Desta tidak pernah berniat untuk datang terlambat. Dia adalah orang yang sangat menghargai waktu sehingga dirinya anti mengingkari janji temu yang sudah dibuatnya. Pun dengan datang melebihi waktu yang dijanjikan. Dia tidak suka menunggu lama dan juga ditunggu, terlebih karena kesalahannya yang lalai memperkirakan waktu kedatangannya. Tepat waktu menjadi sebuah keharusan, kecuali memang ada keadaan mendesak yang terjadi.
Namun, situasi genting benar-benar terjadi. Istri dari salah satu klien penting kakeknya berkunjung ke mall-nya secara tiba-tiba. Desta, sebagai CEO di sana, mau tak mau harus menemui sang klien dan menemaninya berkeliling mall. Tentu saja untuk berbelanja. Dan dunia tahu betapa kaum wanita amat menikmati kegiatan tersebut hingga lupa waktu. Begitu pun dengan dirinya yang terus berada di samping si klien selama beberapa jam kemudian.
Dia ingin mengabarkan hal ini pada Andin sebab tak ada yang suka dibuat menunggu tanpa kejelasan. Apa lagi, dia tak tahu akan sampai kapan kegiatannya ini. Tapi, dia urung melakukannya. Ada ego dalam hatinya yang melarangnya bertindak demikian. Mendadak, muncul keinginan untuk membuat wanita itu marah.
Benar saja. Andin marah atas keterlambatannya yang lebih dari dua jam. Dia salah. Bukan hanya pada Andin, melainkan juga pada pemilik butik yang menanti kehadirannya untuk sesi fitting busana. Desta akui itu. Karenanya, meminta maaf merupakan hal yang wajib dia lakukan. "Maaf, saya terlambat. Ada klien penting yang harus saya temui," tuturnya kepada Sissy dan tak mengacuhkan pertanyaan Andin.
"Iya, saya maklum. Mas Desta pasti sibuk sekali. Mbak Andin tadi bilang kalau ada pertemuan penting yang harus dihadiri dan nggak bisa ditunda," balas Sissy.
Desta menaikkan salah satu alisnya, cukup terkejut mendengar fakta itu. Andin? Membantunya? Matanya melirik sekilas pada wanita yang sibuk didandani tak jauh darinya. Andin dan segala pesonanya di sana, berusaha memikat dirinya.
Apabila boleh jujur, dia sedikit bersyukur karena perempuan yang akan dinikahinya adalah Andin. Dia sungguh tak bisa membayangkan akan jadi apa hidupnya nanti jika menikahi orang yang tak dia kenal. Dan bagaimana nasib kekasihnya? Sebenarnya, tak ada keinginan untuk menduakan siapa pun, meski pernikahannya terjadi akibat sebuah keterpaksaan. Dia tetap harus memilih antara Andin atau wanita pilihan kakeknya. Keadaan inilah yang membuatnya frustasi hingga melontarkan kata-kata menyakitkan pada kekasihnya.
Tetapi, rasa bersalah itu menguap ketika menemukan Andin ada di barisan keluarga Mahardika. Egonya merasa dicurangi, walaupun bagian lain dari dirinya mengatakan bahwa dia turut andil menciptakan rasa itu. Dan dia sudah melukai wanitanya tanpa mencari tahu kenyataannya sebelumnya.
"Ini, Mas, pakaiannya," ujar Sissy seraya memperlihatkan dua setel pakaian yang didominasi warna gelap pada Desta. "Yang ini untuk akad-" satu tangannya menunjuk setelan hitam dengan kemeja putih "-dan yang ini untuk resepsinya." Dia merujuk pada sepasang jas navy blue di tangan kanannya. Kemudian, disodorkannya pakaian-pakaian itu ke arah Desta. "Mas Desta bisa menggunakan ruang ganti yang ada di sana," imbuhnya setelah melihat fitting room terdekat darinya yang penuh dengan barang-barang milik Andin.
Desta mengambil dua pasang pakaian itu dari Sissy, lalu mulai berjalan menuju arah yang ditunjuk wanita itu. Tempat seluas ini pasti memiliki beberapa ruang ganti. Dan benar, tak lebih dari sepuluh meter melangkah, dia sudah menemukan bilik lain untuk berganti pakaian. Dia memastikan telah menutup rapat tirai ruangan tersebut sebelum menanggalkan apa yang sedang dipakainya.
Desta memilih setelan hitam untuk dicoba terlebih dahulu. Tidak ada yang istimewa dari pakaian ini. Setelan kerjanya juga mempunyai model serupa dan sama-sama didominasi warna hitam. Tak terhitung berapa banyak kemeja putih yang dimilikinya, celana, serta jas hitam yang selalu menghasilkan kombinasi monokrom yang sedap dipandang. Oh, dasi kupu-kupu. Tak mungkin dia memakai aksesori itu di hari-hari kerjanya dan jelas hanya dikenakan di situasi khusus, misalnya saat acara pernikahannya.
Dia melihat pantulan dirinya melalui cermin besar di depannya. Beberapa kali dia menggerakkan tangan untuk mengetes keleluasaannya beraktivitas. Tidak ada masalah. Anggota tubuhnya yang lain bisa bebas bergerak. Dan dia pun merasa nyaman mengenakannya.
"Bagaimana, Mas, pakaiannya?" tanya Sissy usai melihat Desta keluar dari kamar ganti.
Entah sejak kapan wanita itu berpindah posisi tak jauh dari Desta. Mungkin, ini bagian dari profesionalisme kerjanya untuk menemani pelanggan mencoba baju rancangannya demi mendapatkan kepuasan dari para kliennya. Atau mungkin, ini merupakan pelayanan khusus karena kabarnya keluarga calon istrinya sudah cukup lama menggunakan jasanya. Apa pun alasannya, yang jelas, Desta menghargai usaha Sissy dan sejauh ini puas akan hasil kerjanya.
"Bagus," komentar Desta singkat.
"Apa ada bagian yang kurang nyaman?" tanya Sissy lagi.
Desta menggeleng. Pakaiannya sangat pas membalut tubuhnya. Tidak kebesaran dan tidak kekecilan. Dan yang paling penting, nyaman saat digunakan.
Sissy berputar mengelilingi tubuh Desta. Matanya secara detail mengamati patung hidup itu. Dia ingin memastikan tidak ada yang salah dengan hasil rancangannya karena penampilan dan kenyamanan adalah dua hal yang dia jual melalui karya-karyanya. Dia tentu tak mau terjadi masalah yang bisa memperburuk citranya di masa depan.
Sissy mengakhiri pengamatannya dengan sebuah senyum puas tersungging di wajahnya. Kemudian, dia menyematkan rangkaian bunga mini di kerah jas Desta yang semakin memperjelas tujuan dari dibuatnya pakaian itu. Pernikahan. "Mas Desta sudah selesai. Mbak Andin mau melihatnya?" lapornya pada si calon istri.
Desta pikir Andin tak akan tertarik menengok keadaanya. Dan dia pun juga tak berminat memperlihatkan kondisinya pada Andin. Lagi pula, dari tempatnya duduk, wanita itu bisa melihat dirinya, kendati tak sejelas ketika menatapnya dari jarak dekat.
Ternyata, Desta salah. Andin berjalan menghampirinya dengan langkah yang begitu anggun. Dia sedikit mengangkat roknya agar memudahkannya melangkah dengan heels-nya yang lumayan tinggi. Gaun berhias bunga itu sungguh pantas dia kenakan. Ditambah dengan riasan yang telah selesai dipoles apik di wajahnya, Andin terlihat begitu menawan.
"Mbak Andin cantik, ya," ucap Sissy seolah menyuarakan isi pikiran Desta.
Ya. Andin cantik. Dengan atau tanpa makeup di wajahnya, Desta akan selalu beranggapan demikian karena baginya, wanita itu amatlah istimewa. Untuk alasan itu pula-lah, dia tak mau begitu saja melepaskan Andin. "Iya. Dia selalu cantik," balasnya lirih.
Andin berhenti tepat di hadapannya. Matanya memandang tajam miliknya. Berbeda sekali ketika menjadi kekasihnya. Ah, dia merindukan masa-masa itu. Saat di mana hubungan mereka baik-baik saja yang bahkan belum sebulan berlalu. Tetapi, kenapa rasanya sangat lama?
Harusnya status sebagai sepasang kekasih masih tersemat pada mereka berdua. Tak pernah ada kata putus terucap dari keduanya. Begitu pula dengan keinginan untuk mengakhiri jalinan asmara itu. Yang ada, justru status mereka akan meningkat menjadi suami istri dalam beberapa minggu ke depan.
Namun kenyataannya, ada kemunduran dalam hubungan Desta dan Andin. Tidak ada lagi komunikasi di antara keduanya yang praktis mulai menjauhkan kedekatan yang telah tercipta sebelumnya. Sebenarnya, terbesit keinginan dalam benak Desta untuk memulai kembali semuanya. Bila perlu, mengulang hubungan mereka.
Tapi rupanya, egonya butuh untuk dipuaskan. Hingga rasa kecewanya hilang, dia tak mau terlalu terikat pada wanita itu. Dan sepertinya, Andin pun merasakan hal yang sama mengingat betapa dinginnya reaksinya tatkala berada di sekitar Desta. Cinta yang terhalang ego. Kira-kira sampai kapankah dia mampu menahannya?
"Gimana, Mbak? Mas Desta ganteng, kan?" Sissy menanyakan pertanyaan serupa pada Andin.
Andin mengamati Desta dari atas ke bawah. Kelihatannya, dia puas karena sebuah senyum manis tersimpul di bibirnya. "Iya," katanya disertai anggukan kecil sebagai tanda setuju.
Oh, Desta jadi ingin memeluknya.
Pernikahan mereka akhirnya terjadi. Seperti yang sudah diatur, direncanakan, dan dikonsep oleh keluarga besar keduanya, Adiyaksa dan Mahardika. Persiapan yang cukup singkat untuk pesta sebesar itu tak pernah menjadi masalah karena sedianya ada kerja ekstra dari orang-orang yang terlibat dalam memuluskan acara tersebut. Profesionalisme kerja, namanya. Dan itu sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh.Sesuai rencana, pernikahan Andin dan Desta dibagi menjadi dua waktu. Akad nikah diadakan di pagi hari, lalu dilanjutkan dengan pesta kecil bersama para sahabat dan keluarga besar kedua mempelai. Malamnya, bisa disebut sebagai pesta bisnis karena sebagian besar tamu undangan berisi kolega dan rekan bisnis dua keluarga tersebut. Tentu, teman-teman si pengantin bisa hadir juga di pesta itu. Mereka tidak menuliskan ketentuan khusus dalam undangan yang disebar dan membebaskan siapa pun datang di waktu yang diinginkan.Tenang saja. Tidak ada masalah dalam prosesi membahagi
Langkah Andin perlahan memasuki sebuah rumah berlantai dua di kawasan perumahan elite di Barat ibukota. Rumah dengan kombinasi warna putih, broken white, dan cokelat adalah rumahnya. Maksudnya, rumah mereka, Andin dan Desta.Pagi tadi, Desta tiba-tiba mengetuk kamar hotelnya. Dia yang masih setengah sadar akibat acara pernikahannya sehari sebelumnya hanya bisa melongo saat pria itu menyerahkan sebuah kunci, lalu tanpa basa-basi langsung pergi meninggalkannya yang membuatnya mau tak mau meneleponnya kala kesadarannya sudah kembali sepenuhnya."Itu kunci rumah kita. Aku akan mengirimkan alamatnya nanti." Begitu jawaban Desta ketika dia menanyakan perihal kunci yang didapatnya.Dan karena itu, di sinilah dia sekarang. Memasuki rumah bernomor tiga puluh dua yang ternyata telah terisi furnitur cukup lengkap.Rumah ini luas, namun tidak seluas rumah yang selama ini dia tinggali bersama keluarganya. Tapi, dia memang tidak menginginkan
Kontrak Pernikahan1. Tidak ada kontak fisik, kecuali terpaksa dan maksimal hanya sebatas pelukan.2. Tidak tidur sekamar!3. Urusan rumah tangga dilakukan bersama-sama.4. Saling menghargai privasi masing-masing.5. Kedua pihak wajib menjaga kelangsungan hubungan pernikahan semaksimal mungkin.6. Hal-hal di atas bisa ditambah, dikurangi, atau dibatalkan dengan persetujuan dari kedua belah pihak.TertandaAndin dan DestaDesta tersenyum sendiri membaca screenshot tulisan tangan Andin mengenai apa yang disebutnya sebagai kontrak pernikahan. Jarinya bergulir untuk memperbesar gambar itu hingga terlihat sangat jelas. Sejelas obrolan mereka sebelum makan malam tadi. Memang, dirinya-lah yang mengajukan ide tentang membicarakan hubungan mereka ke depannya yang tak tahunya justru berakhir dengan kontrak pernikahan.
"Dia bilang apa?""Mau menciumku.""Memangnya kalian belum pernah berciuman?"Pertanyaan yang dilontarkan Dewi seolah membungkam Andin dan membuatnya membisu tanpa kata di sana. Bukan. Ini bukan tentang pertanyaan yang menohok telak dirinya karena dia tahu betul jawabannya. Pernah. Begitu panas, dalam, dan memabukkan.Hal terliar yang pernah dia lakukan bersama Desta adalah ciuman itu. Terkadang hanya berupa kecupan ringan yang tak jarang bisa berubah liar dan penuh gairah. Namun, cuma sebatas itu. Dia dan Desta masih berusaha mempertahankan logika mereka dan tak membiarkannya kalah dari hasrat yang mulai menguasai.Ya, sepenggal memori akan hal tersebut-lah yang membuatnya tak mampu berkata-kata. Terlalu malu baginya mengakui bahwa tak hanya sekali ciuman panas itu terjadi, meski pada sahabatnya sendiri."Melihat reaksimu, jelas sekali kalian sering melakukannya," tebak Dewi sembari mengangguk-anggukan kepala paham.Dewi
- Aku akan masak spaghetti untuk makan malam. -Pesan itu datang saat Desta disibukkan dengan laporan salah satu anak perusahaan kakeknya yang berada di bawah kendali pria itu. Dari Andin. Siapa lagi? Dia sampai harus mengecek berkali-kali demi memastikan bahwa pengirimnya memang adalah Andin.Sebaris kalimat itu berhasil membuat senyum lebar terkembang di wajahnya. Sudah cukup lama dia tak bertukar pesan dengan Andin. Wanita itu jelas tak mau repot-repot melakukannya dan memilih asistennya untuk menggantikannya melakukan hal tersebut. Itu pun jarang karena, ya, memang tak ada yang benar-benar mereka bicarakan.Dan pesan itu bagai oase di padang pasir. Di tengah kecanggungan di antara mereka dan sikap dingin yang masih betah Andin perjuangkan, kehadiran pesan itu menjadi tanda bahwa istrinya mulai melunak. Baru sepuluh hari mereka menikah. Dan Andin telah menunjukkan perubahan itu. Sungguh mengejutkan.Cepat-cepat dirinya mengetikka
Andin tersenyum puas kala melihat Desta dan vacuum cleaner di tangannya. Pria itu menepati janjinya untuk membantu pekerjaan rumah Andin. Tidak cuma hari ini, sebenarnya, karena bantuan-bantuan kecil sering pula Desta berikan. Misalnya, mencuci piring kotor berikut peralatan masak usai kegiatan makan bersama mereka. Khusus di akhir pekan yang mana menjadi hari liburnya, pekerjaan rumah Desta pun bertambah.Andin baru saja selesai dengan kegiatan menjemur pakaian. Langkahnya terayun menuju dapur. Dibukanya kulkas besar di sana untuk sekadar mengecek persediaan makanan yang tersimpan di dalamnya. Tersisa sedikit, tapi setidaknya cukup untuk membuat beberapa jenis masakan untuk makan siang dan malam mereka. Untuk besok pun masih bisa. Jadi, tidak pergi belanja di hari ini tak akan menjadi masalah.Dia mengambil segelas tiramisu dari dalam lemari pendingin. Ini adalah dessert buatannya kemarin yang sengaja dia sajikan di dalam gelas-gelas berukuran sedang
"Sialan!"Umpatan itu meluncur bebas dari bibir Andin. Beberapa jam telah berlalu, tapi ingatannya masih terpatri pada kejadian paling memalukan untuknya. Apa lagi selain ciuman panasnya dengan Desta? Baginya, tak ada yang lebih memalukan dari itu. Cara Desta menciumnya dan bagaimana tubuhnya bereaksi... Sungguh-sungguh memalukan! Dia seperti menampar dirinya sendiri akibat ketidak-konsistenan yang dia perlihatkan. Sebulan belum berlalu sejak pernikahan mereka. Dan lihat, betapa rapuhnya pendiriannya hingga begitu mudahnya dia terombang-ambing oleh perilaku suaminya."Sialan!"Lagi-lagi umpatan yang sama Andin keluarkan. Entah sudah berapa kali kata itu terucap, dia tidak menghitungnya. Otaknya terlalu sibuk memikirkan semuanya. Lebih tepatnya, kebodohannya. Harusnya sejak awal dia membiarkan saja Desta berimajinasi liar tentangnya. Atau, harusnya dia mendorong sekuat tenaga tubuh besar lelaki itu sebelum mengungkungnya dan menghipnotis dirinya melal
"Kamu bilang akan memesan makanan?" Andin bertanya setelah sepuluh menit duduk bersebelahan dengan Desta, lelaki itu tak kunjung merealisasikan ucapannya. Ya, kalian tidak salah. Akhirnya, dia menurunkan pertahanannya dan membiarkan lengan Desta memeluk bahunya sedari awal dirinya duduk di sana. Dan Andin sama sekali tak memprotesnya. Lebih tepatnya, dia malas melakukannya. Dia sangsi mampu menang melawan suaminya dalam perdebatan yang diyakininya akan terjadi begitu Andin menunjukkan penolakannya."Oh, hampir saja lupa," sahut Desta cepat. Dia lalu mengambil ponselnya dari atas meja di depannya. "Kamu mau makan apa?" tanyanya mulai menggulirkan jari-jarinya ke atas smartphone hitam miliknya.Andin menoleh dengan kedua alis saling bertautan. "Pizza. Kamu bilang akan memesannya.""Ah, iya. Pizza." Desta menanggapi seolah-olah ide tersebut sudah lama dikatakannya. "Kamu serius mau memesannya?"Kerutan itu masih bertaha