Share

Chapter 6

Menemukan lokasi Virgin Beach atau penduduk setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Pantai Bias Putih, ternyata tidak semudah mencari obyek wisata lain karena terkendala akses jalan menuju tempat tersebut. Padahal pantai tersebut letaknya cukup dekat dengan Candidasa, tepatnya di Desa Bugbug. Sesuai namanya, pantai ini belum terlalu banyak didatangi wisatawan domestik maupun internasional, mungkin dikarenakan lokasinya yang tersembunyi dan jauh dari lalu-lalang kendaraan. Namun perlu diketahui bahwa, pemandangan laut di Virgin Beach sangatlah indah. Selain lembutnya pasir putih saat diinjak, air lautnya pun sangat jernih.

“Nama Pantai Bias Putih yang diberikan warga sekitar untuk tempat ini mungkin dikarenakan warna pasirnya ya, Sha?” Vikha merentangkan kedua tangannya, berharap udara segar memenuhi setiap ruas tubuhnya.

“Bisa jadi, Kha, sedangkan dinamai Virgin Beach kemungkinan karena pantainya belum banyak diketahui oleh wisatawan domestik atau internasional. Letaknya pun cenderung tersembunyi,” Shanon menimpali sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.

Benar saja, meski lazy chair tersedia di sini, tapi jumlahnya tidak terlalu banyak. Di sekitar pantai juga hanya ada warung-warung sederhana dan pengunjungnya pun tidak padat seperti pantai yang ada di wilayah Sanur, Kuta, Jimbaran, atau Nusa Dua.

“Lebih baik kita segera menikmati keindahan pemandangan di sini sambil merasakan segarnya air laut itu.” Tristan menunjuk jernihnya hamparan air di depannya.

“Ayo,” jawab Vikha dan Shanon bersamaan setelah menaruh ranselnya di atas pasir. Dengan penuh antusias keduanya berlari menyusul Tristan yang sudah lebih dulu menceburkan diri ke laut.

***

Setelah dua puluh menit berenang menikmati segarnya air laut di Virgin Beach, Tristan menepi dan duduk di bibir pantai sambil memainkan pasir yang terkena air. Ia senang melihat Shanon hari ini bisa banyak tersenyum dan tertawa, sehingga membuat wanita tersebut terlihat semakin memesona. Ia sangat menyayangkan keputusan Richard yang begitu mudahnya melepaskan wanita seperti Shanon. Ia mengakui sangat tidak senang saat Shanon dengan jujur memberitahunya dan Vikha mengenai hubungan yang tengah dijalinnya bersama Richard. Saat itu ingin rasanya ia mengungkapkan dengan jujur isi hati yang selama ini dipendamnya kepada Shanon. Namun, ketika melihat binar kebahagiaan terpancar dari wajah Shanon, ia terpaksa harus kembali mengubur dalam-dalam rasa tersebut hingga kini.

“Rasanya seperti mengunjungi pantai pribadi ya, Tris,” Shanon berkomentar setelah duduk di samping Tristan. “Terkejut? Makanya, jangan melamun ketika tengah bersenang-senang.” Ia terkekeh melihat keterkejutan laki-laki di sampingnya yang ternyata tidak menyadari kehadirannya.

“Sudah puas berenang?” tanya Tristan sambil mengusap rambutnya yang basah karena dipergoki tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.

Shanon mengangguk sambil memainkan air laut yang menyapu pasir di dekatnya. “Kita harus kembali mengunjungi tempat yang indah dan menenangkan ini di lain waktu.”

“Kamu benar. Sungguh sangat disayangkan jika kunjungan kita sekarang ini menjadi yang terakhir,” Tristan menimpali dan melumuri kaki mulus Shanon yang diluruskan menggunakan pasir bercampur air laut.

Shanon tidak tinggal diam. Ia langsung membalas keisengan Tristan dengan melumuri balik kaki sahabatnya itu dengan pasir basah. Karena tidak ada yang mau mengalah, keduanya pun sampai terlibat kejar-kejaran hanya untuk saling membalas aksi satu sama lain. Bahkan, beberapa kali Shanon berteriak meminta pertolongan kepada Vikha karena Tristan berhasil menangkap tubuhnya saat sedang berlari. Bukannya menolong setelah mendengar teriakan Shanon, Vikha malah mengabaikannya begitu saja. Gadis itu lebih memilih bergeming di dalam air, karena enggan untuk melepaskan kejernihan sekaligus kesegaran yang dirasakan tubuhnya.

Lelah berlari Shanon pun akhirnya membaringkan tubuhnya sekaligus merentangkan kedua tangannya di atas hamparan pasir putih, di sebelah Vikha yang sudah duduk di tepi pantai. Ia menatap birunya langit sambil membiarkan kakinya dibelai oleh air laut.

“Lelahnya,” Shanon mengadu pada dirinya sendiri sambil tersenyum dan mengatur deru napasnya.

“Makanya, jangan main kejar-kejaran,” Vikha menanggapi sembari terkekeh melihat Shanon yang mencoba menormalkan deru napasnya.

“Tristan yang lebih dulu menjahiliku, Kha,” Shanon kembali mengadu.

“Jangan percaya, Kha, aku tadi tidak melakukan apa-apa. Shanon yang memprovokasiku,” elak Tristan yang kini sudah duduk di samping Shanon. Ia menahan tawa saat melihat Shanon menatapnya tajam.

Kesal mendengar elakan Tristan, Shanon pun ikut duduk seperti kedua sahabat di sisi kiri dan kanannya. Tanpa berniat menyanggah elakan Tristan lagi, ia langsung berdiri dari duduknya.

“Mau ke mana, Sha?” tanya Vikha setelah terkejut karena tiba-tiba Shanon berdiri.

“Kembali berenang,” jawab Shanon ketus tanpa menghentikan langkah kakinya.

Menyadari kekesalan Shanon, Vikha dan Tristan pun saling pandang. Keduanya mengangguk dan menyeringai setelah satu sama lain mengerti niatnya untuk kembali mengerjai Shanon. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Vikha dan Tristan berdiri pelan-pelan agar Shanon tidak menyadarinya. Mereka sama-sama menghitung tanpa suara, kemudian Tristan langsung mengangkat tubuh Shanon dan membawanya ke tengah laut. Vikha terbahak mendengar pekikan terkejut Shanon gara-gara ulah Tristan. Terlebih ketika Tristan menjatuhkan Shanon begitu saja. Tawa Vikha semakin menjadi-jadi saat melihat Shanon mulai memukul Tristan secara membabi buta sebagai bentuk pembalasannya. Melihat keseruan Shanon dan Tristan, Vikha pun menyusul kedua sahabatnya untuk bergabung.

***

Ketiganya meninggalkan pantai ketika matahari telah kembali ke peraduannya. Mereka sengaja merencanakan hal tersebut karena ingin menjadi saksi atas berakhirnya tugas sang surya dalam menyinari bumi. Setelah ketiganya kembali ke vila dan selesai membasuh diri, kini mereka sedang berada di restoran. Selain untuk mengisi perut masing-masing dengan hidangan yang menggugah selera, mereka juga dapat menikmati indahnya pemandangan laut pada malam hari.

Sambil menunggu pesanan masing-masing diantarkan, ketiganya mengobrol ringan dan membahas tentang kegiatan yang telah dilalui hari ini. Tidak membuang kesempatan, Vikha pun memberitahukan destinasi yang akan mereka kunjungi besok. Taman Ujung-lah yang menjadi obyek wisata pilihannya. Tristan dan Shanon ternyata tidak keberatan dengan destinasi pilihan Vikha, keduanya pun tanpa ragu menyepakatinya.

“Berarti hanya Taman Ujung yang akan kita kunjungi besok?” Tristan memastikan tanpa memedulikan kedatangan waiter yang membawakan minuman pesanan mereka.

“Iya. Usai dari sana kita langsung kembali ke Denpasar, biar tidak terlalu lelah,” Vikha memberikan jawaban yang masuk akal.

“Aku setuju dengan Vikha,” Shanon menimpali. “Tidak baik juga kalau kita kembali ke Denpasar terlalu sore. Mungkin di lain waktu saja kita mengunjungi destinasi yang lebih jauh. Sebaiknya waktu yang tersisa besok kita pakai beristirahat dan menyiapkan tenaga untuk kembali beraktivitas besok lusa,” sambungnya.

Tristan memberikan kedua jempol tangannya kepada Shanon dan Vikha. Bertepatan dengan itu, makanan pesanan mereka pun datang. Ketiganya sangat antusias menikmati hidangan yang akan membuat perut masing-masing kenyang.

***

Langit malam terlihat sangat indah, meski hanya cahaya bintang yang menghiasinya. Sepoi angin yang berembus mampu memberikan rasa sejuk sekaligus menenangkan bagi tubuh serta pikiran. Tristan kembali menyesap soft drink kaleng yang tadi dibelinya di mini market, sesaat setelah usai makan malam bersama kedua sahabatnya. Ia bersantai di kursi malas–di pinggir kolam renang yang tersedia di vila tempat mereka menginap sambil mendengarkan deburan ombak.

Tristan menoleh saat merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Ia menyunggingkan senyum tipisnya kepada orang yang kini sudah duduk di kursi malas di sebelahnya. “Kenapa belum tidur?” tanyanya sambil memperbaiki posisi berbaringnya.

“Belum ngantuk,” jawab Shanon tanpa menatap lawan bicaranya. “Langitnya sangat indah, walau tidak ada sinar bulan yang menghiasinya,” ia mengomentari pemandangan angkasa yang dijangkau indra penglihatannya.

“Bukan sinar bulan yang menjadi penentu keindahan langit, melainkan bintang-bintang yang kompak memancarkan cahayanya,” balas Tristan sambil mendongak, menatap langit. “Meski kebanyakan orang mengatakan bahwa sinar bulan yang terindah, tapi tidak untukku. Bagiku, cahaya yang paling mengagumkan berasal dari mereka. Bintang-bintang itu,” Tristan menyuarakan pendapatnya seraya menunjuk ke atas.

“Kenapa?” Mendengar pendapat Tristan, Shanon tertarik dan menoleh.

“Selain bintang mampu menghasilkan cahayanya sendiri, jumlahnya pun sangat banyak,” jawab Tristan sederhana.

Shanon mengangguk. Ia kembali mendongak dan menatap bintang-bintang yang bersinar, seolah mereka sedang tersenyum kepadanya.

“Sha, aku harap semoga dengan liburan singkat ini kamu mampu mengobati luka hatimu, meski hanya sedikit,” Tristan kembali bersuara setelah keheningan menghampiri mereka selama beberapa saat.

Meski luka hati yang dialaminya belum terobati, tapi melihat upaya Tristan dan Vikha dalam menghiburnya membuat Shanon sangat terharu. “Terima kasih banyak atas kepedulian kalian berdua terhadapku,” ucapnya tulus. “Kalian tidak hanya ada ketika aku bahagia, melainkan selalu bersamaku saat kepedihan dan kemalangan menimpaku,” tambahnya dengan suara serak dan mata berkaca-kaca.

Tristan bangun dari posisi setengah berbaringnya dan pindah ke kursi malas yang diduduki Shanon. Ia merengkuh pundak Shanon dengan erat. Ia juga dengan sukarela meminjamkan dadanya kepada Shanon untuk dijadikan sandaran. Tristan hanya berharap, beban di hati Shanon ikut luruh bersamaan dengan butiran kristal yang menetes dari kedua sudut mata sahabatnya.

“Menangislah sepuasmu. Keluarkan semua yang menyesakkan hatimu bersamaan dengan lelehan air matamu,” bisik Tristan lembut sambil membelai punggung Shanon.

Tristan membiarkan Shanon leluasa meluapkan kesedihannya. Saat ini jiwa sahabatnya tersebut sangat rapuh, jadi sudah sewajarnya ia memberikan sandaran. Berulang kali ia mengusap punggung Shanon yang berada dalam dekapannya, sambil sesekali mencium penuh kelembutan kepala sahabatnya tersebut. Suasana malam yang hening seolah menjadi saksi bisu kepedulian Tristan kepada Shanon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status