarkan diri untuk membawakan tas jinjing yang kubawa. Dengan segara, kuserahkan tas yang kupegang padanya. Kami pun segera kembali melangkah dengan perlahan ke luar dari stasiun menuju tempat parkir motor.
Aku dan Bella pun segera pulang menuju kontrakanku di Cirebon. Tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah Bella dan orangtuanya, tapi masih tergolong beda desa. Bella memberitahuku desa yang akan kutempati bernama Desa Kencana Wungu. Desa ini masih masuk Kabupaten Cirebon, tapi untuk pergi ke Kota hanya memerlukan waktu 15 menit.
"Enak banget ya, di sini enggak terlalu macet," komentarku tentang jalanan kota yang kulewati.
"Mending lah daripada jalanan Ibukota."
"Besok jalan-jalan lah kita keliling Kota Cirebon."
"Kapan-kapan aja lah. Aku besok ada acara di rumah."
"Acara apaan?" tanyaku penasaran.
"Acara selamatan kematian gitu."
"Oh." Setelah ber-oh ria kami pun saling terdiam cukup lama. Tak berapa lama motor yang kutumpangi memasuki sebuah gapura yang bertuliskan "Desa Kencana Wungu". Sepertinya perjalanan kami akan segera berakhir.
Masuk ke dalam jalan yang lebih kecil, motor kami pun berhenti di depan rumah yang terlihat tidak berpenghuni. Ukuran rumahnya tidak terlalu besar. Cukup untuk 1 keluarga berencana, taksirku.
"Wah kontrakannya bersih ya." Aku melihat sekitar rumah yang bersih. Kami masuk ke dalam rumah, dan melompong. Tidak ada perabotan apapun. Seperti yang sudah kuketahui, rumah kontrakanku memang kosong tanpa perabotan, dan Bella hanya kumintai tolong untuk membelikan kasur baru untuk di kamar.
Ya, sekarang adalah awal hidup baru untukku. Mari lupakan laki-laki berengsek itu dan kembali hidup seperti sedia kala. Aku harus semangat.
Bella menemaniku sebentar di kontrakan. Ia bahkan rela membelikan makan malam untukku. Setelah selesai makan malam bersama, ia pun pamit pulang. Dan kini tinggallah aku sendiri, kembali mengingat awal pertama pertemuanku dengan Bella.
***
Bersambung
Terima kasih kepada sudah yang mau baca cerita ini. Maaf saya masih awam. masih butuh banyak belajar. setiap krisan saya tampung, jika saya masih salah, mohon ingatkan lagi. Karena saya sedang melatih menulis. Dan bagi saya saat ini, menulis adalah terapi yang saya butuhkan selain mencuci pakaian ≧∇≦
Salam halu, Terasora.
Bab 3 FlashbackFlashback OnSetelah melakukan pendaftaran ulang yang dilakukan oleh staf tata usaha, aku dan beberapa kawan baruku pun bisa pulang.Kami bertiga berjalan bersama melewati koridor. Aku berjalan di tengah dua teman baruku. Di sebelah kanan, ada gadis cantik dengan tinggi semampai hingga 165cm. Namanya Bella Farasya, lulusan SMA 2 Cirebon. Ia sudah mulai tinggal di Kost Putri Adinda yang letaknya di belakang kampus dan hanya perlu menggunakan 1 kali jalur angkutan kota.Berbeda dengan Bella, di samping kirinya ada Fatiya Hanum, gadis kalem yang terlihat menawan saat memakai kerudung lebar berwarna olive. Tinggi Fatiya sama sepertiku, tidak terlalu tinggi, sekitar 154cm. Meskipun begitu, kami tetap percaya diri.Berbeda denganku dan Bella, rumah Fatiya masih terjangkau dari kampus. Hanya 2 kali jalur angkutan kota, atau sekali naik bus.
Bab 4Kedatangan ReinoKeesokan paginya aku terbangun dengan tubuh yang sedikit kaku. Bagaimana tidak, aku baru saja melakukan perjalanan jauh dari Jakarta ke Cirebon. Meskipun tidak terlalu jauh juga dengan memakan waktu sekitar 3 jam, tapi tetap saja badanku rasanya pegal.Kulihat jendela kamarku masih hanya tertutup kain kerudung seadanya dengan seberkas cahaya yang masuk. Aku sengaja merangkak dan menyibak kain itu sedikit, mengeluarkan kepalaku dan melihat kondisi di luar yang sudah pagi.Tidak terlalu lama berada di sana, aku pun bangkit berdiri. Mengambil handuk lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah selesai berganti pakaian dan sholat shubuh yang nyaris terlambat itu, aku pun ke ke luar dari rumah untuk mencari sarapan.Baru saja ke luar dan memakai sandal rumah berwarna putih, kulihat tepat tetangga rumahku ternyata
Bab 5 Kedekatan KitaSuara ketukan pintu terdengar beberapa kali namun aku tetap mengabaikannya. Reino tidak pantas mendapatkan kesempatan, pria brengsek itu lebih pantas ditinggalkan.Setelah beberapa saat, aku tidak mendengar bunyi ketukan lagi. Pasti Reino sudah pergi. Entah ke mana aku tidak peduli.Kakiku ditekuk lalu kupeluk diriku sendiri dengan erat. Aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Setidaknya aku tidak mau bertemu untuk sekarang ini, aku butuh waktu untuk menenangkan diri.Aku menangis perlahan saat mengingat wajah Reino dulu. Wajah tampannya yang sangat gagah. Suaranya hangat dan senyumannya menawan. Aku sungguh jatuh cinta padanya. Bagiku, Reino sangat istimewa. Kukira dia jodoh sempurna untukku, tapi ternyata diawal pernikahan kami, ia sudah mengecewakanku.***Flashback OnWajah tampan seorang
Bab 6 Kemungkinan yang Tidak KuinginkanSelepas bangun tidur di pagi hari, kulanjutkan aktifitas dengan mandi. Aku membersihkan diriku dan melanjutkan dengan sholat shubuh. Setelahnya aku berdoa pada Allah agar aku dapat diberikan kelancaran dan keberkahan dalam hidup.Belum selesai bermunajat padaNya, aku merasakan pening di kepalaku. Entah mengapa beberapa kali aku merasa pening, terkadang hanya pening saja, kadang pula diiringi dengan mual.Kulepas mukenah yang kupakai, lalu berbaring sejenak di atas kasur. Kupenjamkan mataku sejenak dan kudengar suara ketukan pintu terdengar. Siapa tamunya?Apa Reino?Bisa saja kan semalam pria itu tidak pulang dan menunggu. Meskipun aku tidak tahu ke mana ia menunggu semalaman.Sambil menahan pening di kepalaku, kubuka pintu depan rumah dengan perlahan. Tidak ada siapapun yang kutemukan kecuali bungkus plastik putih berukuran besar.
Bab 7PamitSetelah pulang dari berbelanja ke CBC Mall, penatku selama sendirian di rumah kontrakan rasanya sedikit terobati. Meskipun ada hal yang tidak menyenangkan kami bahas, tapi aku suka saat berbelanja.Selain berbelanja skincare, aku juga berbelanja keperluan rumah yang sudah hampir habis, tidak lupa juga kami membeli pakaian, dompet, dan sepatu yang menarik hati.Selama berjalan-jalan seharian ini aku menggunakan kartu debit yang diberikan oleh Reino. Entah mengapa aku ingin menghabiskan uang pria brengsek itu?"Bel, hati-hati di jalan. Makasih ya buat hari ini," kataku dengan senyum ceria.Bella mengangguk, ia baru selesai memakai helmnya. Ia mengacungkan jempol tangan lalu memutar motornya. Baru saja kukira dia akan pulang, Bella menatapku sebentar. "Mau gue beliin testpack enggak sebelum balik?" tanyanya.Wajahku terasa kaku mendengar pe
Bab 8Pernikahanku dan ReinoTepat tengah malam dan aku masih saja terjaga. Mataku terbuka lebar dan arah pandangku tertuju pada layar laptop di mana aku bersiap melihat kepastian dari masa depanku.Aku berdoa dalam hati dengan penuh kesungguhan. Kuharap, aku lolos CPNS tahun ini dan bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil. Cita-citaku memang standar sekali, ingin menjadi seorang guru. Aku memilih pelajaran Bahasa Indonesia karena itulah satu-satunya keahlianku. Pelajaran yang lain, aku harus ekstra belajar. Terutama matematika dan fisika.Kulihat ranking nilai SKD dan melihat -bukan namaku- banyak tercantum di sana. Tunggu sebentar, itu namaku, Tita Silvia. Ya Tuhan, namaku tertera di urutan nomer 3 dari atas. Bukan dari bawah. Apakah aku lolos? Rasa haruku membuncah. Terima kasih, Ya Allah akan rezeki yang Kau berikan kepadaku.Tak berapa lama panggilan masuk, saat kuce
Bab 9Elena*Flashback On*Melihat laki-laki yang kucintai, yang baru beberapa jam yang lalu berubah status dari pacar menjadi suami. Tak kusangka ia tega melakukan ini padaku.Hal yang tidak sanggup kuatasi bahwa Reino melakukan perbuatan itu di hari terpenting kami. Ketika kita seharusnya menjadikan ini momen paling berharga. Namun, ia menghancurkannya dan membuat momen pernikahan kami layaknya panggung pertunjukan yang menyakitkan.Kutahan tangisku sekuat mungkin, tapi kurasakan air mata melewati pipiku dengan cepat. Pria yang kulihat sebelumnya dan berdiri di sampingku hanya terdiam, mematung melihatku yang menangis tersedu. Setelahnya aku pun pergi meninggalkan ruangan itu.Dengan kondisi yang menangis, aku berjalan ke ruangan mempelai wanita. Tak kusangka di sana berdiri orang yang tak asing. "Fatiya?" Aku mengambil tisu yang berada di meja lalu menyeka air mataku p
Bab 10Malam Pertama PernikahankuSetelah pertemuanku dengan Elena, aku banyak berpikir. Apakah benar ucapannya bahwa aku belum mengenal Reino dengan baik? Tapi selama ini, kami sudah berpacaran hingga 4 tahun. Kami jalani semuanya pelan-pelan, mulai dari pendekatan hingga jadian. Semua tidak seinstan itu seperti drama perjodohan.Fatiya masuk kembali ke ruang mempelai wanita dengan beberapa camilan dan minuman. “Tadi aku papasan sama perempuan. Kayak baru dari sini?” tanya Fatiya. Ia pasti bertanya karena jalan menuju ruang mempelai wanita atau pria harus melewati satu lorong.“Perempuan siapa?” balasku berbohong. “Ehm, mungkin salah jalan.”Fatiya pun segera mengangguk, tidak mempertanyakan lebih jauh. Ia meletakkan piring camilan di atas meja di hadapan kami dan 2 gelas minuman yang ia bawa susah payah.“Tadi aku p